Dua pekan lagi, usia kehamilan Fani memasuki empat bulan. Rasa mual dan pusing yang dirasakannya di awal-awal kehamilan, saat ini perlahan berkurang. Makannya juga lebih berselera, apalagi sudah dua hari ini Munos keluar kota, begitu juga dengan Bu Sundari dan Pak Karim. Fani benar-benar merasa rileks dan tenang.
"Non Fani nanti siang mau makan apa, Non?" tanya Bik Ina saat menghampiri Fani yang tengah duduk di taman belakang.
"Mmm ... makan apa ya, Bik?" alisnya bertaut memikirkan menu apa yang kiranya menggugah selera makannya.
"Bibik bisa masak sambel goreng kentang hati sapi gak?" tanya Fani kemudian diikuti senyum hangatnya.
"Wahh, gampang itu mah Non, itu kan makanan kesukaan Tuan Munos," jawab Bik Ina tanpa memperhatikan raut wajah Fani yang berubah sendu.
Fani terdiam, seketika perutnya bergejolak dan bayangan sambal goreng kentang hati tadi pupus sudah. Tak sudi juga rasanya makan makanan kesukaan drakula labil itu.
"Oh gitu yaa," sahut Fani malas.
"Baik Non, saya ke dapur dulu biar saya masakin ya, sekalian sama sayur daun katuk. Kata Nyonya, Non harus sering-sering makan daun katuk biar asinya Non Fani banyak," ucap Bik Ina diikuti dengan senyuman.
Masakan Bik Ina memang selalu enak, buktinya dua hari ini Fani betah sekali berlama-lama di dapur, mencicipi semua masakan Bik Ina. Benar-benar dua hari yang menyenangkan, perutnya sampai kaku karena terlalu kenyang. Jujur selama divonis hamil, baru kali ini Fani makan begitu nikmat.
Jiwa, raga, dan perutnya terasa begitu plong saat suaminya bepergian keluar kota. Tak memberi kabar apapun tak masalah, yang penting ia tenang dan kenyang. Tak pernah terbersit di kepalanya untuk menjadi menantu orang kaya, tetapi peran itu kini harus ia jalani ditengah sikap kasar suaminya.
Dua piring nasi sudah dia sendokkan kembali begitu juga dengan sayur bening katuk dan sambal goreng kentang hati sapi.
"Kamu kira kamu siapa? Huh!" bentak suara bariton itu dari ruang depan.
Fani terlonjak kaget, sampai sendok dalam genggamannya terlepas. Diliriknya takut-takut suara lelaki yang sudah dua hari ini tak mengisi kesakitan hatinya. Tampak lelaki itu sedang berbicara di telepon sambil marah-marah dan mengumpat. Sadar diperhatikan seseorang, Mukos menatap Fani yang seketika menundukkan pandangan.
"Ya Allah, habis dah saya kali ini," gumam Fani dalam hati tanpa berani menatap kembali Munos.
"Kamu, yang lagi enak-enak makan, ke kamar sekarang!" bentak Munos.
Jantung Fani memompa dengan sangat kencang. Perintah Munos barusan adalah awal dari kesakitan yang akan dia terima hari ini. Pasrah tanpa bisa melakukan apapun, Fani melangkah dengan malas naik ke lantai dua menuju kamarnya.
Fani masuk ke dalam kamar dan mendapati suaminya sedang berada di dalam kamar mandi. Hatinya merasa sedikit lega. Paling tidak, ia bisa mengatur napas dan detak jantung yang saat ini tidak bisa diajak kerjasama.
Tak lama kemudian, Munos keluar kamar mandi dengan hanya menggunakan handuk yang dililit di pinggangnya. Fani mengalihkan pandangan.
"Kenapa masih diam saja?!" betaknya lagi.
"Sana masuk kamar mandi, sikat gigi dan cuci tangan kamu sampai bersih. Saya tak sudi bersentuhan dengan wanita banyak kumannya," perintah Munos dengan kasar.
Bak terhipnostis, Fani mengangguk dan segera berjalan ke kamar mandi, melakukan semua perintah Munos.
"Apa dia mau datang padaku di saat sadar?" tanya Fani dalam hati.
"Alhamdulillah, paling tidak kalau sadar dia tidak akan kasar," gumam Fani lagi. Mencoba mengatur napas sebelum membuka pintu kamar mandi.
Fani keluar kamar mandi dengan pandangan menunduk. Bingung harus ke arah mana dia berjalan.
"Sini!" panggil Munos dengan tak sabar.
"I-iya, Pak," jawab Fani ketakutan. Namun kakinya tetap melangkah mendekati Munos yang sudah duduk bersandar di kepala ranjang. Lelaki itu memperhatikan wanita di depannya. Wajahnya tidak cantik, kulitnya juga tidak putih. Lihatlah pakaian yang dia kenakan, hanya setelan piyama keroppi yang sudah pudar warnanya. Tidak ada menariknya sama sekali, Munos hanya ingin sesekali bermain-main, membuat Fani tidak tahan dengannya kemudian meminta cerai. Sangat mudah, bukan?
Kaki Fani sudah sampai di bibir ranjang besar itu. Dengan pandangan masih menunduk, Fani memilin-milin ujung piyamanya.
"Buka baju kamu!" perintah Munos tanpa basa-basi.
"Eh...t-t-tapi." Fani kaget sekaligus gugup.
"Buka saya bilang!" bentaknya dari atas ranjang.
Dengan takut Fani membuka satu per satu kancing piyamanya, kemudian menurunkan celana panjang dengan motif yang sama. dengan piyamanya. Tinggalah Fani hanya mengenakan bra berwarna ungu dan cd berwarna ungu senada. Semakin gemetar Fani menutupi dengan tangan kanannya dan kiri mencoba menutupi pangkal pahanya.
"Ya Tuhan aku benar-benar bodoh bisa menikah dengan wanita ini!" umpat Munos dengan suara keras.
"Lihatlah, bahkan kamu hampir telanjang, tapi saya tidak bisa bereaksi, cih!" ucapnya dengan sarkas.
Air mata Fani sudah mengalir deras, perutnya pun terasa keram seketika dan hawa dingin dari AC kamarnya serasa menusuk tulang.
Munos mengusap cambangnya dengan seksama, sambil memperhatikan Fani.
"Buka lagi sisanya!" titah Munos lagi dengan suara sedikit serak.
Fani menggeleng. "Jangan Pak, kasihani saya. Saya sedang hamil," Isaknya kencang, dengan bahu bergetar hebat.
"Baiklah. Hari ini saya berbaik hati," potong Munos cepat.
"Terimakasih," jawab Fani.
"Hei ... hei! Siapa suruh kamu ambil pakaian itu?" tanya Munos dengan kesal saat melihat Fani mencoba mengambil piyamanya yang ada di lantai. Munos turun dari ranjang, lalu mendekati Fani, "Saya berbaik hati menelanjangi kamu," bisiknya dengan nada menyeramkan . Kemudian tangannya menyapu pundak polos Fani dan menurunkan tali surga yang bewarna ungu. Fani menepis tangan Munos namun tak berhasil, bra sudah tergeletak mengenaskan di lantai kamar, menyisakan cd yang masih melekat seksi di b****g Fani.
Fani mundur beberapa langkah, sambil terisak lalu menggeleng keras. "Jangan, Pak! Saya mohon!" kedua telapak tangannya beradu di atas d**a polosnya, memohon. Mata Munos seperti orang yang kesurupan, merah dan penuh kebencian.
Munos memaksa mencium Fani dengan kasar, bibir Fani digigit hingga berdarah, tak hanya itu Munos juga menjambak rambut Fani hingga ke bibir ranjang. Fani menangis tersedu sambil memohon Munos untuk berhenti.
Plaakk!
Munos menampar pipi gembul Fani kanan dan kiri. Tak tahan dengan perlakuan Munos Fani mencoba lepas dari kungkungan tubuh besar Munos, namun tak berhasil, sekali lagi Munos mencium bibir Fani dengan kasar tepat pada lukanya.
"Sakiit, Pak. Udah, saya mohon ampun Pak, jangan begini," isak Fani dengan seluruh tubuh dan juga perutnya merasakan sakit yang luar biasa. Munos masih menggerayangi tubuh molek istrinya, sambil sesekali memukul pipi Fani dengan keras, hingga tercetak merah dikedua pipi Fani. Munos ternyata lebih ganas saat sadar dari pada saat mabuk, benar-benar mengerikan.
Buuggh!
Fani menendang organ vital Munos dengan sekuat tenaga.
"Aw!" Munos mengaduh kesakitan. Saat itu juga Fani menarik selimut dan melilitkan seadanya pada tubuhnya. Dia harus bergegas keluar dari kamar ini, dengan cepat Fani berjalan mendekati pintu dan membukanya. Baru tiga langkah di luar kamar, persis di depan tangga, Munos menarik tangan Fani, memutarnya menghadap Munos, dan...
Plak!
Munos kembali menampar Fani. "Kamu kira kamu siapa berani menolakku?!" bentaknya sambil mengguncang kedua bahu Fani dengan keras. Darah segar sudah mengalir dari kedua sudut bibir Fani.
"Ampuni saya, Pak," isak Fani lagi benar-benar ketakutan.
"Okee, kalau kamu mau pergi, pergi sana! Kita bercerai sekalian, kamu saya talak." Munos mendorong bahu Fani dengan kasar, sehingga kaki Fani tersandung selimut yang melantai.
Buugg...buughh...buug...
Fani terjatuh dari lantai dua, tubuhnya berguling-guling hingga ke dasar anak tangga.
"Munos! apa yang kamu lakukan?" teriak Bu Sundari menyaksikan anaknya mendorong menantunya dengan kasar hingga jatuh berguling dari tangga.
Pak Karim dan Bu Sundari berlari menghampiri Fani yang sudah tak sadarkan diri. Munos masih tergugu dengan pemandangan di bawahnya.
"b******n kamu!" teriak Pak Karim
"Cepat bantu istri kamu!" umpat pak Karim.
"Daraah, Pa, daraaah ..." Bu Sundari histeris menyaksikan Fani mengeluarkan darah segar dari celah pahanya.