Ketika Orang Ketiga Menghancurkan, maka Orang Keempat Akan Mempersatukan.

1934 Words
"Sampai kapan kau akan ada disini? Aku sama sekali tidak mencegahmu untuk pergi." Raina menatap Satya datar dengan bersedekap d**a. Pria itu masih duduk tenang di sofa ruang tamu dimana tempat mereka bermain kemarin. "Kau mengusirku?" Menatap Raina dengan wajah polos yang dibuat-buat. "Kemarin kau menyeretku, dan setelah kau mendapat apa yang kau mau, kau membuangku. Benar-benar wanita hebat." Satya menjilat bibir sensual diiringi seringai membuat Raina muak. Ingin sekali melempar Satya dari apartemennya sekarang, tapi tidak. Jika itu terjadi, ia akan dikenakan pasal berlapis, yakni pemaksaan dan pembunuhan. Raina mendesah berat, melangkahkan kaki menuju kamarnya. Terserah Satya ingin pergi dari sini atau tidak, setidaknya pria itu tak berniat membalas apa yang ia lakukan kemarin. Hap! Satya menarik tangannya saat ia berjalan melewatinya. Dengan sekali tarik membuat Raina oleng dan jatuh terduduk di pangkuannya. Raina menatapnya nyalang dan berusaha bangkit dari pangkuan Satya namun Satya mencegahnya. Tatapan keduanya bertemu saat Satya menatap Raina penuh damba. Glek! Raina menelan ludah kasar, sepertinya ia salah telah melibatkan Satya dalam kehidupannya. Brak! "Raina!" Grace membuka lebar pintu apartemen Raina dengan keras. Mungkin pintu itu harus diperbaiki besok karena selalu menjadi korban amukan. Kemarin Beryl dan sekarang Grace, entah siapa lagi nanti yang akan melakukan hal yang sama dan harus bertanggung jawab. Ia berjalan tergesa dan betapa terkejutnya ia kala melihat adegan m***m di depan matanya. Raina masih berada di pangkuan Satya dengan pria itu yang nyaris menciumnya. Namun kegiatan itu harus terhenti kala melihat Grace berdiri dengan kaku menatap mereka. Raina segera melepaskan diri dan bangun dari pangkuan Satya. Ia menghampiri Grace yang masih terdiam dengan mata sedikit melebar. "Grace ...." "Jadi ini yang membuat Beryl mabuk?" gumam Grace tanpa mengalihkan pandangan dari Satya. Kemudian menoleh kaku pada Raina yang kini berdiri di sampingnya dengan memegang lengannya. "Katakan, Raina!" bentaknya dengan marah. Raina melepas tangannya dari lengan Grace hingga berjingkat kaget. "Grace ...." "Apa kau sadar apa yang telah kau lakukan?!" bentaknya lagi dengan wajah merah membendung emosi. Raina terdiam, matanya mulai berkaca-kaca. "Apa kau tahu? Beryl saat ini tengah mabuk dan kau tentu tahu dia tidak pernah melakukan itu semumur hidup, sampai hari ini. Dan semua itu karena dirimu! Apa kau gila?" Lagi, Grace memarahi Raina seakan dia adalah pencuri yang tertangkap basah. Air mata Raina tak dapat lagi dibendung. Bukan karena mendengar Beryl mabuk, tapi melihat sahabatnya lebih membela pria itu daripada dirinya. "Iya! Aku gila, aku memang gila! Aku gila karena mencintai dia yang sudah berkeluarga! Aku gila karena berniat menjadi orang ketiga! Dan aku gila karena bersedia menunggunya berpisah dengan istrinya! Kau benar! Aku memang gila!" Raina berteriak namun dengan air mata mengalir deras. Grace yang melihatnya tak dapat mengatakan apapun. "Seharusnya kau memberitahuku bahwa dia sudah menikah sebelum aku benar-benar mencintainya. Hiks ... maka aku akan menyerah dan tidak menjadi orang ketiga dalam hubungan mereka. Hiks ... hiks ... saat aku telah benar-benar mencintainya, dia baru mengatakan sudah memiliki keluarga, kau pikir bagaimana perasaanku?" Raina mengusap air matanya kasar. Ia merosot dan terduduk di lantai dan terus mengusap air matanya. Satya bangun dari duduknya, menghampiri Raina dan menatap Grace dengan tatapan datar. "Jadi kau yang menyuruhnya menjadi wanita gila?" Memperhatikan Grace dari atas sampai ujung sepatu high heels yang dipakainya. "Jika kau ingin ke neraka, jangan menyeret temanmu, bodoh," ucap Satya tanpa ekspresi bahkan suaranya terdengar begitu dingin. "Apa katamu!" geram Grace tak terima. Ia mengangkat tangannya untuk memberi Satya tamparan, namun dengan cepat Satya menangkap tangannya dan menghempasnya pelan. Ia tidak akan berkelahi dengan wanita. "Seperti penampilanmu," terdiam sejenak. "Benar-benar jalang." Menatap Grace dengan tatapannya yang kian dingin dan sukses membuat Grace terdiam tak berkutik. Giginya bergemeletuk namun ia tak dapat mengatakan apapun. "Darimana kau mengenal pria kurang ajar ini, Raina!" teriak Grace pada Raina. Ia memilih Raina sebagai pelampiasannya. Raina mengabaikan teriakan Grace padanya. Ia masih terduduk dan menunduk mengusap air mata yang terus mengalir. "Dia tidak butuh teman sepertimu, pergilah," ucap Satya dingin. "Kau!" Grace menatap Satya nyalang, dia benar-benar marah. Namun percuma, bahkan tatapan Satya ratusan kali lebih menusuk daripada tatapannya. Grace segera berbalik dan berjalan menuju pintu dengan mengucap sumpah serapah untuk Satya. Brak!! Dan benar saja, lagi-lagi pintu itu harus menjadi korban amukannya. "Kau benar-benar bodoh jika berteman dengannya." Satya berjongkok menyamakan posisi dengan Raina yang masih terduduk di lantai. "Kau tidak tahu apa-apa, pergilah," ucap Raina dengan suara kecil disertai sesenggukan. "Kau benar dengan lepas dari suami orang, jika kau tetap bersamanya, kau benar-benar wanita rendah. Ada banyak pria di luar sana dan kau justru mengemis cinta pada suami orang, benar-benar wanita yang tak ada harga diri sama sekali." Satya meraih dagu Raina, membuatnya setengah menengadah dan menatapnya. Raina benar-benar buruk dengan matanya yang merah dan wajah basah penuh air mata. Raina hanya diam, hatinya masih sakit mengingat Grace dan Beryl. Ia tahu yang dilakukannya adalah salah, tapi hatinya tak bisa ia kendalikan. Dan bagaimana bisa Grace justru menyalahkannya? Ingatannya kembali saat hubungannya dengan Beryl dimulai. *** Beryl terkekeh dan justru membuat wajah Raina semakin merah. Ia menyiku Grace berharap Grace membantunya kabur, namun wanita itu semakin membuatnya malu. Saat ini mereka tengah berada di sebuah restoran dengan Grace yang sengaja mempertemukan keduanya. "Yah ... mau bagaimana lagi, Raina memang tak bisa mengendalikan diri saat bertemu orang yang ia sukai." Tanpa dosa Grace justru membuka semua di depan Beryl seakan semua itu hal yang biasa. Rasanya Raina ingin mengubur diri hidup-hidup, sahabatnya benar-benar kejam. "Bukankah itu bagus? Jadi dia menjadi dirinya sendiri, bukan menjadi orang lain agar bisa menarik perhatian orang yang ia sukai," ucap Beryl diiringi senyum tipis. Rona kemerahan menghiasi wajah Raina kala melihat senyum manis itu. Benar-benar tampan. "Yups, benar sekali." Grace mengedipkan sebelah mata dengan dua jari membentuk bentuk ceklist. "Sebentar lagi kau akan lulus, apa rencanamu setelah ini, Raina." Wajah yang berhias senyuman kini berganti menjadi wajah penuh kelembutan dan kharisma disaat bersamaan. Dan tentu, sukses membuat Raina kian memuji bahwa ia benar-benar makhluk Tuhan paling tampan. "Ah ... itu ... aku belum memikirkannya, lagipula masih satu semester lagi," jawab Raina dengan setengah menunduk menyembunyikan wajahnya yang mungkin berwarna merah. Ia merasa wajahnya terasa panas. Beryl mengangguk kemudian kembali tersenyum seraya berkata, "Aku yakin kau akan lulus dengan nilai terbaik." Deg ... Raina mengangkat kepalanya hingga ia bisa melihat wajah Beryl sepenuhnya. Jantungnya berdetak amat cepat. Hanya dengan kata sesederhana itu sudah mampu membuat hatinya seakan dipenuhi bunga yang tengah mekar. "Bukankah nilaimu selalu bagus?" tanya Beryl memastikan. "A -- apa? Ti -- tidak, darimana kau tahu?" Raina menyelipkan anak rambutnya ke belakang telinga dengan malu-malu. "Grace memberikan semua catatan nilaimu." Beryl mengatakannya dengan tersenyum hingga matanya menyipit. Seketika Raina mendelik pada Grace yang hanya nyengir kuda kemudian menjulurkan lidahnya mengejek. "Memang kenapa? Nilaimu memang bagus," kata Grace dengan mengedikkan bahu seakan tak peduli bagaimana perasaan Raina yang malu. Drt ... Drt ... Getar ponsel Grace menghentikan obrolan mereka. Ia mengangkat panggilan dan tak lama kemudian berdiri dari duduknya dan mengatakan ia harus segera pergi. "Kau mau kemana?" tanya Raina dengan mencegah Grace pergi. Ia terlalu malu jika harus berdua saja dengan Beryl. "Dion menungguku di rumah," ucapnya dan segera melangkah. Kemudian menoleh pada Beryl. "Tolong jaga Raina ya, dan nikmati makan siang kalian," katanya dengan tersenyum menggoda kemudian berlalu. "Dasar," gumam Beryl. Kemudian ia memperhatikan Raina. Dimatanya Raina wanita yang lucu dan bisa dibilang kecantikannya lebih daripada Kirana. Tidak ada make up tebal atau bulu mata palsu dan lipstik merah merekah seperti istrinya. Mengingat istrinya membuatnya mendesah berat hingga menutup wajahnya dengan sebelah tangan. Andai saja Kirana tetap menjadi Kirana yang dulu, ia sudah sangat senang. "A -- ada apa?" tanya Raina ragu. "Tidak ada." Beryl menurunkan tangannya dan kembali tersenyum. Sepertinya ide Grace bisa ia terima. Kirana selingkuh karena alasan tak masuk akal, dan dia juga bisa melakukannya. Lagipula Raina tidak buruk, ia yakin Raina benar-benar masih polos. Ia ingin mencoba, mungkin saja Raina bisa membantunya menghilangkan pikiran tentang istrinya. Ia memang membutuhkan sebuah hiburan untuk mewarnai hidupnya yang kini tengah berwarna hitam. "Se -- sebenarnya ... darimana Grace mengenalmu?" tanya Raina dengan hati-hati. Ia masih penasaran darimana Grace mengenal Beryl. "Dion adalah temanku sejak kuliah," jawab Beryl dengan mengambil secangkir kopi di atas meja dan meminumnya. Meneguknya kemudian meletakkan kembali ke tempatnya semula. "Kau dan Grace sudah lama berteman?" tanyanya yang menatap Raina dengan tatapan lembut. "I -- iya," jawab Raina dengan sedikit menunduk. Ia tidak bisa menatap mata Beryl yang sedari tadi seakan terus tertuju padanya. "Sebenarnya, aku dan Grace masih ada hubungan kerabat jauh." "Eh?" Raina cukup terkejut. Pantas saja Grace terlalu terbuka padanya, dan sayangnya keterbukaan Grace adalah mengenai dirinya. "Memang menyebalkan berteman dengan wanita itu." Beryl terkekeh membuat debaran di hati Raina kembali muncul ke permukaan. "Apa dia mengatakan sesuatu?" tanya Raina dengan menatapnya malu-malu. "Dia mengatakan kau menyukaiku," kata Beryl dengan tersenyum. Raina ingin pingsan sekarang juga. Sepertinya ia memang harus ke planet lain sekarang. Ia membenturkan kepalanya ke meja dengan wajah yang sudah sangat merah. Namun sayangnya, tingkahnya justru membuat Beryl kian terkekeh geli. Menurutnya Raina sangat lucu, sepertinya sangat tepat untuk mengalihkan pikirannya dari Kirana. Raina bisa menghiburnya. "Aku ingin ke toilet." Raina bangun dari duduknya masih dengan menunduk menyembunyikan wajahnya. Ia harus segera kabur sebelum merasa semakin dipermalukan temannya. Hap ... Tangan Beryl dengan cepat mencegahnya sebelum pergi. "Tidak apa-apa, mungkin kita bisa berteman," ucapnya. Rasanya Raina ingin pingsan. Senang dan kecewa disaat bersamaan. Bahkan Beryl hanya memegang tangannya tapi rasanya sudah seperti tersengat listrik. Namun ucapan terakhirnya membuatnya ingin menangis. Teman? Itu artinya Beryl tidak berniat lebih dari teman. Rasanya sakit dan malu disaat bersamaan ketika ditolak bahkan belum menyatakan perasaan. Namun, ucapan Beryl setelahnya membuatnya benar-benar ingin pingsan. "Sebuah hubungan memang berawal dari pertemanan, bukan?" Beryl menatapnya tepat pada mata indahnya. Raina seakan terpaku pada tatapannya. Sepertinya ia benar-benar jatuh cinta, bukan sekedar kagum dan suka. *** Rasanya Raina ingin memutar waktu. Itu adalah awal ia tenggelam pada rasa cintanya. Rasa cinta yang membuatnya kehilangan akal sehatnya. Jika saja saat itu Beryl mengatakan ia sudah berkeluarga, ia yakin, rasanya tak akan sesakit ini dan ia akan segera mengambil jarak. Sayangnya, Beryl mengatakan yang sebenarnya saat ia telah mencintainya. Dan dengan bodohnya, ia bersedia menjadi yang kedua. Ia kembali menangis dan membenamkan wajahnya pada kedua lututnya. Beryl mengatakan bahwa hubungannya dan istrinya hampir diambang perceraian. Ia rela menunggu, rela menjadi yang kedua, dan rela menjadi simpanan. Bahkan ia rela menyerahkan kesuciannya yang sayangnya semua tak berjalan sempurna. Semakin kesini Beryl mulai berubah. Mengatakan sibuk dengan pekerjaannya dan hanya mengiriminya hadiah sebagai permintaan maaf. Berbeda dengan awal mereka menjalin hubungan. Puk ... Satya mengusap helaian rambutnya lembut. "Pergilah! Hiks ... hiks ... berhenti seakan kau tahu perasaanku!" ucap Raina tanpa mengangkat kepala menatap Satya. Ia masih menyembunyikan wajahnya dan berusaha menyingkirkan tangan Satya yang mengusap kepalanya. "Ketika orang ketiga menghancurkan, maka orang keempat akan mempersatukan." Mendengar ucapan Satya, Raina menegakkan kepala dan menatapnya seakan penuh tanya. Satya mengangkat tangannya mengusap jejak-jejak air mata di wajahnya. Mengambil ikat rambut yang melingkar di tangan Raina kemudian mengikat rambut Raina tinggi menyisakan helaian anak rambut yang tak dapat terikat dengan sempurna. Raina hanya diam, ia masih mencerna ucapan Satya sebelumnya. "Kau lebih cantik dengan wajahmu yang terlihat sepenuhnya," ucapnya dengan tatapan mata yang mampu membius Raina hingga tak bergerak. Cup ... Bibir kenyal itu kembali bertemu untuk kesekian kalinya, membawa Raina seakan terseret dan kehilangan kesadarannya. Raina baru tersadar kala merasakan sesuatu melesak dan melewati mulutnya. Obat kecil yang sama yang ia minum sebelumnya. Ia terbelalak, pria ini benar-benar berbahaya. Satya menyeringai tipis, ia tak akan melepaskan Raina dengan mudah. Bahkan, ia akan mengurung Raina dalam sangkar emasnya jika bisa. Raina adalah barang mahal nan langka yang harus ia jaga. TBC ....
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD