Mereka berlatih dengan gembira banyak tertawa dan teriak,saat bermain,begitu pula Maria dan Nana.
Nana tampak bersemangat melihat tawa Maria.
"Kau bersemangat sekali, Bro," seru Iwan.
"Hmmm, lanjutkan mainya!" seru Nana malas.
Satu jam berlatih dan bermain, kini mereka istirahat duduk di bawah pohon berteduh. Nana duduk dengan Maria,ia tampak tersenyum senang melihat Maria yang sudah mau berbaur dengan yang lain dan lebih dekat denganya.
"Apa cape?" tanya Nana.
"Lebih cape jawab nanti," cetus Maria.
"Iyaaa, gak tanya lagi, apa mau minum?" balas Nana tersenyum, ia menggoda Maria.
"Kamu ini ada banyak mata menyeramkan melihatku, jika kamu ngasih minum lagi padaku," ucap Maria.
"Siapa mereka? Biar aku usir," balas Nana tersenyum melihat Maria.
"Dasar bodoh, ada banyak yang mengejarmu malah mau berteman denganku," cetus Maria.
"Karena kamu keren," bisik Nana tersenyum.
"Hahaha, kamu lucu Nana," tawa Maria.
Nana tersenyum bahagia ketika Maria tertawa dan menyebut namanya dengan benar, selama ini Maria tidak pernah menyebut namanya. Nana mencubit pipi Maria gemas, membuat Maria terkejut dan diam. Dia masih tersenyum pada Maria, ia melihat pipi Maria yang memerah bekas cubitanya karena kulitnya putih.
"Sakit tau," teriak Maria menepis tangan Nana, dan memajukan bibirnya.
"Hahaha, pipimu merah sekali seperti habis di gebukin," ucap Nana tertawa.
Maria teringat sesuatu saat mendengar di hal tentang pukulan, dia tertegun dan berdiri.
"Aku pulang dulu ya! Masih ada tugas rumah yang belum aku kerjakan ni," pamit Maria.
"Tugas apa? Bukanya sudah tidak belajar lagi?" tanya Nana heran.
"Tugasku banyak di rumah, baiklah latihanya sudah selesaikan? Aku pulang ya by Nana," teriak Maria melambaikan tanganya pada Nana.
Nana yang melihat Maria yang berlari pergi, tapi kali ini Nana tersenyum bahagia seperti ada ucapan Maria yang membuatnya senang hari ini.
"Dia dua kali memanggil namaku, juga berpamitan padaku," senyum Nana.
"Benarkah? Sungguh wanita yang langka," ucap Iwan tiba-tiba.
"Sialan Lu! Dia keren," seru Nana.
"Seleramu unik Bro, dari banyaknya gadis cantik yang mengejarmu kamu malah mendekati gadis tomboy dan juga miskin," ucap Iwan.
"Apa maksudmu? Tidak ada kata memilih dalam berteman,ingat lu juga bukan orang yang banyak duit," tegas Nana, ia meninggalkan Iwan dengan kesal.
"Dia beneran suka gadis itu," batin Iwan.
Maria berlari untuk sampai ke rumahnya tepat waktu. Maria melihat ibunya sedang marah-marah disana, ia kesal dengan Maria yang tidak masak lauk untuk makan malam yang hanya masak nasi saja. Ibu Maria yang harus memasaknya kali ini.
"Nah kenapa masih pulang hah, sebaiknya jangan pulang saja," teriak ibu Maria.
Maria tidak menjawab ia bergegas ke dapur dan melanjutkan masaknya.
Saat Maria mencoba mengambil alih masakan ibunya. Ibu Maria menyenggol tubuh Maria, hingga gadis tersungkur dan mengenai panci berisi air panas tangan Maria masuk ke air panci.
"Uuuuh," ringis Maria memegang tanganya, ia bergegas mencelupkan tanganya ke bak air dingin.
"Kamu bodoh hah! Itu air jadi kotor kalau tanganmu di masukan ke sana! Kamu harus mengganti airnya dengan yang baru!" teriak ibu Maria.
Maria mengangguk, ia merendam tanganya yang terasa panas, akibat terkena air mendidih tadi.
"Sedang apa Dek?" tanya Amran.
"Maaf ya Kak, airnya jadi kotor nih," ucap Maria.
"Kenapa?" tanya Amran.
"Tangan Maria tadi kena panci air panas Kak, jadi Maria reflek memasukanya ke bak air," jelas Maria.
"Tidak apa-apa, nanti Kakak ganti airnya," ucap Amran.
Maria mengangguk, ia melihat tanganya yang sudah tidak terlalu panas, hanya tanganya memerah. Maria membungkus tanganya dengan sapu tangan yang Nana berikan saat itu.
"Aku lupa mengembalikanya, aku pakai saja dulu biar mendingan tanganku," ucap Maria.
Saat Makan malam tiba, ayah Maria memperhatikan Maria yang tengah makan.
"Tanganmu kenapa?" tanya ayah Maria.
"Kena cipratan air panas tadi, saat mengangkat panci," jawab Maria.
"Apa melepuh?" tanya ayahnya lagi.
"Tidak, hanya merah saja Pak," balas Maria.
"Huh manja," cetus ibu Maria.
Maria yang mendengar itu, Ia terdiam dan melanjutkan makannya kembali.
Pagi ini, Maria di sibukan dengan, masak yang banyak karena di kebun ada yang bekerja karna sedang memanen padi di kebun orang tuanya. Maria bergegas ke sekolah, dengan tangan yang di balut, juga hati bahagia kaerna kakaknya.
"Kamu gila ya," tanya Atikah.
"Aku senang punya kakaku," ucap Maria tersenyum bahagia.
"Bukanya senang karena uangnya?" tanya Atikah.
"Uang tidak terlalu penting, yang terpenting kakaku peduli padaku," ucap Maria senang.
"Aku juga perduli padamu, nih uang jajanku untukmu, tanganmu kenapa?" ucap Atikah memberikan uang lima ribu.
"Tidak perlu, kau jadi sahabatku dan selalu ada untuku itu sudah sangat cukup, ini terkena air mendidih kemarin," ucap Maria.
"Kenapa seceroboh itu kamu ini," teriak Atikah cemas.
"Tidak apa, tidak melepuh kok, sudah aku balut dengan kain," ucap Maria.
"Apa sudah pakai salep?" tanya Atikah.
"Tidak perlu, ini tidak apa-apa," teriak Maria.
Maria yang sedang berjalan dengan Atikah menuju sekolah,kini sudah berada di gerbang sekolah, di pintu masuk sudah ada Nana berdiri dan sudah pasti menunggu Maria.
"Kamu sudah datang?" tanya Nana tersenyum.
"Hmm," Maria berjalan melewati Nana.
Nana mengikuti Maria, dari belakang tiba-tiba saja tangan Maria ia pegang.
"Kamu kenapa?" tanya Nana melihat tangan Maria.
"Hanya terkena air panas saja," jawab Maria.
"Kenapa bisa seperti ini?" tanya Nana.
Maria melepas tangan Nana yang semua orang di sekolah melihat mereka berdua.
Ia berjalan masuk ke kelasnya. Hingga
Jam istirhat sudah tiba, Maria keluar kelas tiba-tiba saja, Nana menarik Maria ke belakang sekolah yang biasa mereka bertemu.
Nana membuka perban yang di balut sapu tanganya, ia melihat tangan yang merah Nana mengoles salep anti bakar ke tangan Maria.
"Apa sakit?" tanya Nana.
Maria menggelengkan kepalanya, ia menahan perihnya.
Nana mencoba menekan lebih keras pada bagian luka tangan Maria.
"Aww!!" ringis Maria.
"Apa sakit?" tanya Nana.
Maria mengangguk, ia meringis kesakitan dengan mata berkaca.
"Saki," ucap Maria mengembungkan pipinya.
"Bukankah. akan ada pertandingan kenapa bisa seperti ini?" tanya Nana.
"Nanti juga sembuh," jawab Maria.
Saat Maria melihat tanganya yang sudah mendingan ia melihat ke arah Nana. Tiba-tiba Nana menempelkan bibirnya di bibir Maria. Gadis itu terkejut jantungnya berdetak kencang tak karuan, Wajahnya merah.
"Nanti oleskan lagi ya," ucap Nana setelah melepas ciumannya.
"Apa yang aku lakukan? Kenapa aku tidak bisa menahan diri?" batin Nana.
Maria merasa ini tidak benar, ia berdiri dan pergi meninggalkan Nana, dia tidak yakin akan apa yang tengah terjadi. Dia memasuki kelasnya dan duduk di bangku, ia memegang dadanya juga memegang bibirnya.
"Ini apa tadi, kenapa bisa ada hal tadi? Duuuh, nanti aku malu bertemu dia lagi," gumam Maria.
"Bertemu siapa?" tanya Atikah mengagetkan Maria.
"Kamu mengagetkan saja!" teriak Maria.
"Memang ada apa? Sampai sekaget itu?tanya Atikah.
"Aku malu kalo bertemu pria itu lagi," bisik Maria.
"Apa sih aku gak ngerti?" Atikah penasaran.
"Dia mencium ini," bisik Maria menunjukan bibirnya.
"Yang selalu menunggumu di gerbang?" tanya Atikah malas.
Maria mengangguk dan menutup mulutnya dengan kedua tanganya.
"Hmm, itu hal biasakan kalo cowok tampan mah," ucap Atikah.
"Ko hal biasa?" tanya Maria.
"Dia kan tampan dan populer, jadi pasti banyak gadis gadis yang mengejarnya juga menciumnya," jelas Atikah.
"Iya yah, mana mungkin aku se istimewa itu, mungkin dia iseng juga padaku," ucap Maria.
"Lagipula, siapa aku? Dia bilang berteman saja udah bagus sih, mana ada yang mau sama cewek tomboy dan judes kaya aku," gumam Maria.
"Sudah, fokus saja sama daftar sekolah hari rabu kita kesekolah baru," ucap Atikah.
Maria mengangguk dan akan bersikap seolah tidak terjadi apa-apa karena itu akan lebih bagus.
Pulang sekolah Maria melihat Nana berdiri di depan kelasnya.
Nana tersenyum dan menyapa. Maria berpamitan dan bergegas pulangtanpa mendengarkan apa yang akan Nana ucapkan.
Sesampai di rumah Maria masih rutin mengerjakan pekerjaan rumah, memasak mencuci juga mengasuh adik-adiknya yang masih kecil.
"Kak, besok aku ada pertandingan di sekolah antar sekolah, Kakak mau lihat aku main gak?" tanya Maria.
"Kakak kan, di jam belajar Dek dan juga sekolah kamu kan berjauhan, bisa-bisa gak sekolah Kakak," balas Amran.
"Iya yah, kalau begitu, Maria minta uang jajan donk Kak! Buat besok, takutnya Maria harus beli minumkan," ucap Maria.
"Nanti sore Kakak akan pergi ke lumbuk padi, punya tetangga meminta Kakak kesana. Katanya nanti di kasih uang, kamu mau ikut kakak gak? Nanti kamu lihatin aja," ajak Amran.
"Mau Kak, ade ada ibu ini jadi biar Yunus Yana aja yang ikut ya, gak papakan Kak," teriak Maria.
"Hahaha, rame donk? Iya gak papa, nanti biar bantuin Kakak mengusir ayam yang nakal ya," ucap Amran.
"Baik Kak, aku selesaikan di dapur dulu ya kak biar bisa ikut," ucap Maria.
"Tanganmu sudah sembuh?" tanya Amran.
"Sudah Kak di kasih obat sama teman," balas Maria.
"Hmmm, bagus punya banyak teman itu akan jauh lebih membantu Dek," ucap Amran pergi ke depan teras.
Maria dan kakaknya kini sedang berjalan berama adik-adiknya menelusuri jalanan setapak ke tempat penumbuk padi.
"Kalian tunggu disini ya, kakak mau ke penggillinganya dulu, itu awasi jangan sampai ada ayam yang mengacak-ngacak ya," ucap Amran.
Maria mengangguk, selain Amran ada ketiga kakaknya yang lain tengah berada di luar kota. Karean keterbatasan biaya, kakak-kakaknya tidak tamat sekolah.
Hanya Amran yang sekolah lanjut karena keuangan keluarga sudah stabil.
Pagi ini Maria memasak dengan cepat ia bahkan sarapan duluan, karena hari ini ada pertandingan voli antar sekolah.
"Kamu kaya orang kelaparan saja," ucap ibu Maria.
"Hehe, iya Bu, hari ini ada pertandinganjadi Maria harus ada tenaga," balas Maria.
"Huh, sekolah yang untung ibu yang rugi harus ngasih kamu makan dulu," cetus ibu Maria.
Maria tersenyum dan berpamitan berangkat sekolah. Ia tidak pernah mengeluh atau menangisi sikap ibunya padanya karna itu sudah biasa bagi Maria.
Pernah suatu hari saat Maria berusia 6 tahun.Saat itu, Maria masih anak bungsu, keluarga besarnya akan pergi kondangan memakai mobil bak besar.
Maria baru bangun tidur ia melihat orang-orang sudah rapih.
Maria melihat orangtuanya sudah dandan rapih hingga mobilpun siap berangkat.
Maria menghampiri ibunya.
"Ibu mau kemana?" tanya Maria.
"Ibu mau kondangan jauh kamu sana pergi ke nenek," ucap ibu Maria.
Maria melihat kakaknya Amran sudah rapih memakai pakaian polisi.
"Kakak ikut?" tanya Maria.
Amran mengangguk. Maria berlari ke arah ibunya yang sedang berbincang dengan tantenya. Maria menarik baju ibunya.
"Ibu ikut Bu!" seru Maria.
"Kamu ini belum mandi, diam saja d rumah!" teriak ibu Maria mengibaskan pegangan Maria pada pakaianya.
"Ikut Buu," tangis Maria.
"Bu!! Ambil nih Maria, dia nangis nih," teriak ibu Maria mengibaskan anaknya.
Nenek Maria yang keluar dari rumahnya menarik Maria yang sedang menangis menarik baju ibunya. Gadis kecil itu, masih menangis melihat ibunya menggendong Amran dan pergi naik mobil berangkat kondangan.
Maria berlari mengejar mobil rombongan, dia menjerit dan menangis melihat keluarganya pergi, meninggalkanya.
Maria menangis berguling di jalanan.
Ia di tarik oleh Neneknya dengan terset tubuhnya.
"Kamu itu harusnya beruntung masih hidup, lebih baik nurut sama ibumu, nanti kalo kamu gak nurut kamu bisa di tinggalkan sama ibumu," teriak Neneknya.
Maria menangis di teras rumah dengan tubuh yang basah dan kotor karena air matanya ia menangis keras.
Saat Maria sedang sesegukan tiba-tiba sebuah air membuatnya basah, Neneknya menumpahkan air seember.
"Kamu itu jelek kucel, bagaimana ibumu mau ngurus anak kaya kamu ini menjijikan," teriak Nenek Maria, dia adalah ibunya ibu Maria.
Maria menangis sesegukan ia mengingat itu semua yang terjadi dengan keluarganya meninggalkanya.
Maria mencoba menjadi anak bersih dan berguna untuk keluarganya terutama ibunya.
Jika mengingat itu semua Maria tidak mau keluarganya meninggalkanya lagi sendirian di rumah tanpa saudaranya.
Flasback Off.
Mengingat hal itu, menjadikan Maria mencoba menjadi yang terbaik. Dia dan Atikah berjalan sampai sekolah dengan Maria yang lebih banyak tertawa dan bercanda, bagi Maria, Atikah itu lucu.
Nana yang melihat tawa Maria dari gerbang ia sangat bahagia.
"Hai," sapa Nana.
"Hai juga, aku duluan ya," balas Maria mempercepat jalanya meninggalkan Atikah dan Nana.
Nana hanya tersenyum melihat Maria yang kini pergi ke kelasnya. Dia berjalan memasuki kelas. Namun terdapat sebuah amplop warna putih, dia membukanya. Hanya ada 3 kata dalam surat itu.
"Aku cinta padamu, dari Maria," batin Nana membacanya.