Rasanya yang di dalam diri masih tinggal seorang anak kecil. Tapi hidup cepat sekali membawa ragaku berlari pada angka yang lebih banyak. Rasanya takut.
Usiaku berkurang pada bulan kedua di tahun ini dan kali pertama ulang tahun tanpa kehadiran ayah. Meski ia tak pernah sekali pun mengucapkan kalimat 'selamat ulang tahun' di tahun-tahun sebelumnya, meski ia terkadang lupa dengan tanggal kelahiranku, akan tetapi aku tahu akan satu hal, yaitu— ayah begitu menyayangiku. Setiap orang tua punya cara sendiri untuk menunjukkan kasih sayang mereka kepada anaknya, bukan?
Pagi itu seperti pagi biasanya, ibu selalu membangunkanku untuk salat subuh. Sulit bagiku untuk bangun pagi meskipun sudah memasang alarm banyak kali.
Tok tok tok
Suara ketukan pintu terdengar sayup. Aku perlahan membuka mata lalu bangun dan membuka pintu.
"Selamat ulang tahun anakku." Ucap Ibu langsung memelukku, sesekali mencium pipi dan keningku.
Aku tersenyum lebar sembari mengucek mata, "kirain lupa."
"Ibu mana pernah lupa. Subuhan dulu gih!" Tukas ibu menuntunku menuju kamar mandi.
Mungkin ini kebiasaan yang tidak patut ditiru. Sebab banyak orang yang bilang 'kalo abis subuhan, jangan tidur lagi, nanti rezekinya dipatok ayam' pernah dengar wejangan tersebut? Nah, aku salah satu dari orang bandel yang tiap hari melakukan hal itu. Entahlah, mungkin karena aku tidak terlalu suka berangkat pagi ke sekolah. Jadi aku memutuskan untuk tidur beberapa saat.
"Kan... Tidur lagi." Ibu memprotes.
"5 menit lagi."
"Ikut ibu ke pasar gak?"
Aku menggeleng cepat, "enggak, nitip jajan aja." Kemudian, aku tidur kembali.
Alarm yang ku pasang tiap setengah jam sekali dari jam 4 subuh hingga jam 6 pagi, tidak aku hiraukan sama sekali. Tak lama kemudian, terdengar suara langkah kaki berjalan menuju kamarku lagi. Tampaknya ibu sudah pulang dari pasar.
"Udah jam 6, cepet mandi." Kini ibu duduk di sisi kasur, sesekali mengelus pelan rambutku.
"Iya." Ucapku malas.
Demi apapun, tidur adalah hal yang paling menyenangkan untuk mengatasi apapun. Terutama saat kau bersedih. Hampir 2 bulan setelah kepergiaan ayah, kini aku sudah mulai merasa. Seperti lagu yang dinyanyikan roma irama. Kalau sudah tiada, baru terasa. Kalau kehadirannya sungguh berharga.
Kurang lebih seperti itu liriknya.
Antara ayah atau ibu, aku lebih memiliki banyak waktu bersama ibu. Karena saat aku masih sekolah menengah pertama, ibu divonis menderita penyakit diabetes. Maka dari itu, dalam kurun waktu 6 tahun, aku lebih sering menghabiskan waktu bersama ibu daripada ayah. Aku juga kerap memotretnya dengan sengaja, bertujuan supaya aku punya kenangan yang dapat didokumentasikan. Akan tetapi takdir berkata lain, Tuhan justru memanggil ayah terlebih dulu. Bahkan di saat aku belum memiliki persiapan apapun.
Aku tidak punya banyak waktu dengan ayah. Bahkan aku hanya memiliki beberapa foto dengannya.
Terkadang hal kecil itulah yang ku sesali.
"Eungghhh... "
Aku mengerang seiring bergeraknya tubuhku saat merenggang. Jam menunjukkan pukul 6.20, padahal gerbang sekolah ditutup pada pukul 6.40.
Sisa 20 menit untuk mandi, berpakaian, sarapan, lalu berangkat.
Anggap saja aku mandi layaknya bebek yang hanya butuh diguyur air. Tapi memang benar adanya kalau aku bukan tipikal orang yang suka berlama-lama di kamar mandi. Sekali pun aku seorang perempuan.
Ah! Ada satu hal lagi yang tidak patut ditiru dari kebiasaanku ini. Aku tidak pernah memiliki jadwal pelajaran. Jadi setiap kali berangkat sekolah, aku harus mengirim pesan ke grup kelas untuk bertanya jadwal hari ini lalu menyiapkannya saat itu juga.
"Sarapan dulu sini." Seru ibu kali ini.
"Udah telat, sarapan di sekolah aja. Ntar beli." Sahutku sambil menuntun motor ke depan halaman rumah dan memanaskannya.
Ibu berjalan menghampiriku yang sudah duduk di atas motor. "Sarapan dulu!"
"Kenapa sih anak-anak ibu semakin gede semakin ga pernah sarapan dulu. Padahal waktu kalian masih kecil, ibu selalu mewajibkan kalian buat sarapan." Omel ibu sembari menodongkan satu sendok nasi beserta lauknya.
Aku hanya terkekeh, "kalo sarapan, sampe di sekolah pasti pengen pup."
"Ya gapapa. Malah bagus tiap pagi pup."
"Tapi kan udah mulai pelajarannya, apalagi kalo pas upacara. Gabisa ditahan." Tukasku membela. Namun ibu tak mau mendengar alasanku. Ia tetap menjajalkan makanan yang dibawanya.
"Gapapa! Asalkan gak sakit maag."
Begitulah ibuku. Orang yang paling khawatir jika aku sakit.
Indah kalo sakit kayak orang sekarat. Ibu takut. Katanya.
Tak dapat dipungkiri, bila ibu masih trauma dengan kematianku di saat usia 2 tahun. Ibu bilang aku pernah mati suri. Mungkin karena hal itu juga yang membuat ayah sangat memanjakanku. Agak berbeda dengan ibu yang selalu adil pada semua anaknya. Sementara ayah tampak sangat jelas memanjakanku sedemikian rupa. Walau terkadang aku merasa bersalah pada kakak-kakakku karena merebut semua perhatian ayah.
Bagi mereka berdua, aku adalah anak yang paling aneh sekaligus unik yang berada dalam kandungan selama 11 bulan bahkan saat lahir pun tali pusarku melilit di leher.
Unik atau aneh, menurut kalian?
"Aku berangkat dulu." Pamitku seraya mencium punggung tangannya. Tak lupa mencium pipi kanan kiri dan terakhir kening.
***
Jam tanganku menunjukkan pukul 6.40, 5 menit lagi gerbang sekolah tertutup. Atau mungkin lebih cepat dari itu.
Bukan indah namanya, jika kecepatan motor hanya di bawah 60km/jam. Bak pembalap handal yang menghafal setiap lubang jalan dan lika-liku perjalanan. Aku kerap mendapati suara klakson dari mobil yang ku salip dari arah kanan. Pernah suatu ketika aku hampir menabrak mobil yang berbeda haluan dengan arahku saat menyalip mobil lain di depan. Untung saja Tuhan masih menoleransi hal itu.
"Gabyyyyy!" Seruku lantang sampai semua sorot mata langsung menoleh ke arahku.
Apa salahku?
Aku hanya memanggil teman sebangkuku itu.
Ia berjalan menuju ke sekolah bersama teman satu kosnya. Jarak rumah Gaby terlalu jauh hingga ia harus menyewa kamar kos di dekat sekolah.
Mau sedikit ku ceritakan tentang Gaby si hidung besar?
Baiklah.
Dia paling benci jika ada seseorang yang salah saat menuliskan namanya. Gebi, beberapa orang menulis namanya seperti itu. Gaby itu pake A dan diakhiri Y. Kesalnya.
Dia orang yang sangat keras kepala dan agak kaku hatinya. Apa karena dia berzodiak Leo? Haha. Masih percaya dengan hal seperti itu?
Hal yang paling aku suka dari Gaby ialah dia selalu ada saat aku membutuhkannya, terlebih lagi saat aku sedang berduka. Meskipun awalnya kami memiliki first imperresion yang berbeda. Dia menganggapku tipikal orang yang sombong. Sementara kesan pertamaku padanya, dia adalah non-muslim. Bukan bermaksud membedakan, semua agama benar di mata penganutnya masing-masing. Akan tetapi wajah Gaby terlalu mendukung untuk hal itu. Mungkin kalau ia membaca ini, ia akan tertawa.
Gaby sangat menyukai doraemon dan Bahasa Inggris. Ia pernah bilang, ingin menjadi tour guide suatu hari nanti. Atau mungkin menjadi hakim.
Itulah sekilas info tentang temanku.
Setibanya di parkiran sekolah, sorot mataku berbinar saat melihat seseorang yang berhasil membuat detak jantungku berpacu di atas batas normal.
Dan inilah dia kisah cintaku.