Kehilangan

1071 Words
Malam itu daratan terlihat begitu mencekam, bulan sepertinya enggan untuk memperlihatkan keindahan cahayanya dan lebih memilih bersembunyi di balik awan. Di ruangan yang dimana penuh oleh banyak orang, terdengar tangisan pelan namun menyesakkan. Segelintir perasaan antara melepaskan dan mempertahankan. Namun, apalah daya jika semua harus diikhlaskan. "Silahkan dicium ayahnya, nak. Kain kafannya mau ditutup. Jangan sampai air matanya netes ya." Sejak saat itu, kebahagiaanku hanya berpura-pura. Setapak demi setapak langkahku gontai menuju pembaringan terakhir ayah, tempat dimana banyak batu nisan berjajaran. Gundukan tanah itu terlihat masih basah dengan berbagai bunga yang terhampar di atasnya. "Ayahmu, orang baik." Bisik seseorang menepuk pundakku. Teringat pesan ibu sebelum hari ini terjadi, ia selalu menguatkanku akan hal ini. "Orang sakit, bisa jadi sembuh, bisa jadi meninggal." Ucap Ibu dengan nada rendah. Aku masih ingat kala itu ayah tak membuka mata sama sekali, tapi napasnya masih, meskipun terdengar lirih. "Semua hal pasti ada kemungkinan terbaik dan kemungkinan terburuk, kalau memang kemungkinan terburuk yang datang, dari sekarang cobalah untuk menata hati." Imbuh ibu, aku paham akan maksudnya. Paham sekali. Takdir Tuhan memang tak dapat ditebak ya? Aku kehilangan cinta pertama dalam hidupku. Sesampainya di rumah, beberapa orang masih singgah di sana. Aku tak menghiraukan mereka sama sekali dan memilih pergi ke kamar untuk mengurungkan diri. Menenggelamkan kepalaku di bawah bantal, sesekali merutuki diri. "Seharusnya aku lebih peduli padamu." Sesalku. Kenyataan pahit yang aku sesali ialah aku tidak begitu peduli dengan ucapan ayah yang selalu memarahiku. Ia selalu berisik. Ia selalu mengomentari apapun yang aku lakukan dan bagiku sangatlah menjengkelkan. Namun saat ia pergi, aku merasa kesepian. Disitulah aku sadar bahwa aku tidak pernah memperlakukan ayah dengan baik. Padahal aku putri manja kesayangan ayah. Akan tetapi aku justru kerap mengecewakannya. Maaf ayah. Aku belum bisa menjadi anak baik seperti yang ayah inginkan. Aku terlalu larut dalam kesedihan hingga tak menyadari kalau kakakku sudah duduk di sebelah ranjang, kemudian mengelus punggungku perlahan. Sesak. Dadaku terasa sesak saat berusaha menahan tangisanku. Aku tidak terbiasa menangis di depan orang lain. Aku ingin mereka mengetahui kebahagiaanku saja tanpa harus melihat kesedihanku. Aku tidak mau berbagi kesedihan ini dan membebani mereka. Mereka juga punya masalah pribadi. Tugasku adalah sadar diri. "Adek tau?" "Apa?" Tanyaku menormalkan suaraku agar tidak terdengar lirih. "Di dunia ini, kita ibarat tukang parkir. Apapun yang kamu miliki di dunia ini ibarat motor yang sedang kamu jaga di tempat parkir. Kamu bukan pemiliknya, kamu hanya dititipi. Kalau sudah habis masanya, pemilik asli akan mengambil motornya." Ucap kakakku memberi perumpamaan. Aku tidak terlalu bodoh untuk memahami perumpamaan itu. Aku paham makna tersirat di dalamnya. "Ayah milik siapa?" Ucap kakak lagi. "Milik Allah." Jawabku cepat. "Kalau semisal kamu tukang parkir, dan seorang pemilik mengambil motornya, apa kamu mau nangis guling-guling dan berkata bahwa itu milikmu?" "Enggak." Sahut ku singkat, lalu bangkit dan duduk di sebelah kakak. Aku menatapnya dengan mata sembab. Kakak tersenyum simpul padaku. Kemudian mengusap sisa air mata di pipiku. "Ikhlasin ya, biar jalan ayah gak terhambat." Aku mengangguk pelan. "Kamu loh anak kesayangan ayah. Kamu harus jadi anak yang kuat." Setelah mendengar ucapan kakak, aku langsung menghambur ke pelukan kakak. Ia pun membalas pelukanku dengan erat, membiarkan air mataku membasahi bajunya, membiarkan aku melepaskan kesedihan yang aku pendam. Terkadang aku merasa jahat pada kakak. Aku sadar kalau ayah selalu pilih kasih, dengan mengutamakan diriku daripada saudara-saudaraku yang lain. Aku pikir karena aku adalah anak terakhir, terlebih lagi aku anak perempuan sendiri. Jadi aku merasa selalu diistimewakan. Tapi lambat laun, aku merasa sangat egois. "Maaf ya mas. Aku mencuri semua kasih sayang ayah." "Enggak kok. Adek pantes dapetin itu." Sahut kakak tersenyum simpul. "Keluar yok! Jangan mengurungkan diri di dalam kamar. Ibu juga khawatir sama kamu." Aku mengangguk. Kakak keluar kamar terlebih dulu, aku mengikutinya. Setibanya di ruang tamu, ibu tampak masih sibuk menemui para tamu yang berziarah. Aku pun memilih berdiri di depan rumah yang kebetulan langsung menuju jalan raya. Semua kendaraan berlalu lalang, orang nongkrong masih ketawa-ketawa, dan bahkan dunia terlihat santai saja. Disitu aku sadar, kehidupan masih akan berlanjut walau duniamu sedang runtuh. Kalau masih punya anggota keluarga yang lengkap. Sayangi mereka, dekap dan selalu kasih perhatian. Yang masih suka melawan orang tua, semoga cepat baikan. Karena sekali mereka menghilang kita akan sadar kalau mereka adalah hal terpenting dalam hidup kita. Yang paling berat dalam menghadapi hal seperti ini adalah menjawab pertanyaan soal 'ayahnya meninggal karena apa?' tepat setelah ayah dikubur. Menjawab pertanyaan tetangga soal ini lebih melelahkan daripada melepas ayah pergi. Karena saat itu juga harus memutar memori dimana ayah sedang sakit sedangkan aku tidak terlalu peduli. Banyak hal lain yang begitu rumit sebelum hari ini terjadi. Terkadang aku bingung apa yang harus aku jawab. Sesekali aku menjawab pertanyaan semacam itu dengan singkat, seperti 'ayah meninggal karena takdir'. Biarkan kami yang berduka untuk menghadapi dukanya. Lebih baik datang dan mendoakan yang berpulang saja. Tak lama kemudian, aku kembali ke rumah. Tampaknya sudah mulai sepi. Aku berjalan menghampiri ibu yang duduk di ruang tamu dengan tatapan kosong. "Bu." Kami saling menatap, air mata kami sontak mengalir deras. Ibu memelukku sangat erat. "Sabar ya, nak. Kamu masih punya ibu, mas-mas juga." Ucap ibu terisak. Aku mengangguk pelan. Ibu melepaskan pelukannya lalu mengusap air mataku perlahan. "Ibu." "Hmmm." "Berati kalo aku wisuda nanti, namaku bakal dipanggil pake binti almarhum ya?" Tanyaku. Entahlah, tiba-tiba aku teringat kalau tahun depan aku akan tamat sekolah menengah ke atas. "Ayah gak bisa nemenin aku sampe aku nikah ya?" "Ayah gak bisa jadi waliku dong? Terus siapa yang jadi wali kalo aku nikah?" Sambungku menghujami ibu dengan banyak pertanyaan. Ibu kembali memelukku. "Masih ada mas, nak." "Udah ya, ikhlasin aja." Ucap ibu mengelus rambutku teratur. Anak perempuan terakhir, yang dipikir selalu dimanja. Nyatanya hanya bisa bersaing dengan waktu orang tua yang semakin menipis. Anak perempuan terakhir, yang dipikir hidupnya akan tercukupi. Nyatanya harus berjuang sekuat tenaga karena keluarga sudah kehilangan masa jaya. Anak perempuan terakhir, yang dipikir bisa berlindung di balik punggung keluarga. Nyatanya hanya bisa bilang "aku baik-baik saja." karena tau mereka punya masalah yang lebih besar. Anak perempuan terakhir, yang terbiasa bergantung pada orang lain. Nyatanya mulai kehilangan pegangannya. Namun dari semua itu, entah itu anak pertama, anak kedua, maupun anak terakhir. Mereka punya porsi masing-masing dalam masalah yang mungkin dilihat dari sisi mana pun pasti banyak salahnya. Kita semua bisa kuat walau jalannya terjal dan kadang bikin makin terpuruk. Kalau pun ingin menyerah, percuma. Dunia juga gak akan peduli, dia pasti akan berjalan seperti biasanya. It's okay to not be okay.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD