Menghapus kenangan orang tercinta tidak semudah membalikan telapak tangan. Setidaknya itulah yang dirasakan Alin saat ini. Perhatian yang diberikan Randi pun, tidak mampu membuatnya melupakan sosok sang mantan terindah.
"Jangan melamun, Non! Nanti kalau kamu kesurupan, kantor bisa heboh," tegur Icha memperingatkan Alin.
"Mikirin apa, sih?" tanyanya lagi.
"Nggak mikirin apa-apa."
Mereka kembali fokus pada pekerjaan masing-masing. Tiba-tiba Icha teringat dengan gosip yang dia dengar dari salah satu mantan kekasih Randi.
"Eh, Lin. Kamu sama Mas Randi udah jadian, ya?" tanya Icha setengah berbisik.
"Ya ampun, Cha. Sekali lagi kamu nanya kayak gitu, aku kasih piring pecah, Loh," ucap Alin kesal.
Semenjak Alin pulang dari cuti, hampir setiap hari Icha akan menanyakan hal yang sama.
"Aku penasaran aja, Lin. Soalnya berita kamu jadian sama Mas Randi itu udah menyebar di Departemen Logistik."
"Hah? Dapat kabar dari mana mereka?"
"Katanya sih, ada yang liat Mas Randi antar jemput kamu kerja. Bener nggak, Lin?"
"Iya, Mas Randi memang antar jemput aku, tapi cuma sebagai balas budi karena aku pernah melakukan hal yang sama, sewaktu dia training."
"Oh gitu."
***
Alin sedang mengerjakan laporan, saat dia merasakan sebuah tangan mengusap kepalanya. Dari aroma parfum yang menguar, Alin bisa menebak siapa pelakunya.
"Darimana? Kok baru kelihatan," tanya Alin tanpa menoleh.
Ini sudah hampir jam tiga sore, dan Randi baru menampakkan dirinya di kantor.
"Meeting di logistik."
Beberapa jam tidak bertemu Alin saja sudah membuatnya Rindu. Pesona Alin benar-benar mengikatnya.
Biasanya Randi lah yang dikejar-kejar wanita, tetapi sekarang dia lah yang harus merasakan lelahnya mengejar cinta seseorang. Ini bukanlah perkara mudah, karena sampai saat ini Alin masih terbelenggu oleh masa lalunya. Cintanya seakan ikut terkubur bersama jasad sang Arjuna.
***
Setiap ada pertemuan pasti ada perpisahan. Seperti hari ini, Alin dan teman-teman kantornya akan berpisah dengan Yudha. Pria yang pernah di gosipkan sebagai kekasih Alin itu, dipindah tugaskan ke site lain.
"Maaf Kalau selama berteman ada tindakan atau ucapanku yang nyakitin kalian," ucap Yudha.
"Aku juga minta maaf, makasih sudah banyak bantu aku selama ini," ucap Alin dengan suara tercekat.
Yudha adalah salah satu orang yang dekat dengannya. Selama empat bulan bekerja di sini, pria berkulit sawo matang itu banyak membantu Alin.
"Semoga sukses di tempat yang baru, Mas," ucap Icha.
Yudha melirik ke arah ruangan Randi. Samar-samar dia dapat melihat jika Randi sedang memperhatikan mereka dari balik jendela kaca. Terbesit olehnya sebuah ide nakal untuk mengerjai Randi.
"Lin, sini!" panggil Yudha, memberi isyarat dengan tangannya.
"Apa?" tanya Alin seraya mendekati.
"Aku mau peluk kamu," bisik Yudha pada telinga Alin.
"Hah!" pekik Alin kaget.
"Jangan gila!" lanjutnya.
"Ck," Yudha berdecak kesal, kemudian menarik bahu Alin agar mendekat padanya.
"Randi, lagi liatin kita. Aku mau bikin dia marah untuk terakhir kalinya," bisiknya lagi.
"Diam aja, jangan banyak protes. Anggap aja ini sebagai salam perpisahan," lanjutnya sambil memeluk Alin.
Alin hanya diam saja, tidak membalas pelukan Yudha, sedangkan Icha mematung kaget dengan mulut sedikit tebuka.
"Lin, balas pelukan aku. Randi udah mulai melotot tuh." Yudha tersenyum senang saat melihat wajah Randi yang penuh emosi.
Icha mengikuti arah pandang Yudha, seketika dia mengerti apa maksud dari tindakan Yudha. Dia pun tekikik geli melihat tingkah jahil Yudha.
Dengan ragu Alin membalas pelukan Yudha.
"Setelah ini pasti aku digosipkan macam-macam," ucap Alin lirih, tetapi mampu di dengar kedua temannya itu.
Dengan lancang Yudha mengecup kepala Alin, dan langsung mendapat cubitan kecil pada pinggangnya.
"Argh," pekiknya tertahan.
"Diam, Randi mau keluar."
Yudha semakin mengembangkan senyumnya saat melihat Randi keluar dari ruangan dengan rahang yang mengetat, kedua tangan mengepal, dan tatapan matanya lebih tajam dari sebuah pedang.
Randi langsung menarik Alin agar terlepas dari pelukan Yudha.
"Nggak usah peluk-peluk!" ucapnya lirih namum penuh penekanan.
Yudha tersenyum sinis.
"Memangnya kenapa?" tanya Yudha santai.
"Alin bukan siapa-siapa kamu," lanjutnya, menarik Alin dari sisi Randi.
Dalam hati Yudha tertawa senang. Kapan lagi dia punya kesempatan untuk menjahili si playboy cap kaleng sarden ini.
Yudha ingin sekali terbahak saat melihat wajah Randi yang memerah, tetapi dia harus mempertahankan ekspresi datarnya.
Untungnya, sekarang jam istirahat, jadi hanya ada beberapa karyawan yang berada di kantor, selebihnya memilih istirahat di musholla atau mes. Jika tidak, mereka bertiga bisa jadi buah bibir seantero perusahaan.
Napas Randi memburu, ditariknya tangan Alin dan membawa gadis itu keluar dari kantor.
Yudha dan Icha tertawa. Ini pertama kalinya mereka melihat Randi marah karena wanitanya didekati. Biasanya Randi tidak begitu peduli kalau pacarnya berteman akrab dengan pria lain.
"Muka Mas Randi kayak udang rebus," ujar Icha sambil terbahak.
"Kenapa sih, Cha" tanya salah seorang karyawan.
"Ini Mbak, Mas Yudha usil banget meluk Alin di depan Mas Randi. Eh, Mas Randinya langsung ngamuk," jelas Icha masih dengan tawanya.
"Tumben, biasanya dia santai aja kalau ceweknya dekat sama laki-laki lain," ucap karyawan tadi.
"Makanya itu kami ketawa. Ternyata playboy bisa jadi bucin juga."
***
"Mas Randi, bentar lagi jam istirahat habis," kata Alin memperingatkan Randi.
Randi tidak mengacuhkan ucapan Alin, dia terus menyeret Alin keluar.
"Pak, pinjem helmetnya satu," pintanya pada salah satu security yang berjaga di depan kantor.
"Pakai!" perintah Randi pada Alin, saat dia sudah mendapatkan helmet.
Alin hanya menurutinya. Ini bukan waktu yang tepat untuk membantah, karena Randi sedang dikuasai amarah.
'Mas Yudha sial*n!' umpatnya dalam hati.
Randi membawa Alin pergi dengan mobil Hilux. Alin tidak tau kemana Randi akan membawanya. Alin merasa sedikit ngeri karena mereka berpapasan dengan mobil-mobil raksasa.
Alin menatap Randi yang masih betah mengunci mulutnya. Seram juga, kalau lagi marah.
"Mas ...," panggil Alin lirih.
"Kita mau kemana?," tanyanya.
Yang ditanya tidak menggubris sama sekali, membuat Alin kesal.
"Kalau marahnya sama Mas Yudha, kenapa aku yang disandra," ucap Alin kesal.
"Kamu suka dipeluk Yudha?" tanya Randi yang akhirnya mau bersuara.
"Hah? Maksudnya?" tanya Alin bingung.
"Atau kamu memang tipe cewek yang suka di peluk sama semua laki-laki."
Perkataan Randi benar-benar melukai harga dirinya sebagai perempuan.
"Jadi gini cara kamu nilai perempuan? Jadi di mata kamu, aku serendah itu?" tanya Alin pelan, tetapi sarat emosi.
"Lin, bukan begitu."
Randi panik saat menyadari perkataannya menyakiti perasaan Alin.
"Aku cuma nggak suka kamu deket sama cowok lain," ucapnya jujur.
"Punya hak apa kamu larang aku dekat sama cowok lain.
Randi terdiam. Haruskah dia mengungkapkan perasaannya sekarang.
"Putar balik!" perintah Alin.
Randi merutuki mulutnya, karena dikuasai amarah, Dia sampai mengeluarkan kata-kata yang menyakiti Alin.
"Lin, maaf. Aku nggak bermaksud begitu," ucap Randi penyesalan.
Alin diam saja, hatinya benar-benar sakit. Baru kali ini ada pria yang berbicara seperti itu padanya sakit.
***
"Lin," panggil Randi saat melihat Alin akan keluar dari gedung kantor.
Alin tidak menghirukan panggilan Randi, dia semakin mempercepat langkah keluar dari kantor.
Randi menarik tangan Alin yang akan memasuki bus, dan menyeretnya masuk ke dalam mobil putih dengan nomer lambung LV-626. Randi tidak memperdulikan tatapan heran orang di sekelilingnya.
"Kamu punya masalah apa sama aku? Suka banget narik tanganku," ucap Alin kesal.
"Kita perlu bicara."
"Kamu nggak malu satu mobil sama cewek murahan yang suka dipeluk cowok lain?" sindir Alin.
"Lin, aku nggak bermaksud ngomong gitu," ucap Randi lirih.
Randi menggenggam tangan Alin, dan menempelkan pada pipinya.
"Maaf. Tadi aku cemburu liat kamu dipeluk Yudha."
"Kamu nggak punya alasan untuk cemburu, Mas. Kita nggak punya hubungan apa-apa."
"Aku cemburu karena aku cinta sama kamu," akunya jujur.
Alin terdiam, bingung harus menjawab apa. Bagaimana dia bisa menerima Randi, kalau hatinya masih dipenuhi dengan Arjuna.
"Maaf," ujar Alin lirih.
"Aku ditolak?" tanya Randi sendu.
"Kamu tau alasannya."
"Kita bisa mencobanya, Lin."
"Kalau dipaksakan, kamu yang akan terluka, Mas."
Seperti ada yang mengganjal di d**a Randi, saat Alin menolaknya.
"Jadi, nggak ada kesempatan buat aku?" tanya Randi sekali lagi.
"Maaf," ucap Alin sambil menunduk.