Alin terlihat berbeda, gadis yang biasanya murah senyum itu kini terlihat murung. Ada rasa bersalah dalam dirinya saat menolak Randi. Apalagi setelah kejadian dua hari lalu, Randi tidak terlihat di kantor.
"Mas Randi cuti," celetuk Icha, saat melihat Alin yang sedang memperhatikan ruangan Planner.
Alin mengembalikan posisi duduknya menghadap komputer.
"Kamu beneran nolak dia?" tanya Icha lirih.
Alin hanya mengangguk sambil memainkan pulpennya.
Malam itu Icha langsung menghampiri Alin ke kosannya, setelah di bus tadi dia mendengar desas-desus tentang Randi yang menarik tangan Alin.
"Tapi kenapa, Lin?"
"Kalau aku terima dia, hubungan kami akan dibayang-bayangi masa lalu aku sama Juna."
"Sesusah itu ya, menghapus kenangan Juna? maksud aku ..." Icha menggeser kursinya mendekat ke arah Alin, disentuhya tangan kiri sahabatnya itu. "ini sudah tiga tahun, Lin. Mau sampai kapan kamu kayak gini? Ditangisin sampai air mata kamu berubah jadi mutiara pun, dia nggak akan kembali."
Alin menunduk. Icha benar, Arjunanya tidak akan kembali, tetapi melupakan tidak semudah itu.
"Lin, kamu juga harus bahagia. Mungkin dengan menerima Randi, kamu bisa lepas dari masa lalu kamu," lanjutnya
"Itu Sama aja aku mempermainkan perasaan Mas Randi, Cha. Aku pacaran sama dia, tapi hatiku masih milik orang lain."
"Dia sudah tau konsekuensinya. Kamu hanya perlu belajar membuka hati untuk dia, selebihnya biarkan dia yang usaha."
Icha memutar kursi Alin agar berhadapan dengannya, dipegangnya bahu Alin. Tatapan mereka bertemu.
"Lin, aku kenal Mas Randi sejak tiga tahun yang lalu. Aku tau bagaimana kisah percintaannya.
"Ini pertama kalinya aku liat Mas Randi bersikap posesif terhadap perempuan. Mas Yudha aja yakin kalau Mas Randi beneran cinta sama kamu."
"Jawab sejujurnya, kamu nyaman sama dia?" tanya Icha sambil menatap mata Alin.
Alin mengangguk, lalu menunduk.
"Itu tanda kalau hati kamu sudah mulai menerima dia. Pikirkan lagi, kamu nggak mungkin sendirian seumur hidup 'kan?"
Lidah Alin terasa kelu, dia tidak tau harus berkata apa. Semua yang di katakan Icha seolah menyadarkannya jika dia juga perlu seseorang untuk membantunya lepas dari jeratan masa lalu.
***
Sudah satu minggu Randi tidak bertemu dengan Alin. Setelah penolakan Alin, Randi memutuskan untuk mempercepat jadwal cutinya
Rindu?
Jangan ditanya. Rindunya sudah menggunung mengalahkan tingginya tumpukan batu bara di Run of Mine.
Randi memandangi foto-foto Alin sebagai pengobat rindu. Berkali-kali dia mengetikkan pesan, tetapi urung untuk mengirimkannya.
'Tok ... tok ... tok'
Suara ketukan pada pintu kamarnya membuat Randi tersadar dari lamunan.
"Masuk!" ucapnya sambil mematikan layar Hp-nya.
Pintu kamar terbuka menampilkan sosok Rena, adiknya.
"Ada apa?" tanya Randi.
"Nggak ada apa-apa, cuma pengen main ke kamar Kak Randi aja."
Rena merebahkan tubuhnya di kasur.
"Kak, lagi ada masalah ya? tanya Rena saat meliat wajah murung Randi.
Usia Randi dan Rena memang terpaut jauh, 13 tahun.
"Nggak ada," jawab Randi singkat.
"Kakak mikirin masalah perjodohan itu, ya? Heran deh sama Ibu, memangnya Kakak nggak laku, sampai harus dijodohin segala."
"Anak kecil tau apa? Nggak usah ikut-ikutan urusan orang dewasa."
"Nanti kalau aku dewasa, aku nggak mau dijodohin sama Ibu."
Randi mengacak rambut adiknya.
"Masih kecil udah mikir jodoh. Sekolah dulu yang bener."
Randi ikut berbaring di samping Rena. Tanpa sengaja Rena melihat foto Alin pada layar ponsel Randi.
"Kak Alin apa kabar?" tanya Rena.
"Kenapa tiba-tiba nanyain dia?" Randi balik bertanya.
"Memangnya nggak boleh?"
Randi hanya mendengus.
"Kak Alin itu cantik ya, Kak," ujar Rena.
Randi tersenyum. " Iya, cantik."
"Tumben nggak Kakak jadikan pacar?"
"Hah?" Randi tersentak mendengar pertanyaan Rena. Dia pun menoleh ke arah sang adik.
"Biasanya 'kan kalau ada cewek cantik di tempat kerja, Kakak pacari."
"Tau dari mana?" tanya Randi.
Randi tersentak dan mendudukan dirinya, seakan sadar dari mana sang adik mengetahui hal ini.
"Kamu buka laptop Kakak, ya?" tanya Randi sambil menunjuk adiknya.
Randi terlihat panik, karena di dalam laptop itu ada foto-foto intimnya bersama para kekasih. Bukan foto bugil, hanya foto berpelukan atau yang terparah fotonya berciuman dengan sang pacar.
"Iya," jawab Rena.
"Kamu buka semua file Kakak?"
"He'em, termasuk foto-foto mantan pacar Kakak. Pacar Kakak cantik-cantik."
Rena tidak peduli dengan wajah Kakanya yang sudah mulai memerah, karena menahan kesal.
Astaga, ingin rasanya Randi menenggelamkan diri di kolam bekas galian tambang.
"Kamu liat semua?" tanyanya lagi.
Rena hanya mengangguk.
"Astaga, Rena!" Randi mengerang frustasi.
"Kenapa kamu lancang buka-buka file Kakak?"
"Salah sendiri kenapa nggak dikasih password."
Jawaban santai Rena, semakin membuat Randi kesal. Adiknya ini salah satu makhluk unik ciptaan Tuhan.
Ceroboh!
Bagaimana bisa Randi lupa memproteksi foto-foto itu.
Randi menatap kesal sang adik yang masih berbaring, tetapi yang ditatap terlihat cuek. Rena bukan orang yang mudah terintimidasi oleh apapun. Selalu menjawab santai setiap pertanyaan yang menyudutkannya.
"Aku paling suka liat foto Mas Randi ciuman sam—— emmpph... "
Randi membengkap mulut adiknya dengan tangan.
"Kamu masih kecil, Ren. Bisa-bisanya kamu liat foto yang kayak gitu."
Rena berusaha melepaskan bekapan tangan Randi dari mulutnya.
"Aaaargh," pekik Randi saat Rena menggigit telapak tangannya.
"Stt ... sakit tau!" Seru Randi sambil mengibaskan tangannya yang digigit Rena.
"Impas!" ujar Rena, kemudian menjulurkan lidah mengejek kakaknya.
Randi hanya bisa mengurut d**a melihat kelakuan sang adik. Seseram apapun ekspresi wajah Randi ketika marah, Rena tidak akan takut jika dia merasa benar. Lain halnya, jika dia merasa bersalah, tanpa diminta pun Rena akan langsung meminta maaf.
"Kak, kalau aku hitung mantan pacar Kakak itu ada 8, itu yang di tempat kerja aja, belum ditambah sama jaman SMA dan kuliah. Ternyata Kakak benar-benar playboy," sindirnya.
"Diam!" bentak Randi
Bukannya takut, Rena malah tertawa melihat wajah kesal Kakaknya.
"Keluar sana!" usir Randi sambil menarik tangan Rena agar bangkit dari kasurnya.
Randi mendorong Rena keluar kamar, lalu mengunci pintunya.
***
Rindunya pada Alin semakin tak terbendung. Ingin rasanya menelpon gadis itu, tetapi dia takut diabaikan.
Berkali-kali dia menuliskan pesan, tetapi dihapusnya lagi. Dipandanginya benda tipis berbentuk persegi panjang itu. Menimbang apakah dia harus menghubungi Alin atau tidak.
Randi menyambar ponselnya, memutuskan untuk menelpon Alin. Persetan dengan rasa malu dan gengsi. Bukankah dia sudah tidak memilikinya lagi semenjak menjadi bucinnya Alin.
'tut ... tut .. tut,'
Tepat pada dering ketiga, Alin mengangkat teleponnya.
Hening.
Tidak ada yang berbicara, hanya hembusan napas masing-masing yang terdengar.
"Lin ...." Akhirnya Randi memberanikan diri untuk menyapa.
"Hm," jawab Alin.
Jantung Randi berdetak lebih cepat saat Indra pendengarannya menangkap suara lembut Alin.
"Lagi apa?" tanya kaku.
Randi merutuki dirinya yang berubah jadi sekaku ini.
"Nggak ngapa-ngapain. Habis nelpon Mama."
"Lin, Aku jemput ya?"
"Mau kemana?"
"Jalan aja. Mau ya?" tanya Randi penuh harap.
"Iya," jawab Alin, membuat Randi tersenyum senang.
"Lima menit lagi aku jemput."
Hati Randi berbunga-bunga, seperti baru saja mendapatkan bonus tahunan dengan jumlahbyang tak terhingga.
Randi mengendarai motor sport-nya dengan kecepatan tinggi. Tidak sabar ingin bertemu dengan sang pujaan hati.
"Mas Randi ngebut ya?" tanya Alin yang sudah menunggu Randi di depan kamar kostnya.
Randi hanya menggeleng, sambil tersenyum malu.
Jangan tanya bagaimana kabar jantung Randi, saat Alin naik ke motornya. Apalagi saat Alin merapatkan tubuhnya. Debaran jantung Randi sampai membuat kaos yang dikenakannya ikut bergetar.
Randi berulang kali menghembuskan nafas untuk mengurangi kegugupannya. Jangan sampai Alin mendengar suara jantungnya yang sedang berdetak tidak normal.
"Mau kemana?" tanya Alin.
"Hm ... point cafe, mau?"
"Oke."
Randi memberanikan diri menarik tangan Alin agar melingkari perutnya.
"Mas!" tegur Alin saat Randi menahan tangan Alin di perutnya.
"Dingin, Lin."
"Ck, apalagi aku yang di belakang," gumam Alin.
"Kalau gitu kamu yang bawa motornya, biar aku yang peluk kamu dari belakang," canda Randi.
"Ish, genitnya," ucap Alin sambil memukul bahu Randi.
Mereka tertawa. Kecanggungan itu perlahan luntur, mereka kembali akrab seperti tidak terjadi apa-apa.
Tidak ada obrolan serius diantara mereka. Selama duduk bersantai di kafe Mereka hanya membicarakan hal-hal konyol atau menertawakan kelakuan aneh orang yang ada di sana.
Mereka seolah lupa jika mereka sedang berperang melawan ego masing-masing.
Alin yang berusaha meyakinkan diri untuk menerima Randi, dan Randi yang sedang menguatkan hati untuk memperjuangkan Alin, dengan konsekuensi dihantui oleh masa lalu Alin yang masih gentayangan.
Namun, Randi yakin dia mampu menggantikan posisi Juna di hati Alin.
'Tolong menjauhlah dari kehidupan Alin! Kau sudah pernah membahagiakannya di masa lalu, sekarang biarkan aku yang melakukannya,' ucap Randi dalam hati, saat dia memandangi Alin yang sedang tertawa.
"Lin, nyanyi," pinta Randi.
"Nggak mau, malu!"
"Kenapa malu?"
"Malu aja, diliatin banyak orang."
"Waktu nyanyi sama Sela kamu nggak malu. Apalagi duet sama Yudha kayaknya menikmati banget," sindirnya.
"Harus dinikmati, kapan lagi punya kesempatan duet sama cowok manis kayak Mas Yudha," canda Alin yang ditanggapi serius oleh Randi.
Randi menunduk, menyesali perkataannya, setelah mendengar jawaban Alin, hatinya terasa sakit.
Alin menyentuh tangan Randi, membuatnya langsung mendongak menatap Alin yang sedang tersenyum manis padanya.
"ambekan," ucap Alin lirih.
Randi tersenyum, seketika hatinya menghangat. Randi menahan tangan Alin, saat gadis itu akan menarik tangannya.
"Lin," panggilnya lirih.
"Ya,"
"Bisa kita coba? ... setidaknya kasih aku kesempatan," ucapnya penuh harap.
Alin terdiam, bingung harus bicara apa. Haruskah dia menuruti nasihat Icha, belajar membuka hati untuk pria dihadapannya ini? Namun, bagaimana jika dia hanya akan menyakiti Randi?
"Lin, mau ya?" Randi menatap Alin dengan sorot mata penuh harap.
Alin bingung dengan perasaannya sendiri.