Malam Terakhir

1746 Words
Semakin hari hubungan Alin dan Randi semakin dekat. Randi juga sudah mulai terang-terangan menunjukan perhatiannya kepada Alin. Randi semakin rajin mengirimkan pesan disela-sela kegiatan trainingnya, dan itu mendapat respon yang baik dari Alin. Alin juga menawarkan diri untuk mengatar dan menjemput dirinya selama berada di Balikpapan. Awalnya Randi menolak dengan alasan tidak enak, tapi tentu saja itu hanya sekedar basa-basinya. Padahal dia sangat bahagia mendapatkan tawaran seperti itu dari Alin. Rasanya seperti di antar kerja sama istri. Randi juga sudah berkenalan dengan keluarga Alin, saat dia menemani gadis pujaannya itu pulang untuk membersihkan diri. Dia sempat terkejut saat mengatahui fakta bahwa Alin berasal dari kalangan atas. Yang dia tau Mama Alin memiliki usaha toko kue, dan Papanya mempunyai mini market. Ternyata bukan hanya sebuah mini market, tetapi jaringan mini market terbesar di kotanya. Dia heran dengan Alin yang lebih memilih menjadi staf administrasi di perusahaan pertambangan, padahal Randi yakin kalau gaji Alin tidak ada apa-apanya dibanding dengan jatah bulanan yang dia terima dari orang tuanya. Dia sempat pesimis setalah melihat keadaan keluarga Alin. Namun, penerimaan yang hangat dari keluarga Alin membuatnya semakin semangat untuk memenangkan hati Alin. Hari ini adalah hari terakhirnya mengikuti training, besok dia harus kembali ke kotanya. Seperti biasa, Alin menjemputnya jam tujuh pagi. Seperti memiliki seorang istri, setiap hari Alin akan membekalinya dengan kotak makan untuk sarapan. Bahagia? Tentu saja Randi bahagia. Dia berharap suatu hari nanti Alin akan menjadi wanitanya. "Besok udah balik?" tanya Alin sambil memperhatikan Randi yang sedang fokus menyetir. "Iya. Kamu kapan terakhir cuti?"  "Dua hari lagi." "Lin," "Hm," "Nggak jadi, deh." Randi mengurungkan niatnya. "Ish, kebiasaan banget sih, Mas," ucap Alin sebal sambil memukul lengan Randi. Semenjak mendapat teguran dari Papanya karena memanggil Randi dengan sebutan nama, Alin mengubah panggilannya menjadi 'Mas'. Sudah pasti hati Randi berbunga-bunga saat Alin memanggilnya dengan sebutan 'Mas' "Nanti malam temani cari oleh-oleh, ya?" "Oke. Memangnya mau cari apa?" tanya Alin. "Ada yang pesen brownis, donat, sama cheese cake." "Mas Randi ikut penerbangan jam berapa?" "Sore. Atau besok pagi aja nyarinya." "Beli di toko Mama aja, nggak kalah enak ko sma yang bermerek. Nanti aku yang buatin cheesecake-nya," usul Alin. "Emang kamu bisa bikinnya?" "Wah! Anda meragukan kemampuan saya. Anda pikir Cheesecake yang anda makan waktu pertama kali kita ketemu itu siapa yang buat?" Alin kesal bukan main saat kemampuannya diragukan. "Itu kamu yang buat?" tanya Randi mencari kepastian. " Ya, iya lah! Mama mana bisa buat cheesecake." "Pantesan enak, yang bikin aja cantiknya kayak bidadari," rayu Randi sambil mencolek dagu Alin. "Nggak usah gombal. Nggak akan mempan." *** Alin sedang sibuk membantu Mamanya membuat kue di toko mereka. Alin juga sudah bilang tentang Randi yang ingin membeli oleh-oleh, dan Bu Dewi menyanggupinya. Ponsel Alin berdering. Siapa lagi yang menelponya kalau bukan Randi. Kalau begini Alin jadi merasa punya pacar, karena ada yang mengiriminya pesan dan menelpon setiap malam. "Halo, Mas." "Ngapain, Lin?" tanya Randi diujung telepon. "Kencan sama adonan kue. Berisik ya, Mas?" tanya Alin. "Sedikit." "Sebentar, aku cuci tangan dulu." Alin segera mencuci tangannya dan masuk ke ruanan Ibunya. "Kenapa nelpon?" tanya Alin. "Nggak papa." "Aku udah ngomong ke Mama. Kata Mama nanti di buatin brownis sama donatnya." "Astaga, Lin. Aku jadi nggak enak sama Tante Dewi." "Kalau nggak enak kasih ke kucing aja." "Lin, aku serius." "Nggak papa, Mas. Kata Mama sebagai tanda perkenalan kalian." "Dibatalin aja bisa nggak, Lin?" tanya Randi. Randi benar-benar merasa tidak enak hati. apalagi Mama Alin tidak mau dibayar. Dia sudah cukup banyak merepotkan keluarga Alin. "Mas, nggak hargai Mama aku, ya?" "Bukan gitu, Sayang. Aku--" "Mas tadi bilang Apa?" potong Alin. Astaga, Randi keceplosan. "Nggak ngomong apa-apa," Randi merutuki mulut lancangnya. "Bukan nggak hargai Mama kamu, tapi aku beneran nggak enak. Selama di sini aku udah terlalu merepotkan kalian," jelas Randi. "Udah terima aja. Kalau Mas Randi nolak, aku nggak mau temenan sama Mas lagi." Alin mengakhiri teleponnya. Alin kembali ke dapur melanjukan pekerjaannya yang tertund. "Kenapa cemberut?" tanya Bu Dewi saat melihat wajah cemberut Alin. "Itu, Ma, Mas Randi mau nolak kue yang kita buatin. Nggak tau apa bikinnya susah," ucap Alin sambil menggilas adonan dengan kasar, sebagai pelampiasan kekesalannya. Bu Dewi hanya tertawa menyaksikan tingkah Alin. Sejak dekat dengan Randi, Dia jarang melihat wajah sedih putrinya. Dia berharap Randi dapat mengembalikan keceriaan putrinya. *** Alin sedang menunggu Randi keluar dari gedung tempat trainingnya. Alin memutar musik K-pop kesukaannya untuk menghilangkan rasa bosannya. Akhirnya yang ditunggu muncul juga. "Hai," sapa Randi saat masuk ke Mobil. Alin diam saja, tidak merespon sapaan Randi, malah membuang pandangan keluar jendela, enggan menatap Randi. "Lin," panggil Randi lembut. Alin tetap tidak merespon. "Alina," panggil Randi sambil menarik dagu Alin lembut, agar Alin menghadapnya. "Kamu kenapa? tanya Randi lembut. Alin menepis tangan Randi, dan kembali melihat keluar jendela. Randi menyerah dan memilih menjalankan mobil menuju hotel. Tidak ada yang bicara. Alin masih tetap pada posisi awal, sedangkan Randi fokus dengan kemudinya. Sesekali Randi melirik ke arah Alin. Rasanya sangat tidak nyaman saat di abaikan Alin seperti ini. Randi memberanikan diri untuk menggenggam tangan kanan Alin. Awalnya Alin menolak, dan berusaha untuk melepaskan genggaman tangan mereka, tetapi Randi menahannya. Akhirnya Alin hanya bisa pasrah. Randi membawa tangan mereka ke pangkuannya. Setibanya di Hotel, Randi menyeret Alin untuk ikut masuk bersamanya. "Mas Randi, apa-apaan sih?" tanya Alin kesal saat mereka berada di dalam lift. "Kita harus bicara. Aku nggak suka kamu cuekin kayak gini," jawab Randi Randi masih setia menggenggam tangan Alin sampai mereka berada di depan kamar Randi. "Aku tunggu di lobi aja, seperti biasanya," ucap Alin saat Randi menyuruhnya masuk. Dia takut Randi akan melakukan hal yang tidak-tidak padanya. "Nggak usah takut. Aku nggak bakalan apa-apin kamu," ujar Randi. "Tunggu di situ! Aku mandi dulu,"  lanjutnya sambil menunjuk sebuah sofa di dekat jendela. Alin berjalan menuju sofa dengan menghentakkan kakinya kesal. Randi tersenyum melihat tingakah Alin.  Randi segera masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri, sedangkan Alin menunggu sambil melihat pemandangan kota dari jendela kamar. Suara pintu kamar mandi yang terbuka membuat Alin menoleh ke arah kamar mandi. Dalam hitungan detik Randi keluar hanya dengan menggunakan celana jeans panjang tanpa atasan. "Aaaaaa!" jerit Alin. "Mas Randi kalau keluar dari kamar mandi pake baju dulu dong! Lupa kalau ada aku di sini," protes Alin sambil menutup matanya menggunakan kedua tangannya. 'Ya Tuhan, ternyata Mas Randi juga punya roti sobek kayak Minho shinee,' ucap Alin dalam hati. Randi tergelak melihat tingkah Alin. Dia berjalan mendekati kasur untuk mengambil baju yang sudah dia sipakan sebelum mandi.  "Bukannya kamu sering liat oppa-oppa koreamu itu nggak pake baju." Randi tau kebiasaan Alin yang suka menonton video musik asal negeri  gingseng itu. "Itukan lewat layar Hp, bukan siaran kangsung kayak gini." Randi menghampiri Alin, duduk diatas meja yang ada di depan sofa. Dia menurunkan tangan Alin yang masih menutupi matanya. "Masih marah?" tanya Randi. "Bukan marah, cuma kesal," jawab Alin. "Marah sama kesal apa bedanya?" "Beda hurufnya lah!" Randi tersenyum lebar. Bagaiman bisa Tuhan menciptakan makhluk seunik Alin? "Kesal kenapa?" tanya Randi sambil menggenggam kedua tangan Alin. "Kesal gara-gara Mas Randi nolak oleh-oleh dari Mama." "Aku nggak enak sama Mama kamu, Lin. Kalian udah baik banget sama Aku." "Makanya terima aja. Kasian Mama udah capek-capek buatin." "Tapi Lin--" "Ya, sudah kalau Mas nggak mau terima pemberian Mama," potong Alin, menarik tangannya dari genggaman Randi. Alin berdiri dan menyambar kunci mobil yang diletakkan Randi diatas kasur. Melihat Alin akan pergi, Randi mengejar Alin yang sudah mendekati pintu. Ditariknya tangan Alin sedikit kuat agar Alin menghadapnya. "Mas Ran--" Randi membukam mulut Alin dengan bibirnya. Alin yang mendapatkan serangan mendadak dari Randi berusaha melepaskan diri dengan mendorong d**a pria itu. Bukannya melepaskan Randi malah menahan tengkuk Alin. Randi menggerakkan bibirnya perlahan, mengecupi bibir Alin yang terasa manis. Alin menyerah, bagaimanapun juga dia hanya manusia biasa yang mempunyai nafsu. Alin memejamkan matanya dan membalas ciuman Randi. Randi terkejut saat mendapatkan balasan dari Alin. Randi tersenyum di sela-sela ciuman mereka. Saling melumat, menghisap dan membelit lidah, mereka benar-benar menikmati kegiatan mereka.  Tangan Randi menyusup masuk kedalam baju dan mengelus punggung mulus Alin. Ciuman mereka semakin dalam. Erangan nikmat yang keluar dari mulut keduanya semakin menyulut gairah. Hawa nafsu sudah menguasai akal sehat mereka. Ini harus dihentikan! Jika tidak, mereka akan melewati batasan. Randi berusaha mengais sisa-sisa kewarasannya yang semakin menipis seiring dengan gairah yang semakin meninggi. Bohong jika dia tidak ingin menikmati tubuh seksi Alin. Dia ingin, sangat ingin, tapi tidak dengan cara seperti ini. Dia tidak ingin merusak Alin. Randi menyudahi ciumannya, meyatukan kening mereka denan napas yang masih sama-sama tersengal. "Maaf," gumam Randi. Randi menarik Alin kedalam pelukkanya. berusaha meredakan gairahnya. "Maafkan aku, Lin," ucap Randi kemudian mendaratkan ciuman di pucuk pela Alin. *** Randi dan Alin menghabiskan malam terakhir kebersamaan mereka dengan menonton di bioskop, makan malam, dan jalan-jalan. Randi semakin berani menunjukkan perasaannya melalui tindakan. Dia tidak ragu lagi untuk menggandeng tangan, merangkul bahu, bahkan dia berani mengedup pucuk kepala Alin. Alin yang awalnya risih dengan tindakan Randi, kini menjadi terbiasa. "Aku antar kamu pulang, ya? Ini sudah malam benget," kata Randi. Terlalu menikmati kebersamaan, mereka sampai lupa waktu. Kalau bukan karena telpon dari Bu Dewi, mungkin mereka masih asik berbagi cerita dan tidak tau jika waktu sudah menunjukkan jam sebelas malam. "Aku nggak papa pulang sendirian, kasian Mas Randi mesti bolak-balik." "Ini sudah malam, Lin. Bahaya kalau kamu pulang sendirian." "Oke." Randi mengecup tangan Alin yang di genggamnya. Mereka tidak memiliki hubungan apapun, tetapi orang yang melihat kedekatan keduanya pasti berpikir kalau mereka adalah sepasang kekasih. Sebenarnnya Alin merasa tidak nyaman dengan kedekatan mereka yang tidak memiliki status selain pertemanan. Namun, dia mengabaikan itu, mungkin ini cara agar dia bisa keluar dari kesedihan yang membelenggunya selama tiga tahun ini. "Aku pamit dulu sama orang tua kamu. Sekalian minta maaf karena sudah bawa tuan putri mereka jalan sampe larut malam," ujar Randi saat mereka sampai di depan rumah Alin. "Nggak usah, Mas. Palingan Mama sama Papa udah tidur." "Ya, sudah. Aku balik dulu," pamit Randi sambil mnyerahkan kunci mobil Alin. "Loh, mau pulang naik apa?" tanya Alin. "Naik Taksi." "Mas bawa aja mobilnya," kata Alin, menyerahkan lagi kunci mobil itu. "Nggak usah, Lin." "Mas, nolak?" tanya Alin dengan wajah cemberutnya. Jika sudah begini Randi mana bisa menolak. Cukup tadi sore saja dia merasakan tidak enaknya diabaikan Alin. Randi menghela napas. "Oke." "Besok ketemu di Toko Mama aja, jadi Mas nggak usah jemput kesini." Randi memeluk Alin, mengecup kepala gadis pujaannya. Alin membalas pelukan Randi, menyandarkan kepalanya pada d**a bidang Billy Davidson KW itu. "Makasih sudah nemani aku selama di sini. Maaf sudah banyak merepotkan kamu sama keluarga," ucap Randi tulus. "Sama-sama." Randi sedikit menjauhkan diri, memberi jarak diantara mereka. Tangannya masih memegang bahu Alin dan tangan Alin masih setia di pinggang Randi. Randi menatap lekat pada mata Alin. Bolehkah dia merasakan lagi manisnya bibir gadis yang sudah mencuri hatinya? Tangan Randi beralih menangkup pipi Alin, mendekatkan wajahnya dengan Wajah Alin, hingga bibir mereka bersentuhan. Randi mengecup lembut bibir yang menjadi candunya, menanti respon dari sang pemilik. Tidak disangka Alin malah membuka mulutnya, memberi kesempatan pada lidah Randi untuk membelit lidahnya. Keduanya saling melumat, dan mengisap, menikmati momen intim di tengah dinginnya angin malam. Randi mengakhiri ciumannya. "Aku balik ke Hotel dulu," ujarnya lirih, kemudian mengecup kening Alin. "hati-hati." Alin melambaikan tangan, melepas kepergian Randi. 'Maafkan Aku. Aku hanya sedang belajar hidup bahagia meski tanpamu,' ucap Alin dalam hati saat melihat layar ponselnya yang menampilkan foto Arjuna.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD