"Maaf, aku nggak bisa, Bu. Aku sudah memilih calon pendampingku sendiri," ucap Randi.
Randi, Rena, dan ibunya sedang menonton televisi saat Bu Wati membahas masalah perjodohan Randi dengan anak dari teman arisannya.
"Tau nih Ibu, kayak Kak Randi nggak laku aja pakek dijodohin segala," celetuk Rena.
"Hust, Diam kamu! Nggak usah ikut campur urusan orang tua," hardik Bu Wati.
Rena hanya mendengus kesal.
"Memangnya siapa calon kamu? Pacar-pacar kamu yang nggak jelas itu," tanya Bu Wati menyindir putranya.
"Namanya Alin, Bu. Dia salah satu staf administrasi di divisi Randi" jelas Randi.
"Kak Alin yang ketemu kita di tepian waktu itu?" tanya Rena antusias. "Sudah kuduga, pasti dia bakal jadi pacar kakak selanjutnya."
Randi menoyor kepala adiknya. "Sok tau."
"Admin lagi? Cari yang berkelas dikit dong, Ran!" cela Bu Wati. "Sudah berapa banyak admin yang kamu pacari?Berhenti bermain-main, umur kamu sudah cukup matang untuk berumah tangga."
"Kali ini Randi nggak main-main."
"Pokoknya kamu kenalan dulu sama calon dari Ibu. Anaknya baik, cantik, kerja di kantor pemerintahan," ucap Bu Wati tegas.
Randi menghela napas panjang. Ini bukan pertama kalinya sang ibu berusaha menjodohkan Randi dengan wanita pilihannya, yang rata-rata berprofesi sebagai PNS.
Setiap kali dikenalkan dengan wanita pilihan sang ibu, Randi selalu bersikap dingin, membuat wanita-wanita itu merasa tidak nyaman agar menolak perjodohan mereka.
Hal paling gila yang pernah Randi lakukan adalah, membuat wanita pilihan ibunya berkelahi dengan pacarnya.
Saat itu, dia sudah kehabisan akal untuk membuat wanita yang bernama Mira menjauh darinya. Jadi, dia meminta bantuan Icha untuk mengirim foto Mira yang sedang merangkul pinggang Randi kepada Dita, pacar Randi.
Dita yang cemburu melabrak Mira, dan perkelahian pun tidak dapat dihindari, alhasil Mira membatalkan pejodahan dan Dita memutuskan hubungan mereka.
Sedih?
Tentu saja tidak, karena Randi tidak pernah mencintai Dita. Dia hanya bermain-main dengan wanita itu.
Jahat?
Benar, Randi memang seperti itu. Dia memanfaatkan wanita-wanita yang menyukainya untuk menghidar dari perjodohan yang diatur ibunya.
Namun, itu dulu, sebelum Alin datang dan membuatnya bertekuk lutut.
"Kak Alin juga cantik, kok. Kalau dilihat dari penampilannya, kayak dia bukan orang biasa," sela Rena.
"Diam!" bentak Bu Wati dengan mata melotot.
"Maaf, kali ini aku tetap menolak." Randi beranjak menuju kamarnya.
Ditutupnya pintu kamar dengan sedkit kasar. Perasaannya sedang tidak baik, dia kesal pada sang ibu yang terobsesi memiliki menantu seorang PNS.
Dia membutuhkan Alin untuk menenangkannya. Alin seperti mood booster untuknya. Dia melihat jam pada ponselnya, sudah terlalu malam untuk mengajak Alin keluar.
Dia menelepon Alin, tetapi sampai dering terakhir, Alin tidak mengangkat teleponnya. Randi heran tidak biasanya Alin seperti ini.
Dia membuka aplikasi chat-nya dan mengirimi Alin sebuah pesan.
[Sayang, lagi apa? Kok telpon aku nggak di angkat?]
Sudah setengah jam berlalu, tetapi Alin juga belum membalas pesannya. Randi kembali mengirim pesan.
[Lagi sibuk, ya? Kalau sudah nggak sibuk telpon aku.]
Randi menyambungkan ponselnya dengan pengisi daya. Kemudian membaringkan tubuh lelahnya, sambil menunggu telepon dari sang pacar.
Randi terbangun karena suara alarm. Dia ketiduran saat menunggu telepon dari Alin.
Ada dua pesan dan dua panggilan tidak terjawab dari Alin pada pukul 11.30 malam.
"Ke mana Alin semalam?" gumamnya.
Segera dia membuka pesan dari Alin.
[Maaf, tadi hp aku silent, soalnya lagi ngobrol sama Kak Andre.]
"Kak Andre? Dia ada di sini?" gumamnya lagi.
Dibacanya lagi pesan Alin selanjutnya.
[Pasti sudah ngorok. Good night, Beb.]
Randi tersenyum saat melihat emot hati diakhir pesannya.
Belum sempat membalas, Alin sudah mengirimkan pesan lagi.
[Bangun! Kerja! Jujuranku mahal, loh.]
Randi tertawa membaca pesan dari pacar cantiknya itu.
[Sudah bangun sayangku. Selamat pagi. Tunggu abang ya sayang.] Balas Randi, tidak lupa emot cium diakhir pesannya.
Dia bergegas mandi, tidak sabar untuk bertemu dengan Alin.
Randi keluar dari kamarnya berjalan menuju dapur untuk berpamitan dengan sang ibu.
"Pergi dulu, Bu," pamit Randi.
"Pikirkan lagi permintaan Ibu semalam," ucap Bu Wati saat Randi mulai melangkah ke luar.
"Aku tidak akan mengubah keputusanku," Randi menjawab tanpa menoleh ke arah ibunya.
Randi mengendarai motor sport-nya dengan kecepatan tinggi. Dia ingin segera sampai di kosan Alin, dan memeluk Alin untuk meredakan emosinya.
Randi sampai di depan kosan Alin, dilihatnya sebuah mobil yang sangat familiar parkir di halaman. Randi berjalan menuju kamar Alin sambil terus mengamati mobil itu.
'Mobil Alin,' batinya.
Pintu kamar Alin sudah terbuka, sepasang safety shoes sudah siap di depan pintu.
"Yang, kok mobil kamu ada di sini?" tanya Randi yang sedang bersandar di pintu kamar Alin.
"Kak Andre yang antar," jawab Alin sambil menyemprotkan parfum.
"Kak Andrenya mana?"
"Nginap di hotel. Pagi ini dia balik."
Randi melepas sepatunya dan masuk ke kamar Alin setelah memastikan kondisi aman.
"Eh, kenapa masuk?" tanya Alin kaget saat merasakan seseorang memeluknya dari belakang.
"Kangen," ucap Randi menyembunyikan wajahnya pada ceruk leher Alin.
Aroma tubuh Alin membuatnya jauh lebih tenang.
"Ya ampun, Mas. kita cuma dua hari nggak ketemu," ucap Alin sambil menahan geli karena Randi mengendus lehernya.
"Geli, ih. Alin melepaskan diri dari Randi.
Randi hanya cengengesan, melihat wajah kesal Alin.
"Maaf, maaf," ucap Randi sambil menarik Alin mendekat padanya.
Alin masih masih mempertahankan wajah cemberutnya. Bibir Alin yang sedikit manyun membuat Randi semakin tidak tahan.
Perlahan dia mendekatkan wajahnya dengan wajah Alin, kemudian mengecup bibir manis kekasihnya. Tidak puas hanya mengecup, Randi melumatnya sebentar.
Alin mencubit pinggang Randi, membuat Randi melepaskan ciumannya dan memekik kesakitan.
"Ganasnya," ucap Randi sambil mengusap pinggangnya.
"Biarin!" Alin semakin kesal.
"Morning kiss, Yang. Biar kayak orang-orang," ucap Randi sambil menyapu bibir Alin dengan jempolnya.
Alin mengambil tas ranselnya, dan keluar meninggalkan Randi.
"Ayok! Nanti telat," ajak Alin.
"Oke."
***
Hubungan mereka sudah berjalan dua bulan. Alin mulai bisa melupakan masa lalunya.
Alin dan Randi sedang berada di pulau Derawan menikmati hari libur. Banyak kegiatan yang mereka lakukan di pulau ini.
Randi mengajak Alin untuk berkeliling ke tiga pulau yaitu Maratua untuk snorkeling, berenang bersama ubur-ubur di palau Kakaban, dan mengunjungi pulan tempat penyu bertelur di Sangalaki.
Alin dan Randi benar2 menikmati liburan mereka, tidak perduli dengan kulit mereka yang mulai menggelap.
Ini malam terakhir mereka berada di pulau ini. Lusa, Alin akan pulang ke Balikpapan, menghabiskan waktu cuti bersama keluarganya.
Alin dan Randi sedang bersantai di teras belakang kamar mereka. Menikmati hembusan angin dan suara deburan ombak.
"Senang?" tanya Randi sambil melihat Alin yang duduk di sampingnya.
"Hm," jawab Alin singkat.
Randi merangkul bahu Alin, dan Alin melingkarkan tangannya pada pinggang Randi.
Alin memejamkan mata, menikmati suara detak jantung dari pemilik d**a bidang yang menjadi tempatnya bersandar, sedangkan Randi mengelus kepala Alin, sesekali memberikan kecupan di sana.
"Yang, kalau seandainya orang tua kita nggak setuju sama hubungan ini, gimana?" tanya Randi sambol memejamkan mata menikmati aroma rambut sang pacar.
Alin membuka matanya saat mendengar pertanyaan itu, kemudian memejamkannya kembali dan semakin mengeratkan pelukannya.
"Tergantung kamu, mau berjuang atau berhenti."
Hening. Hanya terdengar suara deburan ombak.
"Kenapa? Ibu kamu nggak setuju?" tanya Alin.
"Ibu mau jodohin aku sama anak temannya, Ibu–– jangan dilepas sayang!"
Randi menahan tubuh Alin yang ingin melepaskan pelukannya.
"Ini bukan pertama kalinya Ibu melakukan itu. Aku sudah melakukan berbagai macam cara, termasuk dengan berkencan dengan para admin––"
"Dengerin dulu sayang."
Sekali lagi Alin ingin melepaskan pelukannya dan kembali ditahan Randi.
Randi melepaskan pelukan Alin, dan memindahkan wanita itu ke pangkuannya.
"Dengerin aku dulu, please," pinta Randi.
Randi menceritakan semuanya, tanpa apa yang dia tutupi, temasuk dia yang memanfaatkan para wanita yang menyukainya untuk menolak perjodohan.
Randi juga menceritakan peristiwa Mira dan Dita yang berkelahi karena dirinya.
"Jadi, aku juga kamu manfaatkan untuk nolak rancana ibumu?" tanya Alin, menatap mata Randi, mencari kebenaran pada sorot mata pria itu.
"Nggak, Yang," jawab Randi. "Kamu berbeda. Aku pacaran sama mereka, berawal dari mereka yang terang-terangan bilang suka sama aku.
Aku jadian sama mereka karena itu kemauan mereka, tapi jadian sama kamu itu karena kemauan hatiku," ucap Randi tulus.
"Jangan pergi, temani aku untuk memperjuangkan kamu."
Randi mencium bibir Alin lembut. Lama-kelamaan ciuman itu berubah menjadi lumatan ganas yang membangkitkan gairan. Randi membopong Alin masuk kedalam kamar tanpa melepaskan tautan bibir mereka.
Perlahan-lahan membaringkan Alin di kasur, Randi sudah berada di atas Alin, bertumpu dengan sikunya. Tangan Randi mulai menjelajahi lengkuk tubuh Alin, mulai dari perut rata, kemudian naik sampai telapak tangan itu mendarat sempurna pada gundukan kenyal milik Alin.
Randi meremas lembut gundukan itu, yang membuat sebuah desahan lolos dari bibir Alin.
Randi dan Alin sama-sama sudah tergulung ombak gairah. Otak Alin berusaha mengumpulkan kewarasannya untuk menghentikan ini, tetapi tubuhnya berkhianat.
Alin memalingkan wajah agar tautan bibir mereka terlepas. Keduanya terengah-engah, Randi menarik tangannya dari dalam baju Alin, dan menyembunyikan wajahnya pada ceruk leher sang pacar.
"Maaf ... maafin aku, Yang," Randi terus menggumamkan kalimat itu.
Randi menggulingkan tubuhnya kesamping kanan Alin.
Alin memejamkan matanya, napasnya masih memburu. Hampir saja dia mengkhianati kepercayaan keluarganya.
"Ayo menikah, Yang," bisik Randi sebelum keduanya tertidur dengan posisi Randi memeluk Alin.
***
"Hati-hati, Yang. Jangan lama-lama. Tau 'kan kalau rindu itu berat? Aku nggak akan kuat, biar Dilan aja yang nahan rindu," kata Randi melalui sambungan telepon sebelum Alin memasuki pesawat.
"He ... he.. he, lebay," timpal Alin.
"Jaga mata dari admin Finance yang baru," pesan Alin sambil terkekeh.
"Tenang, Yang, ada Icha yang siap gebukin aku kalau aku macam-macam. Diakan galak kayak induk ay–"
"Argh! Tuh 'kan belum apa-apa aku sudah kena pukul," adunya.
"Aku pergi dulu," pamit Alin.
Hati Randi tidak tenang melepaskan kepergian Alin. Dia takut Alin akan kembali teringat dengan kenangannya bersama Juna.
Selama dua bulan ini dia sudah berusaha membuat Alin melupakan masa lalunya, meskipun belum sepenuhnya berhasil.
'Tolong pergilah dari hati dan pikiran Alin. Biarkan dia bahagia bersamaku,' ucap Randi dalam hati.