"Alin!" seru Randi.
Rindu yang menggunung seketika runtuh setelah melihat sang pujaan hati ada di depannya. Jangan tanya bagaimana perasaan Randi saat ini, kecepatan pompa jantungnya meningkat berkali-kali lipat, sampai dia merasa jantungnya akan meledak.
Ingin rasanya dia bersorak kegirangan, melompat-lompat seperti anak kecil yang mendapatkan mainan baru, tetapi dia tidak mungkin melakukan itu dihadapan Alin, karena itu bisa merusak image-nya di depan Alin. Dia berusaha untuk bersikap biasa.
'Thanks God' ucapnya dalam hati.
Berbeda dengan Alin yang merasa tidak nyaman bertemu dengan Randi. Bukan kerena tidak suka, tapi karena pakaian yang dia kenakan, celana yang panjangnya hanya sejengkal di atas lutut,dan kaos lengan panjang warna hitam. Benar-benar memalukan.
Disaat seperti ini Alin ingin sekali berteman dengan Ibu Peri atau jin cantik penghuni kerang mutiara, agar dia bisa menghilang dalam sekejap mata.
Niatnya datang ke toko hanya untuk menjemput sang Mama, jadi dia tidak berpikir untuk mengganti pakaiannya. Namun, siapa sangka dia malah bertemu dengan Randi.
'Ya ampun, kenapa dia bisa ada di sini," batinnya.
"Dek, dipanggil temennya kok malah bengong. Samperin sana!" perintah Bu Dewi.
"Heh, kenapa, Ma?" tanya Alin.
Saking kagetnya bertemu dengan Randi, dia sampai tidak sadar jika Ibunya sudah berdiri di sampingnya.
"Itu loh, di panggil sama teman kamu. Samperin sana!" ulang Bu Dewi.
Dengan berat hati Alin menghampiri Randi.
'Astaga Alin, seharusnya tadi ganti baju dulu, memalukan sekali,' gerutunya dalam hati.
Semakin dekat Alin, semakin cepat juga degup jantung Randi.
'Ya Tuhan, cantiknya Alin,' ucapnya dalam hati.
'Kontrol dirimu, Bro!' Randi merapalkan kalimat ini berulang kali.
"Apa kabar?" tanya Alin basa-basi.
Baik. Kamu apa kabar?" Randi balik bertanya.
"Baik juga. Ngapain ke sini?"
"Memang ada larangan aku nggak boleh main ke sini?"
"Ya nggak. Maksudnya kamu kan baru pulang cuti, kok udah cuti lagi."
"Aku ada training di sini."
"Oh ... kirain cuti lagi."
"Selamat Sore," sela Bu Dewi.
"Sore, Tante," balas Randi sambil mengulurkan tangannya.
"Randi," lanjutnya memperkenalkan diri.
"Tante Dewi, Mamanya Alin," ucap Bu Dewi menjabat tangan Randi.
"Teman baru, Dek? Kok Mama baru liat," tanya Bu Dewi pada Alin.
"Lain, Dia atasan Alin," jawab Alin.
"Lagi liburan ya, Ran?" tanya Bu Dewi.
"Nggak, Tante. Saya ada training di sini."
Bu Dewi ikut mengobrol dengan mereka. Ini pertama kalinya dia melihat Alin mengobrol akrab dengan laki-laki, semenjak kepergian Juna. Semoga ini pertanda putrinya sudah terbebas dari kesedihannya.
Waktu sudah menunjukkan jam lima sore, karyawan Bu Dewi meminta ijin untuk menutup toko.
"Kalau gitu saya pamit dulu, Tante," ujar Randi.
"Pulang naik apa?"
"Saya pesan taksi online."
"Biar di antar Alin aja," tawar Bu Dewi.
'Yes!' Randi bersorak dalam hati.
"Kalau Alin antar Randi, Mama pulang sama siapa?" tanya Alin.
"Gampang, Mama minta jemput Papa atau Kak Andre aja. Lagian masih ada yang mau Mama kerjain," jawab Bu Dewi.
"Makasih, Tante, tapi saya pulang naik taksi online aja," tolak Randi, bertolak belakang dengan keinginan hatinya.
"Jangan! Biar diantar Alin aja."
"Dek, antar Randi dulu!" perintah Mamanya.
Alin hanya mengangguk malas.
"Saya permisi dulu, Tante.," pamit Randi.
"Kalau ada waktu main-main ke rumah, Ran."
"Iya, Tante."
Randi berjalan di belakang Alin. Dia terpesona melihat tubuh Alin dari belakang. Sempurna, itu yang ada di pikirannya. Bagaimana rasanya mendekap tubuh seksi itu? Bagaimana rasanya mencumbu bibir yang menurutnya seksi?
Astaga, pikiran kotor sedang menguasai otak Randi, membuat gairahnya sedikit tersulut. Salahkan Alin yang begitu seksi, sehingga membangkitkan jiwa liarnya sebagai seorang lelaki. Randi menggelengkan kepalanya cepat untuk menyingkirkan pikiran kotornya.
Alin berhenti di samping sebuah mobil berwana hitam berlogo huruf 'H'. Randi pun segera masuk ke dalam mobil yang memiliki interior berwarna ungu hitam itu.
"Kamu suka warna ungu?" tanya Randi.
"Iya," jawab Alin singkat.
"Nginap di mana?" tanya Alin
"Di Hotel Cakrawala," jawab Randi.
Alin melajukan mobilnya menuju Hotel tempat Randi menginap. Sepanjang jalan telinga Randi dimanjakan dengan suara merdu Alin, meski lirih, tetapi Randi masih mampu mendengarnya.
"Boleh nanya?" tanya Randi meminta ijin pada Alin.
"Mau nanya tarif taksiku? Biasanya hitungan per meternya sepuluh ribu rupiah," jawab Alin sekenanya.
"Mahal banget."
"Harus mahal, karena yang jadi sopirnya cewek cantik."
Randi terkekeh mendengar jawaban percaya diri dari Alin.
"Papa kamu kerja di mana, Lin?"
" Papa punya usaha mini market."
"Orang tua kamu punya usaha yang cukup besar, kenapa kamu milih kerja di hutan? Kenapa nggak ikut mereka aja?"
"Kalau kerja ikut Papa atau Mama nggak ada tantangannya. Aku pengen menghasilkan uang dari kerja kerasku sendiri."
Randi semakin dibuat kagum, Alin tidak mengandalkan harta orang tuanya untuk berfoya-foya. Kalau gadis lain pasti lebih memilih duduk di rumah menjadi tuan putri.
Perjalanan menuju Hotel dirasa Randi sangat cepat, padahal dia ingin berlama-lama menikmati waktunya bersama Alin.
"Lin, nanti malam ada acara nggak?" tanya Randi sebelum dia keluar dari mobil.
"Ada. Kenapa?" Alin balik bertanya.
"Nggak papa. Cuma mau minta temenin kamu jalan-jalan."
"Emm ... kalau besok gimana?"
"Oke, besok aja. Makasih sudah ngasih tumpangan."
"sama-sama."
***
Tepat jam 12 malam Alin menyalakan lilin pada sebuah kue tart, ditemani setangkai bunga mawar dan sebuah foto.
'Selamat ulang tahun yang ke-23, Sayang. Semoga kamu selalu bahagia di sana,' ucap Alin setelah meniup lilin.
'Nggak kerasa udah tiga tahun kamu ninggalin aku sendirian. Gimana rasanya tanpa aku?' Air mata Alin mulai menetes.
'Kamu pasti nggak ngerasain seperti apa yang aku rasain di sini. Ini sudah tiga tahun, tapi aku belum bisa lupain kamu. Aku sudah berusaha menata pecahan hati sebaik mungkin, tapi aku gagal. Jika suatu saat nanti aku melabuhkan hati pada seseorang, aku nggak akan lupain kamu, karena kamu punya tempat spesial di hati aku.' Air mata Alin semakin deras mengalir.
'Aku sayang Kamu.'
Setiap kali Alin merindukan Juna, Alin akan melihat kembali foto dan video yang pernah mereka abadikan. Alin pernah dengan iseng merekam suara Juna saat mereka berbicara melalui telpon, dan sekarang rekaman itu menjadi sangat berarti untuknya.
Hari sudah larut, tetapi Randi sama sekali tidak bisa memejamkan mata. Dia membuka akun media sosialnya. Dia tersenyum saat melihat postingan foto-foto Alin bersama seorang bayi dalam gendongannya. Randi menebak foto ini diambil sebelum mereka bertemu di toko kue Mama Alin, karena pakaian yang di gunakan Alin sama seperti tadi sore.
Dia terus menggulir layar ponselnya, sampai pada postingan lain dari Alin yang membuat dadanya sesak. Foto Arjuna dengan caption yang sama seperti yang pernah dia baca sebelumnya.
Jadi ini alasan Alin menolak ajakannya tadi. Ternyata dia merayakan ulang tahun Juna.
Sakit tapi tak berdarah, itulah yang dirasakan Randi. Wanita pujaannya masih saja mencintai mantan kekasihnya yang sudah bertahun-tahun pergi.
Randi akui Arjuna adalah pria yang tampan, dua buah lesung pipi menghiasi pipi kanan dan kirinya, alis tebal, kulit putih, dan jika di lihat dari fotonya bersama Alin sepertinya Juna lebih tinggi darinya, Tinggi Alin sebatas leher Juna, sedangkan jika bersanding dengannya, tinggi Alin sebatas pelipis Randi.
***
Hari ini Alin menjemput Randi di hotel.
Sesuai janjinya, hari ini dia akan menemani Bosnya itu jalan-jalan. Alin menunggu Randi di lobi hotel.
"Halo, jadi nggak?' tanya Alin melalui sambungan telpon.
"Cepetan! Nggak usah dandan."
"Oke, lima menit nggak turun, aku tinggal." Alin mengakhiri panggilannya.
Sementara itu, di dalam kamar Randi sedang bersiap-siap. Hari ini dia ingin tampil sempurna, karena perjuangannya untuk merebut hati Alin akan dimulai hari ini.
Randi sudah siap. Dia segera menuju lobi untuk menemui Alin. Sesampainya di lobi, Randi langsung menghampiri Alin. Gadis itu selalu mempesona, bahkan dengan pakaian dan make up sederhana.
"Hai, udah lama nunggunya?" tanya Randi.
"Sudah! Sampe berlumut aku nungguin kamu," jawab Alin dengan ketus.
"Maaf, bawel," ucap Randi sambil mengacak-acak rambut Alin.
"Ihh ,,, jadi berantakan nih rambut aku." Alin memberengut.
'Astaga, Lin. Bibirnya biasa aja dong, nggak usah di manyun-manyunin gitu. Jadi pengen nyium nih,' Randi membatin.
Alin berjalan mendahului Randi menuju ke parkiran mobil. Alin masih memasang tampang cemberutnya.
"Tuh bibir biasa aja kali, nggak udah di manyun-manyunin gitu," kata Randi mencolek dagu Alin yang sedang menyetir.
"Kenapa? pengen nyium?" tanya Alin sinis.
'Pengen banget, Lin,' jawab Randi dalam hati.
"Emang boleh?"
"Nggak boleh!"
"Lin, kita mau kemana?" tanya Randi saat sadar mereka berada di kawasan yang tidak terlalu ramai.
"Kuburan."
"Ngapain ke kuburan?"
"Ikut aja nggak usah protes."
Alin benar-benar membawanya ke pemakaman. Alin keluar dari mobil dan mengambil satu buket bunga mawar dari kursi penumpang. Randi mengikuti langkah Alin. Tidak terlalu banyak makam ditempat ini, sepertinya ini pemakaman keluarga.
Alin berhenti di samping sebuah makam. Dia berjongkok dan meletakkan bunga yang dibawanya. Diusapnya batu nisan bertuliskan ARJUNA CHANDRA, air matanya kembali menetes.
Randi ikut berjongkok di samping Alin, dapat dia dengar isakkan pilu Alin.
"Selamat ulang tahun, Sayang. Terima kasih sudah bersedia datang dalam mimpiku. Maaf kalau aku masih sering nangisi kamu. Aku sudah berusaha untuk ikhlasin kamu, tapi rasanya berat banget, " ucap Alin disela tangisnya.
Alin memejamkan mata dan berdoa di dalam hati. 'Tuhan, ijinkan aku menjadi bidadarinya pada kehidupan selanjutnya. Kami tidak berjodoh di dunia ini, maka jodohkanlah kami di keabadian nanti.'
Alin membuka mata dan membersihkan wajahnya yang basah karena air mata.
"Ayo!" ajak Alin sambil berdiri.
Alin berjalan keluar pemakaman, sedangkan Randi masih berdiri manghadap makam Juna.
"Hai, Bro. Ijinkan aku menggantikan posisimu di hati Alin. Aku akan menjaganya dengan sepenuh hati," ucap Randi, kemudian pergi menyusul Alin.
"Lama banget. Kamu ngapain di sana?" tanya Alin.
"Berdoalah, memangnya mau ngapain lagi."
"Siapa tau mau nyari pesugihan."
Randi terkekeh, "Salah tempat kalau nyari di sini, Lin."
"Tukar tempat!" pinta Alin.
"Hah? Maksudnya?" tanya Randi bingung.
"Ck," Alin berdecak sebal. "Kamu yang nyetir! Aku capek."
"Oh, kirain kamu suruh aku tukar tempat sama Juna."
"Boleh banget kalau bisa."
Randi hanya tertawa, dan keluar dari mobil.
"Tapi aku nggak tau jalan, Lin"
"Ntar aku yang nunjukin."
Mobil mereka pergi meninggalkan pemakaman. Randi fokus pada kemudinya, mengikuti arahan Alin.
"Makan dulu ya, aku lapar," pinta Alin
Randi tersenyum, dan mengelus kepala Alin.
"Oke."
Alin memperhatikan Randi. Dia tau pria di sebelahnya ini menaruh hati padanya. Alin bukan cenayang atau paranormal yang bisa mengetahui isi hati seseorang. Dia mengetahuinya dari Icha, teman kerja Alin yang juteknya luar biasa.
'Haruskah aku mencobanya kali ini? Haruskah aku belajar membuka hati untuk pria ini?' tanyanya dalam hati.