5
Sentuhan di kaki kanan membangunkan Zein dari tidurnya. Matanya memicing dan langsung mendengkus kesal saat melihat Rima sedang menyeringai ke arahnya.
"Jangan ganggu," lirih Zein.
"Bangun dulu," sahut Rima.
Zein membuka kembali matanya. Melirik jam dinding di atas meja rias, kembali menggerutu saat melihat ternyata masih pukul 3 dini hari.
"Masih awal, Rima." Pria itu menarik selimut sampai menutupi kepala.
"Ish! Aku cuma mau minta bukain pagar gaib," pinta hantu perempuan itu dengan nada suara manja.
"Hmmm, emang kamu mau keluar?" Zein bertanya dari dalam selimut.
"Iya, mau pacaran." Tawa Rima dengan suara melengking.
Zein sontak menurunkan selimut. Menatap wajah sahabatnya itu yang sedang tertawa bahagia.
"Irwan udah pindah ke sini, ya?" tanya Zein sembari bangkit dan duduk tegak.
Rima mengangguk dengan seulas senyuman yang melebar.
Zein balas tersenyum sambil menggerakkan tangan untuk membuka pagar gaib. Menggeleng pelan saat melihat Rima sedang bertepuk tangan.
"Salam buat Irwan," ucap Zein saat hantu itu perlahan menghilang.
Pria bertubuh tinggi itu memandangi tempat di mana Rima tadi duduk. Kemudian, beringsut ke pinggir kasur dan berdiri. Melangkah pelan dan membuka pintu kamar, jalan terus dan masuk ke kamar mandi di sebelah kanan kamar.
Keluar dengan wajah basah dan masuk kembali ke kamar. Mengambil sajadah yang disampirkan di kursi dan menggelar benda itu ke lantai.
Zein menunaikan salat Tahajud dua rakaat, memohon ketetapan hati dan ketenangan dalam hidup. Meminta dilancarkan semua urusan, terutama tentang karirnya di perusahaan, dan tentu saja untuk kelancaran langkah dirinya dan Triska, menjelang pernikahan.
Gerakan Adi di atas kasur membuat Zein menoleh. Pandangan mereka saling beradu.
"Tumben," ucap Adi sambil mengucek mata dan bergerak duduk dengan bertumpu pada siku.
"Udah sering juga aku begini. Makanya hidupku lebih tenang daripada yang dulu," jelas Zein sambil bangkit berdiri. Tangannya melipat sajadah dan menyampirkannya kembali ke kursi.
"Gitu, ya?" tanya Adi dengan senyuman miring.
"Ho oh. Udah, buruan wudu sana! Banyakin doa biar dikasih jodoh yang bisa lebih mengerti kamu," seloroh Zein yang disambut tawa kecil Adi.
Pria bertubuh tinggi besar itu menuruti permintaan sahabatnya. Bergerak ke luar dan segera mengambil wudu.
Seperti halnya Zein, Adi pun berdoa dengan khusyu. Kelebatan peristiwa beberapa tahun silam, membuatnya termenung sesaat.
Teringat masa-masa awal kehidupan rumah tangganya bersama Syifa. Mereka sempat mengecap kehidupan yang sangat manis di beberapa bulan pernikahan.
Permasalahan mulai muncul saat Syifa sering merengek untuk diizinkan pulang ke kampung halamannya di Ciwidey. Perempuan berjilbab itu merasa tidak betah hidup di Jakarta.
"Kalau kita pulang ke sana, terus ayah bakal kerja apa, Bun?" tanya Adi saat Syifa merengek kembali.
"Kita buka toko sembako aja, Yah. Kan toko milik ayahnya bunda sekarang nggak ada yang pegang," jawab sang istri dengan sorot mata memohon.
"Ayah nggak bakat dagang, Bun. Bakatnya kerja kantoran," sahut Adi sambil duduk di sebelah istrinya.
Sejenak hening. Keduanya sibuk dengan pikiran masing-masing.
"Kalau begitu, biar bunda aja yang pulang sendiri. Ayah tetap di sini," ucap Syifa tiba-tiba.
"Nggak bisa begitu, Bun. Masa kita hidup misah-misah? Ayah nggak mau!" tegas Adi.
Bulir bening luruh dari mata Syifa. Perempuan muda itu menangis sambil menutup wajahnya dengan tangan.
Adi menghela napas dengan cepat, mencoba meredam emosinya. Saat ini istrinya sedang home sick. Bawaan hamil muda di usia muda, yang mungkin cukup berat baginya.
Pria berwajah tampan itu menoleh dan segera meraih tubuh sang istri. Memeluknya dengan segenap perasaan dan membiarkannya meluapkan tangis hingga membasahi bajunya.
"Bertahan sebentar lagi, ya, Bun. Nanti kalau sudah mau lahiran, ayah antar Bunda pulang. Tapi janji, ya, tiga bulan setelah lahiran, Bunda harus kembali lagi ke sini," ucap Adi sambil mengusap rambut panjang istrinya dengan penuh rasa sayang.
"Iya," jawab Syifa pelan.
Perempuan berusia dua puluh dua tahun itu menengadah dan tersenyum pada sang suami. Dalam hatinya merasa sangat bersyukur, suaminya mau menuruti permintaannya. Walaupun hal itu baru akan terjadi beberapa bulan lagi.
Adi memandangi wajah istrinya dengan lekat. Menyusut sisa bulir bening di sudut mata kekasih hatinya itu. Memajukan wajah dan menciumi setiap lekuk wajah sang istri yang membalasnya dengan hal yang sama.
Saat bibir mereka bertemu, isapan dan pagutan itu semakin tidak terkendali. Adi merebahkan tubuh molek Syifa ke atas sofa. Melucuti semua yang dikenakan dengan sedikit tergesa.
Syifa tertawa kecil saat pria halalnya itu tampak tidak sabaran. "Pelan-pelan, Yah. Ingat kata dokter," bisik Syifa saat Adi menempelkan tubuhnya.
"Hmmm," jawab sang suami yang perlahan memasuki tubuh sang istri yang sudah sangat pasrah.
Percintaan yang hangat dan terkesan pelan itu perlahan berubah. Adi seolah lupa dengan nasehat Dokter dan mulai menggila.
Syifa yang sudah terlena tidak sanggup lagi untuk mengingatkan suaminya. Mereka berpacu untuk saling menyentuh. Ciuman dan pekikan kecil mengiringi penyatuan keduanya.
***
Pagi menyapa dengan suara sumbang milik Ary dan Ivan. Mereka dengan santainya berkaraoke di ruang tengah rumah.
Bi Ai tak hentinya mengomel sambil terus membersihkan ruangan. Sedangkan Triska dan Dinar tampak sibuk mempersiapkan sarapan di dapur.
Zein ke luar kamar dan langsung melingkarkan tangannya di pinggang Triska yang memekik kaget.
"Abang, ihhh," protesnya dengan memelototkan mata.
Zein menyeringai sambil tetap merangkul perempuan yang sangat dicintainya itu dengan erat.
"Hmmm, aku melipir aja deh," seloroh Dinar.
"Sorry, Mbak. Habisnya masih kangen," sahut Zein.
Dinar menggeleng pelan sambil tersenyum. Terbesit sedikit rasa iri melihat kemesraan kedua sahabatnya itu.
Perempuan berjilbab itu jalan ke meja makan. Menyendokkan nasi goreng ke atas piring dan menambahkan irisan telur dadar dan sambal bawang ke atas nasi.
Menyuapkan nasi goreng ke dalam mulut, dan mengunyah dengan pelan. Memandangi kedua sejoli yang masih saling menggoda itu dengan tatapan menerawang.
"Mbak, ikan tunanya nggak ada. Udah ada yang borong tadi di tukang sayur," ujar Ayu yang masuk ke ruang makan bersama Tia.
Dinar menoleh dan mengangguk pelan,"nggak apa-apa. Nanti kita beli ayam aja," sahut Dinar.
"Ayam udah kubeli, Mbak. Tadi cuma nyisa satu kilogram di tukang ayam," sela Tia sambil menarik kursi dan duduk di sebelah kanan Dinar.
"Ehm, kurang kayaknya," jawab Dinar.
"Itu buat makan malam aja, Mbak. Makan siangnya nanti kita keluar. Jalan-jalan. Aku yang traktir," sela Zein yang langsung disambut senyuman lebar ketiga perempuan yang sedang duduk di meja makan.
"Mau jalan pakai apa, Bang? Kan mobilnya dipakai bang Adi," tukas Triska sambil menuangkan nasi goreng untuk Zein.
"Pakai mobil Ary sama Rama. Kemarin aku udah ngomong ke mereka," jawab Zein sembari duduk di kursi sebelah Ayu.