Adi memandangi wajah Elang, anaknya yang berusia tiga tahun itu dengan sorot mata penuh kerinduan.
Bocah laki-laki itu seolah paham bila sang Ayah sangat menyayanginya. Dari sejak ayahnya datang, Elang tidak mau jauh dari sang Ayah.
Kali ini Adi mengajak Elang dan Syifa ke sebuah restoran keluarga yang menyatu dengan wahana bermain.
Bi Siti, salah satu kerabat Syifa juga ikut bersama mereka untuk membantu menjaga Elang.
"Kang," panggil Syifa dari kursi seberang.
Adi yang sedang memandangi Elang, seketika menoleh.
"Aku boleh minta sesuatu nggak?" tanya Syifa ragu-ragu. Perempuan berjilbab hijau itu menghela napas lega saat Adi mengangguk.
"Ada teman kerja yang sekarang sedang serius dekat sama aku, kira-kira, Akang ngizinin nggak kalau aku mau menikah kembali?" tanya Syifa hati-hati.
Adi terdiam selama beberapa saat. Hatinya terasa sedikit pedih saat mendengar ucapan itu. Walaupun mereka sudah resmi bercerai sejak dua tahun yang lalu, tapi tetap saja, masih ada sedikit asa untuk bisa kembali bersama Syifa.
Pria beralis tebal itu menghela napas panjang dan mengembuskannya perlahan. Mencoba mengusir rasa sakit di sudut hati.
Adi sangat paham, bagaimanapun Syifa adalah perempuan normal. Dia juga pasti ingin mempunyai rumah tangga bahagia seperti yang lainnya. Hal yang tidak pernah bisa mereka wujudkan dulu.
"Akang sih, terserah kamu aja. Yang penting dia juga sayang sama Elang. Kalau sampai anak akang disia-siakan, dia harus siap berhadapan dengan akang," jawab Adi dengan nada suara yang diharapkan cukup tegas.
"Iya, Kang. InsyaAllah. Selama ini, Kang Rudi menunjukkan sikap yang baik pada Elang. Semoga saja akan begitu seterusnya," sahut Syifa.
Sesaat mereka saling pandang. Syifa terkejut saat melihat kilatan kecewa di manik hitam milik mantan suaminya itu.
Syifa menunduk untuk menyembunyikan perasaannya yang masih bergetar bila pandangan mereka bertemu.
Kisah cinta yang sangat membekas dalam hatinya itu seolah enggan untuk pergi. Sekuat apa pun usaha Syifa untuk melupakan sosok Adi, namun tetap saja dia masih memiliki rasa.
Walaupun rasa itu sekarang telah berkurang kadarnya, tapi di sudut hati Syifa masih menyimpan harapan untuk bisa menyambung hubungan mereka.
Nama Rudi, rekan kerjanya itu sengaja disebut untuk melihat reaksi Adi. Sesaat Syifa bisa merasakan ada nada getir di ucapan pria berwajah tampan itu. Namun, mendengar jawaban Adi, Syifa menjadi malu sendiri.
"Ehm, kalau Akang, apa sekarang sudah punya pacar baru?" tanya Syifa dengan rasa penasaran yang teramat sangat.
"Belum ada. Akang nggak mau gegabah. Takutnya terulang lagi," jawab Adi dengan tersenyum miring.
Pria itu memandangi wajah perempuan yang semakin dewasa itu dengan lekat. Sekuat tenaga dia menahan diri untuk tidak menyentuh tangan Syifa yang berada di atas meja.
Masih terasa debaran di dalam hati. Akan tetapi, sepertinya mulai sekarang Adi harus berusaha keras untuk melupakan Syifa.
Terutama, bila perempuan itu sudah memiliki pendamping hidup yang baru.
***
Ivan dan Ary meneruskan acara bernyanyi di dalam mobil. Tidak peduli penumpang yang lain protes, mereka tetap semangat bernyanyi.
"Mas Rama sudah sampai katanya, Bang," ucap Tia sambil memandangi layar ponsel.
"Suruh dia pesan tempat dulu. Bilang, supir angkot kita lagi sibuk karaoke. Nyetirnya lambat, saingan sama siput," sahut Zein sambil tersenyum lebar.
"Iri wae teu bisa nyanyi!" sungut Ivan sembari menambahkan kecepatan mobil.
Beberapa menit kemudian mobil SUV berwarna biru itu tiba di mall tujuan mereka. Setelah Ivan memarkir mobil dengan rapi, semua penumpang turun dan jalan masuk ke mall.
Tia menurut saja saat Ivan merangkul pinggangnya. Mereka berjalan lambat di belakang yang lainnya.
"Buruan euy!" teriak Ary yang memimpin paling depan.
"Udahlah, Ry. Ayo kita jalan. Abaikan kedua pasangan yang sedang dimabuk asmara itu," ajak Ayu sambil menggamit lengan Ary yang cengengesan.
Keenam sahabat itu akhirnya tiba di restoran yang menyajikan makanan khas Korea.
Dari meja besar di bagian tengah restoran, Rama melambaikan tangan untuk memanggil mereka.
"Lama amat?" tanya Dinar.
"Supirnya lagi mabok," jawab Ayu yang langsung disambut tawa yang lainnya.
"Enak aja disamain dengan pemabuk!" protes Ivan.
"Cicing! Itu, makanan kita udah datang!" hardik Dinar yang sontak membuat Ivan terdiam.
(cicing = diam)
Kesebelas orang itu makan sambil bergurau tanpa henti.
Sesekali tatapan Ayu bersirobok dengan Winda. Kedua perempuan itu masih tampak canggung untuk memulai obrolan.
Berbeda dengan ketiga perempuan lainnya, mereka sesekali menimpali omongan Winda, bila kekasih Rama itu turut menyandai Ivan dan Ary.
Hal itu rupanya tidak luput dari perhatian Zein. Saat pandangannya bertemu dengan Rama, Zein memberi kode untuk meminta Rama ikut dengannya.
"Masih belum bisa akur, ya?" tanya Zein sambil mencuci tangan di wastafel.
"Ho oh, bingung aku. Udah nggak tahu lagi mesti gimana agar mereka bisa temenan," jawab Rama dari dalam toilet.
Pria berpenampilan rapi itu ke luar dan ikut mencuci tangan di sebelah Zein.
"Coba minta tolong sama Mbak Dinar," usul Zein.
"Udah. Kata Dinar, dia sama Tia udah beberapa kali nasehatin Ayu. Tapi ya, gitu. Tiap ketemu Winda, Ayu pasti menghindar," sahut Rama.
Zein terdiam sesaat, mencoba memikirkan cara agar Ayu bisa menerima Winda.
Setelah selesai makan siang, mereka beramai-ramai masuk ke wahana bermain di mall tersebut.
Kesebelas orang dewasa itu mendadak berubah menjadi anak kecil. Gelak tawa mereka menghiasi hari Sabtu yang ceria. Secerah hati Triska yang sedang bahagia.
Malam harinya, mereka yang sudah kelelahan bermain, akhirnya memutuskan untuk pulang dan beristirahat.
Ary yang kali ini menjadi supir, susah payah menahan rasa iri saat kedua pasangan itu tampak sangat mesra.
Di kursi tengah, Zein tampak sedang berbincang dengan Triska sambil terus mengusap punggung tangan kekasihnya itu. Sementara Dinar yang duduk di sebelah kiri Triska, sudah tertidur lelap.
Di kursi belakang, sesekali terdengar jeritan Tia yang dicandai Ivan. Tak peduli sang supir yang merengut.
"Kita pacaran aja, yuk, Mbak? Kesel aku lihat mereka," keluh Ary yang disambut tawa Ayu.
Perempuan berwajah manis yang duduk di sebelah kirinya itu memutar tubuhnya hingga bisa berhadapan dengan Ary.
"Maaf, Ry. Tapi mbak ini sukanya dengan pria yang sudah matang. Bukan sama brondong kayak kamu," sahut Ayu sebelum melanjutkan tawa.
Ary mendengkus kesal. Bertambah senewen karena yang lainnya juga ikut menertawakannya.
Sesampainya di rumah, ternyata Satya dan Chandra sudah lebih dulu sampai. Mereka duduk di kursi teras, dan langsung berdiri saat melihat mobil yang dikemudikan Ary masuk ke pekarangan rumah.
"Rama ke mana?" tanya Zein.
"Nganterin mbak Winda ke rumahnya," jawab Satya.
"Kenapa kalian nggak langsung masuk?" tanya Dinar sambil membuka pintu.
Belum sempat Satya dan Chandra menjawab, Dinar telah terlebih dahulu berteriak. Perempuan dewasa itu menutup mulutnya dengan tangan sambil mundur selangkah.
Zein bergerak maju melewati tubuh Dinar yang melemah. Triska dan Satya segera menangkap tubuh Dinar yang menggelosor ke lantai.
Sementara Zein mengomeli sesosok perempuan bergaun cempaka, yang sedang menari dengan riang gembira, diiringi lagu dari televisi yang menayangkan lagu cinta.
"Berhenti, Rima!" hardik Zein.
Sosok hantu itu berhenti menari. Membalikkan tubuh dan jalan mendekati sahabatnya yang sedang bersedekap.
Rima tak lupa untuk melambaikan tangan pada teman-temannya yang terperangah di belakang Zein.