Pagi hari menyapa hari pertama Zein bekerja di kantor pusat. Om Hermawan, pemilik perusahaan yang merupakan sahabat baik ayahnya Zein, menyambut kedatangan anak angkatnya itu dengan rapat pertama. Setelahnya baru dilanjutkan dengan acara makan siang bersama di ruang rapat.
Tammy, anak kedua Om Hermawan, mendekati Zein yang sedang berbincang dengan Adi dan rekan-rekan lainnya.
"Zein," panggil Tammy.
Zein langsung menghampiri kakak angkatnya itu dengan langkah kaki yang lebar.
"Gimana, suka nggak dengan ruangan kerja kamu?" tanya Tammy.
"Suka, Mbak. Pasti lukisannya itu hasil karya Mbak, kan," sahut Zein.
"Iya. Khusus dibuat untuk menyambut kamu. Syukurlah, kalau kamu suka." Tammy memandangi wajah adik angkatnya itu dengan senyuman dikulum.
"Oh, iya, kamu dapat salam dari mbak Laras. Katanya, kalau kamu jadi nikah dia mau ngusahain buat pulang," lanjut Tammy.
Zein hanya tersenyum tipis saat mendengar nama Laras disebut. Tidak semua orang tahu bahwa dulu dia dan Laras pernah menjalin kasih.
Akan tetapi, hubungan itu harus kandas karena Laras lebih memilih pria lain untuk menjadi suaminya. Zein yang terluka hati, sempat pergi ke Singapura selama beberapa tahun. Sebelum akhirnya kembali lagi ke Indonesia.
Zein menutup rapat-rapat kisah cintanya dengan Laras. Bahkan Tammy pun tidak dia beri tahu. Hanya Adi dan keluarga inti Zein yang tahu. Itu pun karena Laras pernah mendatangi Zein, sebelum pria itu pergi ke Singapura.
Zein juga belum menceritakan hal itu pada Triska. Dia tidak mau calon istrinya itu berburuk sangka. Biar itu menjadi rahasia yang dikubur dalam hati.
Temaram senja yang hangat menyambut Zein saat dia jalan ke tempat parkir. Setelah membuka kunci pintu mobil, pria berambut cepak itu menyalakan mesin dan membiarkan pintu terbuka lebar, untuk mengeluarkan hawa pengap dari dalam mobil.
Tin, tin.
Suara klakson dan motor yang mendekat, membuat Zein menoleh.
"Aku duluan, ya!" teriak Adi sambil melambaikan tangan.
Zein mengangguk sambil balas melambai. Memandangi punggung sahabat karibnya itu, sampai menghilang ditelan banyaknya kendaraan di jalan raya.
Kemudian, dia masuk ke mobil dan menutup pintu. Memasang sabuk pengaman dan mulai menjalankan mobil keluar parkiran.
Kemacetan Ibu Kota yang seolah tidak ada habisnya ini, membuat Zein harus bisa lebih bersabar. Lalu lintas yang semrawut dan menyebabkan kemacetan panjang, membuat dirinya terus mengumpat.
Dalam hati Zein berjanji, akan mencari apartemen lain yang lokasinya lebih dekat dengan kantor. Namun, untuk sementara waktu dia memang harus bersabar.
Bisa mendapatkan tempat tinggal gratis itu harus disyukuri. Bagaimana pun, Om Hermawan telah sangat baik meminjamkan apartemen itu untuknya.
Sesampainya di unitnya, Zein segera membersihkan diri dan melakukan salat tiga rakaat. Memohon diberikan kesabaran dalam menjalani kehidupan. Serta memanjatkan doa-doa yang baik untuk dirinya keluarga, kekasih hati, dan orang-orang baik di sekelilingnya.
Tepat setelah dia selesai salat, ponselnya berdering. Melihat nama Triska di layar ponsel, Zein sontak tersenyum dan langsung mengangkat telepon.
"Assalamualaikum, Cantik," sapa Zein dengan hangat.
"Waalaikumsalam, Abang. Lagi ngapain?" tanya Triska.
"Lagi duduk di lantai sambil mandangin foto kita."
Triska tertawa dengan suara empuk yang sangat dirindukan Zein.
"Udah makan?"
"Tadi sore sih udah. Habis ini mau manasin lauk sama nasi aja. Tadi dikasih nasi box sama mbak Tammy."
"Coba tebak, aku lagi makan apa sekarang?"
"Ehm, ati ampela balado?"
"Loh, kok Abang bisa tahu? Curiga di sini dipasangin cctv nih."
Zein tertawa mendengar ucapan Triska. Matanya melirik ke kanan dan bertemu pandang dengan mata bulat milik Rima.
Setelah telepon ditutup, Zein menoleh pada hantu perempuan yang sedang duduk di sofa sambil menonton televisi.
Pria berkulit kuning langsat itu beranjak mendekat dan duduk di sebelah kiri Rima.
"Makasih, ya. Udah bantu ngelihatin Triska tadi," ucap Zein seraya tersenyum tulus.
"Sami-sami, Bang. Apa besok aku ke sana lagi?" tanya Rima.
"Nggak usah. Mending kamu ngelihatin hantu di lantai tiga itu," seloroh Zein yang langsung dibalas Rima dengan bibir mencebik.
***
Akhirnya sampai juga di penghujung minggu. Tepat pukul 7 malam Zein dan Adi berangkat ke Bandung.
Adi menyetir dengan bersiul lagu cinta. Seakan meledak Zein yang tengah menelepon Triska.
"Nggak apa-apa nih, kalau besok mobil ini kupakai?" tanya Adi pada Zein yang membalasnya dengan anggukan.
"Kamu lebih butuh mobil buat menjenguk Elang di sana. Aku kan nggak ke mana-mana. Mending menghabiskan waktu dengan sayang-sayangan," jawab Zein.
"Beuh! Ngeledek," sahut Adi.
Zein tertawa mendengar ucapan sahabatnya itu. Dia sangat paham, saat ini Adi sedang bimbang.
Pria di sebelahnya itu memang sangat pandai menutupi kegelisahan hati. Namun, Zein yang sudah sangat mengenal pribadi Adi, cukup memahami isi hati sahabatnya itu.
Setelah menempuh perjalanan selama dua jam lebih, akhirnya mereka tiba di rumah kontrakan Triska.
Semua penghuni menyambut kedatangan kedua pria itu dengan sukacita. Selanjutnya mereka menghabiskan waktu dengan mengobrol hingga larut malam.
"Kamu tidur di sini aja, Sayang. Kita usir aja Adi, biar dia tidur di ruang tamu," seloroh Zein sambil menarik tangan Triska yang sedang merapikan tempat tidur.
"Hadeuh! Meni tega!" desis Adi.
Zein tidak peduli dengan omelan pria tinggi besar itu. Dia merengkuh pinggang Triska dan menarik perempuan itu untuk duduk di pangkuannya.
Adi bergegas keluar dan memberikan waktu pada pasangan itu untuk mencurahkan kerinduan. Dia kembali lagi ke ruang tengah dan ikut menonton televisi bersama Ary, Satya dan Chandra. Sedangkan penghuni rumah lainnya telah beristirahat di kamar masing-masing.
"Kangen," ucap Zein lembut di telinga kanan Triska.
Perempuan itu tersenyum sambil membelai wajah pria itu dengan penuh perasaan. Tidak menghindar saat Zein memajukan wajah dan menciumnya dengan sedikit rakus.
Tangan pria itu mulai bergerak menari di tubuh sang kekasih yang memejamkan mata. Mereka terhanyut dalam pusaran rasa yang menguasai hati.
Tiba-tiba Zein berhenti dan menjauhkan wajahnya sedikit. Menatap mata Triska yang perlahan membuka dengan sorot mata sayu.
Tangan pria itu bergerak mengusap rambut panjang kekasihnya sambil berusaha menenangkan jantung yang berdegup kencang.
"Aduh, jangan bergerak dulu," ujar Zein saat Triska hendak turun dari pangkuannya.
"Kenapa?" tanya Triska dengan bingung.
"Ini yang bangun dari tadi belum rebah lagi," jawab Zein yang langsung mendapatkan cubitan di lengan.
"Apaan sih, Bang!" desis Triska sembari merengut.
"Wajar atuhlah, Sayang. Aku kan pria normal. Ketemu yang bening begini, ya, pasti bangun dia."
Zein kembali mengaduh saat mendapatkan cubitan kedua di perutnya.
"m***m!" ujar Triska.
"Ganteng!"
"Nyebelin!"
"Tapi ngangenin!"
Sejenak mereka saling tatap, sebelum akhirnya tawa keduanya terdengar sampai ke ruang tengah rumah.