Elisha menatap uap panas dari cangkir espresso yang dia pesan, yang lambat laun kian menipis. Gala meminta Elisha menunggu cowok itu menyelesaikan pekerjaannya, dan Elisha masih cukup sabar, meski sudah lima belas menit berlalu.
Baiklah.
Elisha turut bersalah karena tidak menghubungi Gala secara resmi untuk membicarakan kontrak dan bersikap tidak profesional. Namun, memangnya Elisha bisa apa jika pihak manajemen Gala selalu menolak niat baik bluebox? Pada akhirnya Elisha manut saja apa kata pak Bram dan menghampiri Gala secara pribadi. Elisha menghela napas dan menyesap kopi dinginnya hingga tandas. Rasanya sepahit hidup Elisha, memang.
Tiga puluh menit. Gala masih mengetik dan menatap layar laptopnya dengan begitu fokus. Gerakan tangannya yang cepat dan suara ketukan keyboard membuat sudut mata Elisha berkedut.
Empat puluh lima menit.
Kaki Elisha mulai kesemutan. Begitu pula dengan perutnya yang keroncongan. Dia bahkan melewatkan jam makan siangnya demi bertemu Gala lebih cepat.
Satu jam.
Elisha sudah tidak tahan lagi.
Meski begitu, Elisha masih berusaha untuk bersikap ramah dan mengulas senyum tipis. “Permisi, Pak Gala. Jika Anda masih lama, saya izin untuk pergi lebih dulu. Bagaimana jika kita membuat janji temu lain kali?”
Krik.
Gala tidak menjawab. Masih sibuk memasukkan urutan kode-kode ke dalam laptopnya. Elisha masih berusaha merebut perhatian Gala dengan mengibaskan tangan. Masih tidak berhasil.
Dengan kesabaran yang sudah berada di ujung batas, Elisha berujar. “Pak Gala, saya harus ke kantor. Boleh minta nomor ponselnya agar bisa kami hubungi kembali?”
Ponsel di sebelah laptop Gala tiba-tiba berdering. Tanpa menunggu lama, Gala segera mengalihkan perhatiannya dari layar laptop dan mengangkat panggilan. Dia menyandarkan punggung tanpa repot-repot mencari privasi.
“Gue ke sana sekarang,” balas Gala, kemudian menutup ponselnya.
Seolah tidak menyadari keberadaan Elisha yang masih menunggu dengan tenang di depannya, Gala kemudian menutup laptop, memakan sisa kue sus-nya dan meneguk kopinya hingga tandas. Gala hendak buru-buru pergi sebelum Elisha menahannya dengan berujar,
“Pak Gala mau ke mana?”
Kali ini tatapan Gala akhirnya bertemu dengan Elisha. Dia menepuk keningnya. “Astaga, gue sampai lupa. Sorry karena lo harus nunggu lama.” Dia memang berujar kata maaf, tetapi raut wajahnya sama sekali tidak menunjukkan penyesalan. Dia kemudian menepuk pundak Elisha. “Kapan-kapan kita ketemu lagi. Oke? Gue lagi sibuk banget sekarang.”
Mulut Elisha setengah terbuka hendak berujar, tetapi Gala sudah lebih dulu pergi dari hadapan Elisha, setengah berlari. Melihat tingkah tidak sopan Gala, Elisha hanya mampu membuka mulutnya tak percaya.
Bukan main.
Baru kali ini Elisha bertemu dengan klien paling enggak sopan di dunia. Emangnya dia anggap Elisha ini apa? Obat nyamuk? Elisha berdiri dan membanting berkas dokumennya ke atas meja, meluapkan kekesalan yang sudah melewati batasnya. Kemudian, yang membuat Elisha lebih kesal lagi adalah, bahwa dia dicegat oleh pegawai kafe dan disuruh untuk membayarkan pesanan Gala.
Wah. Elisha bahkan sudah tidak mampu berkata-kata. Saat itulah Elisha tahu bahwa menghadapi seorang Gala mungkin akan menjadi akhir dari hidup Elisha.
Bukankah cowok itu harus diberi pelajaran agar tidak bersikap seenaknya?
Tiba-tiba, sebuah kemungkinan terlintas di kepala Elisha. Dia melihat Gala yang sedang memasuki mobilnya dari balik kaca jendela.
Gala, sengaja mengabaikan Elisha bukan karena ingin balas dendam kan? Jangan bilang kalau Gala cuma pura-pura lupa kejadian malam itu. Karena jika ya, maka Elisha tidak tahu lagi, nasibnya di masa depan akan seperti apa.
Haruskah Elisha mundur saja dari project ini dan merelakan kenaikan jabatannya?
***
“Nggak batal kok, cuma diundur aja.” Vara buru-buru berujar untuk menghentikan keterkejutan Ganesh. Senyum Vara terkulum. Ekspresi kaget Ganesh sebenarnya mood banget, sih. Cuma Vara enggak tega kalau harus membuatnya terkejut terlalu lama. "Rahma mau nikah dulu, jadi terpaksa tanggal pernikahan kita yang mundur. Kamu enggak keberatan kan? Gimana kalau tanggal 28 Mei? Kita bicarain lagi sama keluarga besar baiknya gimana."
Raut wajah Ganesh berangsur-angsur membaik. Begitu pula dengan bahunya yang seketika merendah. "Kamu bikin aku takut," ujar Ganesh. Bibirnya kemudian membentuk senyuman, tipis sekali. "Ya enggak apa-apa kalau diundur. Yang penting kamu sama Rahma bisa saling menghadiri pernikahan satu sama lain."
"Sudah kuduga. Kamu emang yang terbaik sih." Vara mengangguk dengan semangat. Senyumnya terlukis lebar. Dia meraih punggung tangan Ganesh dan menggenggamnya erat. "Sebenernya aku pengin nikah duluan sama kamu, jadi diajukan tanggalnya. Tapi kalau begitu, persiapannya jadi kurang mateng. Aku nggak mau pernikahan impianku gagal total."
Ganesh tersenyum tipis. Dia mencubit hidung Vara gemas. "Iya deh, yang anak bungsu. Pengin nikahannya kelihatan lebih wah dari kakak-kakaknya."
"Iya dong. Buat apa kerja banting tulang sampai tipes kalau duitnya enggak dipakai buat pesta pernikahan mewah." Vara tersenyum lebar. Dia mengedipkan mata jail. "Oh iya. Abis ini kita mampir ke kantormu ya. Kangen sama Bang Sana, Bang Rokhim dan lainnya. Sekalian mau tanya baby Ganeshku ngapain aja selama aku enggak ada."
"Ngeri banget." Ganesh pura-pura bergidik. "Kamu punya mata-mata di mana-mana."
"Sebenernya enggak cuma mereka aja sih mata-mataku," balas Vara, dengan nada misterius. Begitu pula dengan tatapan matanya yang menyorot sang kekasih lekat. "Jadi kalau semisal kamu mau bungkam mereka, aku masih punya cadangan informasi lain."
Bukannya merasa takut, Ganesh justru tertawa. Tangan besarnya kemudian terulur untuk mengacak puncak kepala Vara gemas.
Vara memang orangnya pencemburu, dan Ganesh sudah paham hal itu luar dalam. Bisa bertahan hubungan jarak jauh dengan Ganesh saja sudah merupakan hal yang sangat luar biasa bagi Vara.
Tentu saja, ada alasan mengapa Vara begitu protektif pada Ganesh. Vara sangat membenci perselingkuhan, sebab dia sudah mengalami sendiri bagaimana rasanya hidup di keluarga broken home. Dan yang lebih menyedihkan lagi, Vara sendiri yang memergoki ayahnya berselingkuh.
***
“Mas Dana punya gambaran nggak? Pengin konsep prewed kayak gimana?” Rahma bertanya pada Dana yang sedang makan masakan Rahma dengan lahap. “Mau yang tradisional atau modern? Atau mau gabungin kedua-nya?”
“Kalau kamu penginnya gimana?” Dana justru balik bertanya.
Senyum Rahma seketika terkembang lebar. “Kalau aku lebih suka konsep modern sih. Pakai gaun pengantin cantik yang ekornya panjang. Tapi fotonya outdoor kayak di pantai atau gunung gitu, biar keliatan fresh. Menurut Mas Dana gimana?”
“Lebih enakan di indoor sih, biar enggak ribet,” balas Dana, santai. “Tapi kalau kamu mau di outdoor ya enggak apa-apa. Aku nggak masalah sih. Asal tempatnya enggak ekstrem kayak gurun sahara.”
“Beneran?” Rahma antusias. “Mas Dana bisa naik kuda nggak? Tiba-tiba aku pengin konsep foto di peternakan gitu, ala-ala cowboy.”
Rahma ingin melihat Dana seperti gambaran pangeran berkuda putih yang selalu ada dalam fantasinya. Dia ingin Dana menggunakan tuksedo, menunggangi kuda putih besar dengan gagah berani, kemudian mengulurkan tangannya dan membawa Rahma naik. Kemudian mereka akan mengemudi pelan, di bawah bunga-bunga sakura yang sedang bermekaran.
“Maaf, Rahma. Tapi aku punya trauma sama kuda. Waktu kecil pernah diinjek kuda sampai kakiku patah.” Dana berujar dengan nada menyesal. Tangannya kemudian terulur dan mengusap puncak kepala Rahma penuh sayang. “Aku akan nurut apapun konsep kamu, kecuali kuda. Oke?”
Meski kecewa, Rahma tetap menganggukkan kepala. Salah satu impian terbesar Rahma tentang pangeran berkuda putih, kini harus dia relakan selamanya. Rahma tahu jika dirinya tidak seharusnya bersikap egois. Tapi tidak bisakah Dana mengusir traumanya demi Rahma? Untuk menunjukkan bahwa pria itu mencintainya dan rela melakukan apa pun?