Isvara mengambil napas dalam-dalam, merasakan kesegaran udara di gunung Sewu di pagi hari. Vara sengaja mengambil penerbangan paling pagi agar bisa sampai di sini tidak terlalu siang, sehingga dia masih bisa merasakan hangatnya sinar matahari yang menyentuh kulitnya lembut. Vara sudah muak dengan polusi udara di kota Jakarta, sekaligus macetnya yang luar biasa. Berada di kaki gunung Sewu membuat Vara seperti sedang healing. Apalagi, dia akan betemu Ganesh yang menggemaskan. Vara sepertinya tidak akan menyesal dengan keputusanya yang akan tinggal di sini setelah dia menikah dengan Ganesh.
Sesorang melambaikan tangannya ke arah Vara. Setelah tatapan mereka bertemu, sosok itu setengah berlari dan merentangkan tangan untuk membawa Vara ke dalam pelukan. Tawa renyah keduanya kemudian terdengar. Tawa bahagia yang dipenuhi dengan cinta dan kerinduan mendalam.
“Aku kangen banget loh sama kamu. Udah berapa lama nggak ketemu langsung? Dua bulan?” Ganesh berujar setelah melepaskan pelukannya. Dia mengulurkan tangan untuk meraih kedua pipi Vara dan mencubitnya gemas. Dia kemudian melirik koper besar yang dibawa Vara. “Kamu mau di sini berapa hari? Kok bawaannya banyak banget?”
Senyum Vara terlukis lebar. Kini gantian dia yang mencubit kedua pipi Ganesh gemas. “Tiga hari.”
Ganesh mengangguk. “Oke. Aku bakal cariin homestay yang murah tapi bagus buat kamu.” Dia kemudian meraih koper Vara dan membawanya.
Vara yang mendengar balasan Ganesh memutar bola matanya. Mereka sudah lama berpacaran, tapi Ganesh tidak mau skinsip selain pelukan, pegangan tangan dan ciuman. Iya, Ganesh memang sekolot itu. Pernah satu kali, Vara sengaja melabuhkan tangannya ke balik kaus Ganesh, hanya sedetik, tapi Ganesh langsung ngambek dua hari. Jika Vara bukan orang sabar dan pantang menyerah, mugkin sudah sejak dulu dia putus sama Ganesh. Dan Vara merasa dirinya luar biasa karena bisa bertahan dengan Ganesh sampai sejauh ini. LDR, pula.
Mungkin, karena dia sudah terlalu mencintai Ganesh dan tidak mau kehilangan pria itu?
Vara, lupa bagaimana dia bisa jatuh cinta pada Ganesh. Mungkin karena Ganesh memilliki hati seperti malaikat? Ganesh juga punya wajah yang good looking untuk ukuran warga negara Indonesia, meski tidak setampan para ahjussi Korea. Dan yang lebih penting dari itu, Ganesh melindungi Vara dengan caranya sendiri. Bagi Vara, Ganesh adalah sosok laki-laki yang sempurna, meski tidak memenuhi semua kriteria yang pernah Vara tulis sejak SMA. Well, memang kritria Vara saja yang tidak realistis.
Dia pengin calon suami yang mirip sama Lee Min Ho. Itu kan, namanya kebangetan. Kalaupun ketemu, belum tentu dia punya karakter yang baik.
“Aku udah jauh-jauh dari Jakarta, tapi sampai di sini malah disuruh nginep di homestay. Emangnya kamu nggak mau lihat aku bangun tidur setiap hari?” Vara bergelayut manja di lengan Ganesh, sedang dalam perjalanan menuju mobil Ganesh yang terparkir cukup jauh. “Aku bisa masakin sarapan dan belanja ke pasar buat kamu.”
“Kamu boleh di tempatku sampai jam sepuluh malam, abis itu kuantar balik ke home stay,” putus Ganesh akhirnya. Dia menundukkan kepala agar bisa meliihat Vara leluasa. Sebelah tangan Ganesh turun untuk membelai puncak kepala Vara lembut. “Aku nggak tahu apa yang bakal kulakuin sama kamu kalau lebih dari jam sepuluh malam.”
“Kenapa?” Vara melepaskan tangannya dari lengan Ganesh saat mereka sudah sampai di depan mobil pickup Ganesh yang beberapa bagiannya sudah karatan. “Emangnya setelah lewat jam sepuluh kamu berubah jadi monster Yeti? Terus mau nyakar aku?”
Ganesh membukakan pintu di sebelah kemudi, kemudian menaruh koper Vara ke belakang pickup. Dia menatap Vara dengan sorot datar. “Mungkin aku bakal kebablasan dan bercinta sama kamu. Puas?”
Vara tertawa, lebar sekali. Dia sampai memegangi perutnya karena geli. Ini adalah pertama kalinya Ganesh bicara blak-blakan tanpa harus muter-muter dulu. Astaga, Ganesh. Dia mungkin sudah ketularan cara bicara Vara. Iya kan? Tapi jika dipikir-pikir lagi, mana ada cowok yang enggak pernah ngomong jorok? Pasti teman-teman satu tongkrongan Ganesh pernah bicara blak-blakan soal cewek. Iya kan? Kayak, saling berbagi video dua puluh satu plus?
“Padahal aku nggak keberatan bercinta dulu sebelum nikah,” balas Vara, pura-pura sok jago padahal dia belum punya pengalaman sama sekali di atas ranjang. Tak seperti Elisha yang mungkin sudah beberapa kali tidur dengan bossnya untuk naik jabatan.
Ganesh tidak menjawab dan masuk ke bangku kemudi. “Hal penting apa yang mau kamu bicarain? Persiapan pernikahan kita enggak ada masalah kan?"
Vara menyandarkan punggungnya dan menutup pintu. “Nanti aja kalau udah sampai ke rumah kamu, aku jelasin. Enggak enak kalau ngomong di mobil soalnya.”
Karena Ganesh tiba-tiba membahas tentang alasan kedatangannya, Vara jadi kesal sendiri sama Rahma yang curi start buat menikah dulu. Lagian, kenapa mereka berdua bisa menetapkan tanggal yang sama sih? Vara jadi heran sendiri. Padahal kriteria calon suami impian Rahma sama tidak realistisnya dengan Vara. Tapi kenapa, sosok Wardana bisa memenuhi semua kriteria itu?
Sempurna banget kayak dongeng.
Ya, Vara juga tidak menampik kesuksesan Rahma bertemu dengan Dana sebagian besar karena privilege yang dimiliki Rahma. Orang kaya memang biasanya dapat jodoh orang kaya juga, kan? Dana mungkin terlihat sempurna. Namun, tidak ada yang bisa mengukur kedalaman hati manusia.
****
Pak Bram bilang, Gala tidak ada di kantornya. Bukan, Gala memang jarang berada di kantornya, karena ini adalah periode di mana Gala masih bisa bersantai sebelum kerja lembur bagai kuda untuk menyelesaikan project. Karenanya, Elisha diarahkan untuk menemui Gala, lagi-lagi di sebuah kafe di kawasan ibukota.
Kali ini, Elisha sudah mempersiapkan diri dengan baik. Dia sudah melatih argumen yang akan dia gunakan untuk meyakinkan Gala agar mau bekerjasama dengan Bluebox.
Elisha sudah memutuskan untuk melupakan kejadian di kelapa, dan fokus pada karir dan masa depannya.
Tepat saat memasuki kafe, Elisha langsung bisa menemukan keberadaan Gala yang sedang duduk di depan komputernya dengan secangkir kopi di sisi kiri. Dia berada di sudut paling pojok, dekat jendela. Sudut itu memang paling menyenangkan. Dia bisa mengamati semua orang yang keluar masuk kafe, sekaligus menatap jalanan di luar jendela, tetapi tak seorang pun yang bisa melirik sesuatu di balik layar laptop Gala.
Setelah mengambil napas beberapa kali, Elisha menegakkan punggung dan beranjak menuju meja Gala. Dia berdeham untuk menarik perhatian Gala sebelum berujar. "Permisi. Apa benar ini dengan Bapak Gala?"
Gala mendongak. Dia mengerutkan kening, memiringkan kepala. "Lo bukannya yang di kafe waktu itu?"
Elisha tersenyum kecil dan mengangguk. "Izinkan saya untuk memperkenalkan diri secara resmi. Nama saya Karenina Elisha. Saya ke sini sebagai perwakilan dari perusahaan investasi Bluebox." Elisha mengambil dompetnya, mengeluarkan sebuah kartu nama, meminta Gala untuk melihatnya. Sebuah sikap profesional yang selalu Elisha tunjukkan di depan klien-kliennya. "Tujuan saya datang kemari untuk memberikan sebuah penawaran kepada Anda. Apa saya boleh duduk?"
"Duduk aja," balas Gala, ramah. Dia meletakkan kartu nama Elisha setelah melihatnya singkat. "Gue nggak terlalu suka sama sesuatu yang formal, sih. Jadi santai aja. Lagian lo ke sini juga tanpa pemberitahuan."
"Saya minta maaf atas kunjungan mendadak ini. Semua saya lakukan untuk menyesuaikan diri dengan kesibukan Anda." Elisha masih bisa mengendalikan diri meski Gala bersikap tidak sopan. Tahan saja. Menghadapi bocah umur dua lima memang sedikit menyusahkan. "Kalau Pak Gala tidak keberatan, saya ingin mulai menjelaskan tentang detail penawaran kami."
"Pesen kopi aja dulu," balas Gala tenang. Dia mengangkat tangannya dan seorang pramusaji datang menghampiri mereka. "Lo suka kopi apa?"
"Espresso tiga shot," balas Elisha. Pada akhirnya mengikuti permainan Gala.
***
Setelah menaruh barang-barang Vara ke homestay, mereka kemudian mampir ke sebuah restoran yang cukup terkenal di kaki gunung sewu. Konsep restoran itu menyatu dengan alam. Ada banyak saung yang berdiri menghadap pematang sawah yang menampilkan pemandangan hijau padi muda yang baru saja ditanam. Ada sebuah aliran sungai kecil yang menimbulkan suara gemericik, terasa menenangkan.
Vara memesan gurame goreng dengan sambal terasi, juga ayam bakar arang dan es lemon tea. Sementara Ganesh hanya memesan seporsi nasi dan lele goreng. Minumnya juga hanya air putih. Ganesh rupanya bukan tipe cowok yang suka asal trabas setiap menu. Dia bukan hulk berbadan besar.
“Kok kamu bisa sih, jadi Jagawana dengan porsi makan yang dikit banget?” Vara berujar dengan nada penasaran. Dia mulai menyuir ayam bakarnya. “Pas kita lagi makan berdua, pasti porsi makan kamu dikit banget. Kamu nggak lagi hemat kan?”
“Aku tadi pagi udah sarapan banyak, jadi siang ini sedikit,” balas Ganesh tenang. “Aku juga lagi jaga bentuk tubuh biar tetep fit.”
Tatapan Vara kemudian turun ke perut Ganesh tanpa tahu malu, begitu pula dengan senyumnya yang tampak menggoda. “Woo, aku jadi penasaran sama perut kamu. Six pack nggak ya? Boleh intip dikit?” Vara mengedipkan sebelah matanya jail. “Aku janji nggak bakal kecewa kalau bentuknya enggak semacho ahjussi-ahjussi Korea.”
Ganesh langsung mengalihkan tatapan. Dia sepertinya malu dengan godaan yang Vara lontarkan. “Jadi, apa yang mau kamu bicarain? Sampai jauh-jauh ke sini?”
“Kamu yakin mau denger sebelum makananmu habis?” sebelah alis Vara terangkat naik. Dia kemudian menyesap es teh lemonnya. “Aku takutnya kamu jadi enggak doyan makan.”
Ganesh menatap sang kekasih lekat-lekat. Nada suaranya terdengar tegas. “Selama itu bukan kabar kalau kamu tiba-tiba mau batalin pernikahan kita, aku nggak akan kenapa-napa.”
“Ya, agak mirip-mirip sih,” balas Vara santai. Dia mengulum jari-jarinya yang penuh dengan sambal dan bumbu. Dia kemudian menyeringai. “Jadi, mau denger sekarang atau nanti?”
Ganesh meletakkan sendoknya. “Sekarang aja. Perutku tegang banget soalnya, jadi enggak bisa makan.”
“Oke.” Vara tersenyum tipis. Dia kemudian melipat tangannya ke atas meja dan menatap sang kekasih lekat-lekat. “Kita nggak jadi nikah tanggal dua puluh delapan April.”
Mata Ganesh seketika membelalak tak percaya. Raut terkejut itu nyata dalam ekspresinya. “Kenapa?”