Berulang kali Vara menggoda Ganesh untuk melakukan hal lebih dari sekadar ciuman, tetapi tameng seorang Ganesh lebih kuat dari pada lapisan titanium. Padahal posisi mereka sekarang hanya berdua di ruang tamu indekos Ganesh.
“Katanya kita mau ke kantorku?” Suara Ganesh terdengar serak. Dia buru-buru bergeser dari posisinya, menjaga jarak aman. “Udah mau jam empat sore. Mereka pasti udah siap-siap balik. Aku udah bilang kalau kamu mau mampir.”
Vara tersenyum manis. Dia mengelap sudut bibirnya yang masih basah dengan punggung tangan, sengaja melayangkan tatapan menggoda. Salah satu hal yang membuat hubungan Vara dan Ganesh awet adalah karena cowok itu tidak pernah melewati batas-batas yang sudah menjadi prinsipnya. Sudah tidak terhitung berapa banyak Vara menguji, tapi Ganesh tak pernah goyah.
Ganesh adalah satu-satunya cowok yang memenuhi kriteria untuk dinikahi. Dia memenuhi delapan puluh persen standar yang ditetapkan Vara sebagai suami. Karenanya, Vara tidak bisa melepaskan Ganesh dengan mudah meski mereka harus menjalani hubungan jarak jauh.
“Oke. Kalau gitu aku siap-siap dulu.” Vara menepuk lengan Ganesh. “Aku nggak mungkin ke sana cuma pakai tanktop aja kan?”
Ganesh mengalihkan tatapan. “Aku tunggu di luar kalau begitu.”
“Kenapa? Gerah ya?” Vara menaik-turunkan alisnya.
“Iya. Gerah banget. Kayaknya nanti malam mau ujan deh.” Ganesh berdiri sambil mengibas-ngibaskan kausnya. Dia menatap Vara sekilas. “Kamu bawa pakaian hangat kan? Udara di sini kalau malam lebih dingin dari Jakarta.”
Vara terkekeh kecil. Cowok itu memang paling bisa mengalihkan pembicaraan. Tapi bukan Vara namanya kalau tidak menjahili Ganesh. Bikin Ganesh salah tingkah adalah hal paling menyenangkan di dunia. “Kalau enggak bawa, gimana? Kamu mau pinjemin punyamu?”
“Aku punya beberapa jaket yang enggak kepake sih. Kamu boleh pinjem kalau mau.” Ganesh bersiap membuka pintu.
“Tapi aku maunya yang ada di balik jaket kamu,” balas Vara, lagi-lagi dengan nada menggoda.
“Berhenti godain aku, Vara.” Kali ini Ganesh menoleh. Raut wajahnya berubah datar, pertanda jika dia sudah tidak ingin membahas ini lagi. dan Vara langsung tahu bahwa sekarang adalah saatnya untuk berhenti. “Kamu tahu kalau bercandaan kamu enggak mempan sama aku.”
Vara tersenyum manis. “Oh iya. Aku sampe lupa. Aku beliin kamu jaket sama sepatu gunung. Pas aku lagi mampir ke mall, enggak sengaja liat. Eh, langsung keinget sama kamu. Nanti malam ambil di home stay-ku ya. Masih di koper kayaknya.”
“Berhenti beliin aku sesuatu setiap kamu dateng ke sini, Vara. Lebih baik uangnya disimpan.” Sorot mata Ganesh berubah dingin. “Sepatu dan jaketku masih bagus, masih bisa dipake. Sampai-sampai lemarinya udah enggak muat lagi.”
“Udah terlanjur aku beli. Gimana dong?” Vara memasang sorot mengiba. “Masa mau dibalikin ke tokonya?”
Vara memang suka membelikan barang-barang mahal pada Ganesh, mulai dari pakaian bermerk, jam tangan, peralatan hiking, hingga sepatu dan jaket. Kadang-kadang, Vara juga membelikan celana dalam dan kolor calvin klein. Ganesh mungkin merasa tidak enak karena tidak bisa memberikan Vara barang dengan nilai serupa, jadi Ganesh selalu memasang wajah tidak suka ketika Vara membelikannya sesuatu. Terutama barang bermerk.
Padahal Vara tidak sedang menghambur-hamburkan uang. Sepatu gunung milik Ganesh memang sudah jelek. Begitu juga dengan warna jaketnya yang mulai memudar. Vara tahu jika Ganesh tidak suka mengeluarkan uang untuk membeli barang yang masih bisa dipakai, tetapi Vara lebih tidak suka saat melihat penampilan calon suaminya lusuh.
“Besok kita ke rumahmu ya, biar aku sendiri yang bilang sama Bunda dan Ayah soal rencana pernikahan kita yang ditunda.” Vara segera mengalihkan pembicaraan, untuk mengusir suasana tidak enak di antara mereka. “Kalau kamu sibuk, aku bisa dateng sendiri. Lagian enggak terlalu jauh.”
“Aku temenin,” balas Ganesh, sambil membuka knop pintu dan bersiap keluar. “Besok aku masuk ke kantor setengah hari aja, abis itu kita bisa pergi.”
“Oke!” Vara tersenyum lebar dan mengacungkan kedua jempolnya. Sayangnya, Ganesh tidak melihat itu dan segera menutup pintu setelah keluar.
***
Rupanya, Elisha tidak bisa menyerahkan masa depannya ke tangan Gala. Elisha tidak rela jika tambahan gajinya akan hangus dan rencana financial freedom-nya berantakan.
Elisha ingat sebuah kutipan drama Korea yang sering dibicarakan Vara. ‘Kalau kamu merasa lelah dan ingin menyerah, maka ingat lagi, betapa sulit kamu memulainya.’
Elisha tak akan membiarkan Gala membuatnya goyah. Karena itulah, di sinilah Elisha berada keesokan harinya. Di depan sebuah coffe shop yang beritakan pak Bram. Sejujurnya Elisha sempat heran dari mana Pak Bram mengetahui semua informasi tentang Gala. Namun, Elisha memilih untuk mengabaikannya. Karena, bertemu Gala lebih penting dari rasa penasarannya.
Tiba di depan coffe shop yang dimaksud Pak Bram, Elisha mengambil napas dalam-dalam dan mengembuskannya perlahan. Dia melakukannya beberapa kali agar benar-benar merasa tenang. Setelahnya, Elisha memasang topeng penuh senyuman palsu, seperti yang biasa dia lakukan untuk menjerat para atasan atau pun klien-kliennya.
Elisha, kamu pasti bisa menaklukkan bocah songong itu. Jangan takut. Yang kamu butuhkan hanya keberanian dan stok kesabaran sedalam palung Mariana. Lupakan kejadian kemarin dan sambut hari baru yang lebih cerah.
"Ngapain berdiri di sini? Nyariin gue?" Gala tiba-tiba muncul dan membuat Elisha tekejut.
Elisha mundur dua langkah, nyaris saja terjatuh dari trotoar jika saja Gala tidak dengan sigap menahan pinggang Elisha. Tubuh mereka saling menempel dan wajah Gala hanya berjarak satu kepalan tangan dari wajah Elisha. Aroma Vanila latte yang manis dan khas bisa dia hirup dari bibir Gala yang sedikit terbuka. Meski usia Gala baru dua puluh lima tahun, tetapi dia memiliki tubuh yang tinggi dan tegap. Bahkan ketika Elisha sudah menggunakan Higheels-nya, tinggi Elisha hanya sampai bibir cowok itu saja.
"Lepas!" Elisha yang tersadar lebih dulu dan menjauhkan diri. Dia berjalan ke samping, menjaga jarak. Elisha benar-benar tak menyangka akan mengalami kejadian yang biasa dialami oleh para tokoh utama di drama genre romansa. Geli rasanya saat membayangkan adegan ini dipadu dengan kelopak bunga sakura yang berguguran dan soundtrack yang mendayu-dayu.
Elisha tidak suka drama romansa. Dia suka film thriller dan zombie pemakan daging. Semakin sadis dan berdarah, maka akan semakin menyenangkan untuk dilihat.
"Nggak ada ucapan terima kasih nih?" Gala memiringkan kepala. Sebelah alisnya terangkat naik.
"Thank you," balas Elisha cepat, dengan nada tidak ikhlas. Namun, sedetik kemudian Elisha mengulas senyum lebar saat ingat dengan misi yang dia bawa. Tepatnya, ini adalah senyum palsu yang tampak manis. "Sebagai ucapan terima kasih, gimana kalau saya traktir... kopi?"
Gala langsung mengangguk tanpa banyak berpikir. "Tapi gue baru aja selesai ngopi. Gimana kalau makan siang?"
Dasar tidak tahu diri. Dan kenapa pula cowok kampret satu ini pakai panggilan lo-gue? Mereka bahkan baru bertemu kali kedua hari ini. Dia juga tidak tampak bersalah setelah meninggalkan Elisha sendirian di kafe waktu itu.
Elisha hanya bisa mengumpat dalam hati. Namun, apa yang terlihat pada ekspresi wajahnya berlainan dengan emosinya. Dia melihat banyak sekali restoran yang berjajar di belakang Gala. "Oke. Gimana kalau ke restoran Jepang di sana?"
Gala menggeleng. "Enggak. Gue lagi pengin makan ayam." Tanpa rasa canggung, Gala menarik tangan Elisha. "Gue tahu resto fast food yang enak. Kita ke sana aja."
Cepat, Elisha menarik tangannya dari genggaman tangan Gala. Dia menatap cowok itu dengan sorot kesal yang tidak ditutup-tutupi. "Emangnya hubungan kita sedekat apa sampai Anda berani pegang tangan saya?"
Gala nyengir tanpa rasa bersalah. Dia mengangkat kedua tangannya ke udara, tanda menyerah. "Oke. Setelah ini gue bakal minta izin dulu kalau mau pegang tangan."
Ekspresi Elisha terlihat penuh keraguan. Dia memiringkan kepala dan menatap Gala lekat. Sumpah. Elisha heran sekali dengan perubahan sikap Gala. Padahal kemarin dia tampak begitu dingin, songong dan arrogant. "Jangan bersikap santai dan nggak sopan juga ke saya. Kita bukan teman."
"Tapi gue udah nganggap lo kayak temen gue sendiri. Gimana dong?" Sebelah alis Gala terangkat naik. Tatapan matanya seolah mengajak bertengkar.
"Tapi saya cuma menganggap kamu sebatas klien. Gimana dong?" Elisha ikut-ikutan menaikkan sebelah alisnya.
"Orang bisa dikatakan berteman setelah apa, menurut lo?" Gala tiba-tiba bertanya dengan nada polos. Mata bulatnya memandang Elisha lekat. "Setelah ngobrol dua kali? Tiga kali? Atau ketika udah ada pernyataan lisan kalau kita berteman?"
Elisha melipat kedua tangannya. Sebelah alis cewek itu terangkat naik. "Saya tipe orang pemilih kalau urusan teman. Bahkan saya tidak menganggap orang-orang yang bekerja dengan saya sebagai teman. Mereka hanya sekadar rekan kerja. Padahal kita bertemu setiap hari. Apalagi dengan Anda yang hanya bertemu dua kali?"
"Ah, jadi lo emang tipe cewek penyendiri, gila kerja dan nggak pernah terlibat one night stand, benar?" Gala mengangguk-angguk. Dia santai sekali seolah apa yang dia katakan adalah hal biasa. "Jadi, gue harus ngapain supaya bisa temenan sama lo?"
Elisha memutar bola mata. Sungguh, Elisha ingin melempar muka Gala pakai tas saking gregetnya. Cowok itu benar-benar... Elisha bahkan sudah kehabisan kata untuk mengumpat. Namun, Elisha harus tetap sabar jika ingin karirnya naik. Dia sudah menghadapi begitu banyak klien yang menyebalkan. Bertemu satu yang seperti Gala tidak akan membuat Elisha gentar. Benar?
Sambil mengulas senyum manis, Elisha berujar kemudian. "Kalau kamu memaksa berteman denganku, maka aku punya satu syarat." Elisha maju satu langkah. Dia mengangkat kepala untuk bisa menatap Gala tepat di mata. Dia bahkan mengubah gaya bicaranya agar rencana ini berjalan lancar. "Asalkan kamu setuju untuk teken kontrak dengan Bluebox."
Mulut Gala setengah terbuka tak percaya. Dia mengerjap beberapa kali. "Wah, gue nggak nyangka banget kalimat itu bakal keluar dari mulut lo." Dia geleng-geleng kepala. "Segininya banget ya mau gue teken kontrak? Seenggaknya basa-basi dulu kek, iyain, pura-pura baik. Nanti kalau kelihatannya gue udah mulai luluh, baru bicarain kontrak pelan-pelan. Lah ini, belum apa-apa udah ngegas."
Elisha pasti harus punya kesabaran seluas jagat raya untuk menghadapi Gala. Benar kan?
"Kalau Anda enggak mau, ya sudah. Saya enggak maksa," balas Elisha, penuh penekanan dalam setiap suku katanya. Dia juga sengaja mengubah gaya bicaranya menjadi formal. Dia mengulas senyum palsu kemudian. "Saya tidak suka berbasa-basi, karena tujuan saya bertemu dengan Anda adalah masalah kontrak."
Gala tiba-tiba terkekeh. Random sekali. Matanya yang bulat kini menyipit seperti bulan sabit. Dia kemudian memiringkan kepala dan menatap Elisha lekat-lekat. "Gue bakal pikirin nanti. Sekarang kita makan dulu, oke?"