12. Kalau Kamu Dewasa, Kamu Enggak Perlu Tanggung Jawab.

1451 Words
Apa yang sudah Elisha lakukan semalam sampai dia bangun di hotel dengan keadaan telanjang? Kepala Elisha mendadak berdenging. Dia mencoba mengingat ssetiap jengkal kejadian yang dia alami semalam, tetapi otaknya terasa beku. Sebuah pergerakan di sebelahnya membuat Elisha menoleh. Sosok yang menyembul dari balik selimut kemudian membuat bola mata Elisha nyaris keluar dari rongganya. Elisha refleks menarik selimut hingga leher. Tangannya mendadak bergetar. Tidak salah lagi. Makhluk yang bertelanjang d**a di balik selimut itu adalah Gala. Iya. Birendra Loka Gala yang freak, songong, nggak sopan dan tingkahnya kayak bocah itu. Bagaimana bisa dia? Apa yang terjadi semalam? Kenapa Elisha tidak bisa mengingatnya sama sekali? Elisha tidak bisa berkata-kata. Mulutnya mendadak kaku. Jantung Elisha berdetak dua kali lebih keras. Kepalanya mendadak berdenging menyakitkan. Wajah Elisha berubah pucap pasi. Mati-matian dia menyangkal dan mencubiti pipinya, memastikan bahwa ini bukan kenyataan Nggak mungkin. Elisha nggak mungkin tidur bareng Gala, kan? Bahkan dalam keadaan semabok apa pun, Elisha pasti pilih-pilih cowok buat diajak tidur, bukan bocah ingusan yang usianya empat tahun di bawah Elisha! Kecuali pingsan, Elisha pasti ingat apa yang terjadi dengannya meski mabuk berat. Elisha hanya ingat bertemu dengan pria asing di bar malam itu. Dia bahkan tidak melihat Gala. Jadi, bagaimana bisa? Gala mengerjapkan mata dan tatapan mereka bertemu. Sambil mengucek sudut mata dan merenggangkan tangan, Gala tersenyum lebar dan berujar dengan nada serak manis kemudian, “Kamu udah bangun? Makasih karena enggak langsung kabur dan ninggalin aku di ranjang ini sendirian.” Kemudian, tanpa tahu malu dan rasa bersalah, Gala bangkit dari posisi berbaringnya dan duduk sambil bersandar di kepala ranjang, menampilkan otot-otot perutnya yang keras di tempat yang pas. Cowok itu terkekeh. “Kamu kayak lagi lihat hantu aja. Pucet banget.” Dia memiringkan kepala dan mengulas senyum menawan. “Kamu enggak lupa sama kejadian semalam, kan? Aku bakal sakit hati kalau kamu lupa.” Elisha menampar pipinya sendiri dengan keras, berharap jika apa yang dia alami hanya mimpi. Namun, yang Elisha rasakan kemudian adalah sensasi terbakar di lapisan terluar kulitnya, menandakan bahwa Elisha harus segera sadar diri dan menghadapi kenyataan di depannya. Elisha memejamkan mata sejenak, berusaha mengendalikan diri. Tarik napas, embuskan. Elisha harus bisa tetap bersikap dewasa, apa pun keadaannya. Dia tak boleh terlihat menyedihkan di depan Gala, layaknya seorang gadis yang baru saja diambil keperawanannya. Benar. Elisha bisa menghadapi ini dan mengusir Gala dari hidupnya. “Sorry, tapi gue emang enggak inget sama sekali,” ujar Elisha kemudian, dengan nada sedingin es. Sorot matanya begitu tajam menghunus Gala. “Apa pun yang terjadi semalam, lupain aja. Dan anggep enggak pernah ada yang terjadi di antara kita. Meskipun lo masih bocah, tapi gue harap lo bisa bersikap dewasa buat menyikapi masalah ini.” “Aku bakal tanggung jawab,” balas Gala, dengan nada semanis gula. Dia memiringkan kepala. Bibirnya mengulas seringai jail. “Gimana kalau kita nikah aja? Aku nggak keberatan punya istri kayak kamu.” Elisha tidak tahan lagi dan melemparkan bantal ke muka Gala yang songong itu. “Udah gue bilang jangan bersikap kayak bocah!” Pertahanan Elisha mulai runtuh. Dadanya naik turun karena amarah. Kali ini Elisha memukuli cowok itu dengan guling, bertubi-tubi untuk mengeluarkan emosinya. “Lo pikir gue sudi nikah sama lo? Lo pikir nikah itu buat bercandaan? Gue bukan gadis perawan yang bakal nangis darah karena sebuah hubungan semalam sama bocah freak kayak lo!” “Terus aku harus gimana?” Gala menghalangi pukulan Elisha dengan lengannya. “Bukannya kalau udah dewasa itu harus tanggung jawab sama apa yang udah dilakuin?” “Enyah dari hadapan gue, sialan!” Elisha murka. Dia menggunakan kakinya untuk menendang Gala membabi buta. “Gue nggak peduli lagi sama kontrak sialan itu selama lo menyingkir dari hidup gue! Jangan pernah muncul lagi atau gue bakal bunuh lo di tempat, enggak peduli kalau harus dipenjara!” “Kenapa lo marah banget padahal ini bukan pertama kalinya?” Gala berhasil menahan gebukan Elisha dan mencengkeram pergelangan tangannya. Kedua pasang mata mereka bertemu. Gala sudah menanggalkan sikap manisnya. “Kenapa gue harus enyah dari hadapan lo seolah-olah gue hama?” “Lepasin!” Elisha berusaha menarik tangannya. Mata Elisha sudah memerah akibat kemarahan dan emosi yang mengguncang jiwanya. “Gue bilang lepasin, bocah sialan!” “Berhenti panggil gue bocah!” kali ini giliran Gala yang terbakar emosi. Dia menyentak tangan Elisha hingga gadis itu terdorong ke belakang. “Cuma karena gue lebih muda dari lo, bukan berarti lo bisa mandang gue rendah dan berbuat seenaknya!” Elisha menarik selimut dan mencengkeramnya erat-erat. Dia mengambil napas dalam-dalam untuk menahan diri agar tangisnya tidak pecah. Elisha tidak boleh kalah. Dia harus menunjukkan pada bocah ini kalau Elisha yang memegang kendali permainan. “Kalau lo emang bukan bocah, keluar dari kamar ini baik-baik. Dan bersikap dewasa seolah nggak pernah terjadi apa-apa,” balas Elisha, dingin, dengan sisa pertahanan setipis lapisan es. “Nggak usah ngerasa bersalah atau bertanggung jawab. Ini semua murni kesalahan kita berdua.” “Oke, fine. Gue pergi.” Gala keluar dari selimut, turun dari ranjang dan berdiri. Dia kemudian memungut pakaiannya yang berceceran di bawah, memakainya dengan santai di depan Elisha. Untungnya, Gala sudah memakai boxer sejak turun dari ranjang, sehingga Elisha tak perlu menodai matanya pagi-pagi. Lagi pula, setelah itu Elisha juga mengalihkan pandangan. “Lo boleh aja anggep kejadian semalam adalah kesalahan, tapi bagi gue, itu adalah sebuah bantuan.” Gala sudah selesai dengan pakaiannya. Dia kemudian menyambar ponselnya di atas nakas. “Semoga ingatan lo cepet pulih, Elisha.” Tepat setelah mengatakan itu, Gala pergi dari kamar itu dengan langkah lebar, menutup pintunya keras. Tepat setelah Gala menghilang, pertahanan diri Elisha pecah dan dia menangis sejadi-jadinya. *** Vara mengunjungi kantor Dear Future Husband di hari Rabu. Dia ingin mengecek sudah sejauh mana persiapan kencan untuk para pasangan terpilih hari Sabtu nanti. Mereka mungkin sudah saling bertukar pesan dan bertemu di luar kantor. Jadi, pertemuan selanjutnya tak akan terlalu canggung dari minggu lalu. “Kita pakai games yang biasa atau kamu punya ide baru?” Vara bertanya pada Mika. “Masih pakai games yang lama, tapi ada sedikit tambahan.” Mika menyerahkan sebuah proposal kegiatan ke depan Vara. “Ini susunan acara yang udah kubuat. Kalau Bu Vara ada tambahan, bisa hubungi saya.” Vara mengangguk. “Oke, kalau begitu aku baca dulu berkasnya.” Setelah Mika keluar, Vara membuka berkas itu dengan saksama. Untuk mendekatkan pasangan, pihak DEAFA akan melakukan games yang dilakukan berpasangan. Mereka akan diuji apakah mereka bisa bekerjasama dengan baik, atau justru bertengkar dan berujung perang. Pihak DEAFA biasanya akan menyewa sebuah vila untuk kegiatan dua hari satu malam. Tentu saja akan ada penjagaan dan peraturan ketat terkait jalannya acara. Nuansanya mungkin akan mengingatkan pada kegiatan organisasi kampus, tetapi minus senioritas dan acara jurit malam. Ah, Vara sungguh menyukai acara outbond seperti ini. Selain gratis, Vara juga bisa sekalian melihat keseruan para pasangan muda yang masih gemes-gemesnya. Kalau beruntung, Vara bisa ikut menyaksikan drama ala-ala sinetron, seperti pasangan yang berpisah di tengah acara, pasangan yang saling memaki dan membuka aib, sampai yang sepakat berganti gandengan. Dulu, Ganesh juga ikutan acara ini karena dijebak temannya. Ganesh dan pasangannya hanya bertahan di ronde ke satu. Kesempatan itu kemudian Vara gunakan untuk mendekati Ganesh, karena Vara sangat tertarik dengan portofolio Ganesh. Selain itu, Vara ingat sekali jika Ganesh adalah jagawana yang menolong Vara saat cedera di gunung sewu. Setelah bicara beberapa kali, ternyata pikiran mereka nyambung. Selalu saja. DEAFA selalu mengingatkan Vara pada Ganesh. Ponsel Vara tiba-tiba berdering. Rupanya panggilan dari Sana, salah satu informan Vara yang selalu mengabarkan soal Ganesh. Dia juga salah satu jagawana di gunung sewu, satu tim dengan Ganesh. “Ada apa Bang?” tanya Vara kemudian. “Ini, Ra. Ganesh udah ngelarang gue buat ngasih tahu ini ke lo, sih. Takutnya lo khawatir.” Suara Sana terdengar agak ragu. Perasaan tidak enak langsung menyergap Vara. “Nggak apa-apa Bang, cerita aja. Apa ada sesuatu yang terjadi sama Ganesh?” “Itu, si Ganesh jatuh dari tebing pas lagi nolongin korban yang terjebak longsor. Tadi malem masuk ruang operasi.” Raut wajah Vara berubah pucat pasi. Tangannya mendadak tremor. Bola mata Vara berair. Vara takut sekali jika sesuatu yang buruk terjadi pada Ganesh. “Terus gimana keadaan Ganesh sekarang?” “Everyting it’s okay. Ganesh udah dipindahin ke ruang inap biasa. Tangan kirinya patah. Dia udah siuman dan ngobrol kayak biasa kok.” Vara memejamkan mata, merasa lega luar biasa. Setidaknya, nyawa Ganesh masih selamat dan cedera-nya tidak terlalu parah. “Makasih udah ngabarin, Bang.” “Sama-sama. Tapi kalau bisa lo jangan datang dulu ya Ra, sampe Ganesh sendiri yang ngabarin lo. Takutnya dia ngamuk,” balas Sana di ujung telepon. “Maaf, tapi aku nggak bisa janji.” Bagaimana bisa, Vara diam saja saat tahu kekasih hatinya terluka?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD