Lagi-lagi, Elisha hanya bisa terpaku.
Bukannya dimarahi karena kemarin tidak masuk tanpa keterangan, Elisha justru dipuji-puji. Awalnya Elisha merasa aneh karena semua anggota tim-nya tiba-tiba menatap Elisha sambil tersenyum cerah dan mengucapkan kata selamat. Ketika sampai di ruangan Pak Bram, Elisha baru mengetahui alasan dan situasi yang sedang dia hadapi.
Kemarin, perwakilan dari pihak Gala datang untuk teken kontrak kerjasama dengan bluebox, dan akan memulai project mereka minggu depan. Elisha langsung ditunjuk sebagai penanggung jawab project ini, sekaligus bekerjasama untuk kesuksesan bluebox dan Galaksi Tech.
Jika pemilik Galaksi Tech bukan Gala, Elisha pasti sudah berteriak kegirangan. Sebab ini pertama kalinya Elisha bergabung secara penuh dalam satu project, dan punya kendali untuk memberikan masukannya terhadap pengembangan produk. Ibaratnya, Elisha diberi kepercayaan penuh oleh perusahaan, untuk menyukseskan salah satu project besar bluebox. Jika semua ini sukses, maka sudah bisa dipastikan jika Elisha akan naik jabatan lebih tinggi.
Sayangnya, Elisha bahkan tidak tahu harus memberi respon seperti apa. Kenapa hal ini justru terjadi setelah apa yang mereka lakukan kemarin di kamar hotel? Gala pasti sengaja, atau dia sudah gila. Elisha jadi bertanya-tanya. Apa perkataan Elisha pagi itu masih kurang jelas? Elisha jelas mengatakan pada Gala untuk menghilang dari hadapannya.
Bisa-bisanya Gala sialan itu, astaga.
Haruskah Elisha menerobos kantor bocah itu dan memukul kepalanya?
“Kerja bagus, Elisha.” Pak Bram menepuk lengan Elisha sambil tersenyum lebar. “Sejak awal, saya sudah yakin kalau kamu bisa dapet project ini. Sekali lagi selamat!” Melihat ada yang aneh dengan ekspresi Elisha, Pak Bram bertanya dengan nada penasaran. “Tapi kenapa kamu kelihatan nggak seneng gitu? Ada masalah?”
Elisha berkedip dua kali, tersadar. Meski dengan emosi yang sedang diaduk-aduk di dalam sana, Elisha memaksakan diri untuk tertawa dan bertepuk tangan. Tidak peduli jika kini raut wajahnya akan tampak aneh. “Nggak ada masalah kok Pak. Saya seneng banget, sumpah.” Suara tawa Elisha kian lebar. Mirip seperti Joker. “Itu artinya saya harus sering-sering ketemu sama Pak Gala kan? Wah, hebat sekali.”
“Saya tahu kamu bersemangat, Elisha. Tapi jangan terlalu berlebihan.” Pak Bram mencoba menenangkan. “Meski kelihatannya Gala mudah didekati, tapi bakalan sulit kalau menyangkut pekerjaan. Kamu harus punya persiapan matang kalau mau berdebat sama dia. Jangan mau kalah demi keuntungan bluebox.”
Elisha masih menjaga agar bibirnya masih terkembang lebar. “Oh ya? Bapak kayaknya kenal banget sama karakter Pak Gala.”
Pak Bram menganggukkan kepala. “Dia keponakan saya.”
Senyum di bibir Elisha seketika menghilang. Sudah Elisha duga. Apa ini semacam nepotisme berkedok investasi?
“Jangan bilang sama siapa-siapa, Elisha. Cuma kamu yang tahu rahasia ini.” Pak Bram menyentuh bibirnya dengan jari telunjuk. “Kalau sampai ada yang tahu, bisa-bisa orang pada deketin saya buat dicomblangin sama Gala.” Dia terkekeh kemudian, yang entah kenapa terdengar menyebalkan di telinga Elisha.
“Saya orangnya pandai jaga rahasia kok Pak.” Elisha membuat gerakan mengunci bibir. Dia kemudian menganggukkan kepala. “Kalau begitu, saya permisi dulu.”
Tanpa menunggu jawaban, Elisha keluar dari ruangan itu dengan langkah lebar. Sebab jika berada di sana lebih lama lagi, Elisha tak bisa memprediksi apa yang akan terjadi. Mungkin dia akan memukul Pak Bram dengan sepatu? Atau tongkat golf yang ada di sudut ruangan?
Elisha jadi curiga. Jangan-jangan, Pak Bram sengaja bersekutu dengan Gala untuk membuat Elisha frustrasi. Iya kan? Sebenarnya mereka berdua ada masalah apa sih?
***
Rahma sengaja tidak datang ke kantor Dana siang ini untuk mengantarkan makanan seperti biasa. Dia ingin tahu respon seperti apa yang akan diberikan Dana kepadanya. Apa cowok itu akan menghubungi Rahma dan menanyakan alasan Rahma tidak datang? Atau justru mengabaikan Rahma seolah tidak pernah terjadi apa-apa?
Jika Dana benar-benar peduli, maka setidaknya dia mengirim pesan singkat. Iya kan? Secuek apa pun Dana, pria itu pasti tidak akan mengabaikan Rahma. Karena jika Dana tidak memberi kabar, Rahma akan memikirkan kembali rencana pernikahan mereka yang sudah ada di depan mata. Sebab Rahma sadar, bahwa kebiasaan Dana yang cuek, akan terbawa sampai mereka berdua menikah nanti.
Rahma, tentu tidak ingin hal itu terjadi.
Sudah pukul satu siang.
Dana masih belum menghubungi. Rahma mendesah frustrasi dan merebahkan tubuhnya di atas kasur. Saat itulah, sebuah notifikasi masuk di ponsel Rahma. Awalnya dia pikir itu pesan singkat dari Dana, tetapi rupanya sebuah postingan i********: dari Miranda. Di meng-post sebuah foto makanan di restoran mewah dengan Dana sebagai background. Di bawah foto itu tertulis sebuah caption, ‘Makan siang dengan Abang terhebat sepanjang masa. Terima kasih, karena sudah hadir di hidupku.’
Jadi, Dana sedang asyik makan siang dengan Miranda, ya? Rahma bahkan tidak tahu harus merespons seperti apa.
Apa kakak dan adik memang se-dekat ini? Mereka pasti sudah bertemu di pagi hari untuk sarapan, juga malam harinya. Kenapa siang-siang mereka juga harus keluar bersama?
Rahma tak bisa mencegah. Hatinya terasa sakit dan sesak. Saat itulah Rahma tahu, bahwa dirinya cemburu dengan Miranda. Rahma bahkan tidak tahu. Apakah ini adalah hal yang wajar?
***
Vara berkali-kali melihat ke arah ponselnya, menunggu kabar dari Gala. Vara sekarang sudah berada di luar bandara, dan sedang mencari taksi yang akan membawanya ke rumah sakit untuk menemui Ganesh.
Cowok itu, benar-benar, tega sekali. Dia masih belum menghubungi Vara, setidaknya untuk memberi kabar bahwa dia baik-baik saja. Vara jadi bertanya-tanya apakah hubungan mereka berdua memang sedangkal itu? Kenapa Ganesh tidak bisa berbagi deritanya dengan Vara? Kenapa dia memilih untuk kesakitan seorang diri?
Dengan perasaan kecewa dan marah, Vara memaksakan diri untuk pergi ke rumah sakit. Biar saja Ganesh terkejut dengan kedatangan Vara, atau merasa bersalah, atau marah sekalian.
Vara tiba di depan pintu ruang rawat inap Ganesh, kemudian mengambil napas dalam-dalam sebelum membuka pintu. Meski Vara marah, tetapi dia tetap membawakan buket buah untuk Ganesh. Vara ingin bersikap polos.
“Vara? Kamu di sini?”
Itu adalah kalimat pertama Ganesh saat Vara mendekati ranjangnya dengan senyum manis. Tidak ada yang menemani Ganesh ketika itu. Jadi, Vara menaruh paket buahnya ke atas nakas dan duduk dengan tenang di depan Ganesh yang masih memandangnya dengan mata melebar.
“Kenapa? Aku nggak boleh jenguk calon suami aku?” Vara melirik tangan kiri Ganesh yang di gip. Kening cowok itu diperban, dagunya baret hingga ke pipi, dan sudut bibirnya tampak robek mengerikan. Hati Vara sakit saat melihat keadaan Ganesh, melunturkan kemarahannya.
“Aku udah boleh pulang nanti sore,” balas Ganesh lagi, mengalihkan pertanyaan Vara. “Cuma patah ringan kok, dua tiga minggu juga udah sembuh.”
“Terus, kapan kamu punya rencana buat ngasih tahu aku? Tiga minggu lagi?” Vara berujar dengan nada sinis, sengaja. “Atau kamu bahkan nggak ada niatan buat kasih tahu aku dan nanggung semuanya seorang diri? Kamu anggep aku ini apa sebenernya?”
“Maaf,” kata Ganesh, akhirnya, dengan nada bersalah dan kepala tertunduk. “Aku cuma nggak mau kamu khawatir dan langsung dateng ke sini ninggalin kerjaan kamu, padahal lukaku enggak seberapa.”
“Nggak seberapa, katamu?” Vara menahan suaranya agar tidak meninggi. “Kamu jatuh terguling dan nyaris mati, Ganesh. Dan kamu nggak mau kasih kabar? Egois banget. Kamu anggep aku apa?”
Ganesh mengangkat kepala dan bersitatap dengan mata sang kekasih. Dia mengusap punggung tangan Vara, mencoba menenangkan. “Aku berencana kasih tahu kamu setelah dibolehin pulang nanti sore. Vara, aku nggak bermaksud buat nyimpen ini sendirian.”
Vara mengibaskan tangan Ganesh. Dia mengalihkan wajah, menahan air matanya agar tidak tumpah. Dia mengambil napas dalam-dalam. “Aku pengin jadi pasangan yang bisa kamu andalkan dalam keadaan apa pun.” Kali ini Vara menatap Ganesh. Matanya memerah. “Aku pengin jadi orang pertama yang tahu keadaan kamu, Ganesh. Aku juga pengin jadi orang pertama yang kamu hubungi di keadaan bahagia maupun sedih.” Vara sudah tidak bisa membendung air matanya yang jatuh. “Apa kamu bisa ngelakuin itu?”