Biar Elisha ceritakan bagaimana pertemuan pertama Elisha dan Gala terjadi.
Hari itu, Elisha sedang marah akibat perkataan Alex yang menghina ibunya. Jadi, Elisha memutuskan untuk pergi ke club dan mabuk-mabukan sendirian. Elisha tak biasanya bersikap seperti ini, tetapi, si b******k Alex sudah keterlaluan. Elisha tak masalah jika dirinya yang dicaci maki. Tapi jika sudah menyangkut keluarganya, terutama sang ibu, Elisha tidak bisa tinggal diam. Elisha memukul kepala Alex dengan ujung sepatunya yang runcing dan membuat cowok itu dilarikan ke rumah sakit. Akibat perbuatannya itu, Elisha jadi berurusan dengan kantor polisi selama dua hari.
Beruntung, Alex masih punya hati nurani dan mencabut tuntutannya, sehingga Elisha bisa pergi dari tempat memuakkan penuh laki-laki berseragam itu. Mungkin Alex teringat masa lalu, di mana Elisha membantunya di saat dia sedang berada di titik paling rendah.
Elisha meluapkan semua kekesalan serta rasa sakitnya dengan mabuk dan bergoyang. Mungkin karena minum terlalu banyak, Elisha merasa perutnya mual, dan dia memutuskan untuk pergi ke toilet. Sebuah insiden pun terjadi. Elisha tidak sengaja muntah di depan toilet dan mengenai seorang wanita yang baru keluar. Kehebohan terjadi kemudian,
“Lo gila ya? Berani-beraninya lo muntah di baju gue! Dasar jalang! Lo tahu nggak berapa mahal harga baju gue?” wanita itu langsung menjambak rambut Elisha dan mendorongnya hingga tersungkur. Dan Elisha terlalu mabuk untuk merespons. “Mati aja lo sana!”
Tidak, Elisha hampir kehilangan kesadaran.
Saat itulah seseorang membantu Elisha berdiri dan membawanya keluar kelab. Makian wanita itu masih bisa terdengar samar-samar. Elisha memang setengah sadar, tetapi dia ingat benar jika pria yang membantunya keluar adalah Gala. Saat itu, Elisha tidak tahu jika Gala adalah klien yang harus dia temui beberapa hari berikutnya. Di mata Elisha saat itu, Gala hanya salah satu dari sekian banyak laki-laki b******k yang mendekati Elisha demi kencan satu malam.
“Yak! Lo pasti mau macem-macem sama gue kan? Lo nolongin gue karena mau tidur sama gue!” Elisha melepaskan rangkulan cowok itu dan berdiri sempoyongan. Jangan tanya lagi. penampilan Elisha lebih mirip seperti gelandangan dengan rambut mekar dan acak-acakan. Elisha menunjuk Gala dengan jari tengahnya. “Ngaku aja lo, b******k! Di dunia ini semua laki-laki itu b******n! Yang mereka pikirin cuma s**********n doang! Seengaknya bayar PSK lebih bermartabat daripada ngibulin anak orang di kelab!”
Gala berkacak pinggang dan menyugar rambutnya. “Ditolongin baik-baik malah enggak tahu diri.”
Orang-orang yang hendak masuk ke kelab dan orang-orang yang baru keluar langsung menatap Elisha dan Gala dengan sorot penasaran. Ini gara-gara suara Elisha yang kencangnya melebihi suara tawa nenek lampir.
“Apa? Lo bilang gue nggak tahu diri?” Elisha langsung maju dan menarik kaus Gala hingga robek. Suaranya membuat beberapa orang menutup mulut sambil membelalakkan mata. Tubuh bagian atas Gala terbuka, menampilkan otot-otot perutnya yang berotot seperti model celana dalam. Meski begitu, Elisha masih tidak bisa menahan diri untuk berbuat gila. “Lihat? Bentukan badan kayak gini, kalau enggak b******k suka nidurin cewek ya, gay! Iya kan?”
“Lo!” Gala melotot marah. Sepertinya sudah tidak tahan lagi. “Kita belum pernah ketemu sebelumnya. Dan lo berani-beraninya nge-judge gue?”
Hal terakhir yang Elisha ingat adalah Gala yang mendekatinya, dan setelah itu kesadaran Elisha menghilang. Ketika bangun pagi harinya, Elisha sudah bergelung di dalam kamarnya sendiri. Rupanya, malam itu Vara dihubungi Gala dan diminta untuk menjemput Elisha, karena nama Vara berada di daftar pertama riwayat panggilan Elisha.
Benar, Gala memang masih sebaik itu meski Elisha mempermalukannya di depan umum. Elisha bahkan merobek kaos Gala, astaga. Wajar jika Gala marah, tidak terima dan berniat balas dendam. Namun, bukankah kekanakan namanya jika Gala mencampur adukkan masalah pribadi dan pekerjaan?
Elisha mendesah, merasa frustrasi.
Kali ini nasib Elisha sudah benar-benar di ujung tanduk. Karenanya, Elisha malam ini tak jadi pulang ke Jakarta dan memutuskan mampir ke kelab untuk minum segelas alkohol.
Elisha tak peduli. Dia akan menginap dan pulang besok pagi.
“Sendirian?” seseorang mendekati Elisha dan duduk di sebelahnya. Dia memesan segelas vodka pada bartender.
Elisha hanya meliriknya sekilas. Sudah jelas jika dia adalah b******n kelas kakap.
“Sama suami gue,” balas Elisha, sengaja berbohong agar cowok itu menghentikan pembicaraan. Biasanya cara ini lumayan berhasil, tetapi persentase keberhasilannya hanya lima puluh persen.
Pria itu tersenyum tipis. “Jadi dulu kalian ketemu di kelab sebelum mutusin buat nikah?” Dia memutar pinggiran gelas vodka-nya yang berembun. “Pasti seru banget punya pasangan satu frekuensi.”
“Kita juga satu frekuensi dalam hal bersenang-senang.” Sebelah alis Elisha terangkat naik. Dia menatap cowok itu dengan sorot berani, “Jadi, lo bakal tetep di sini?”
Ini adalah sebuah bentuk pengusiran yang sangat halus. Tingkat kepekaan seorang pria akan dinilai di tahap ini.
“Ah, okay.” Pria itu tersenyum tipis. Dia berdiri sambil mengangkat gelas vodka-nya. “Kalau gitu gue jaga jarak dua kursi.”
Elisha mengabaikan itu dan menungkan alkohol ke dalam gelasnya lagi. jika dibandingkan dengan Rahma dan Vara, Elisha memang yang paling nakal. Kedua cewek itu anak baik-baik, dan belum pernah menginjakkan kakinya di dalam kelab.
Mungkin karena beban hidup mereka tidak seberat Elisha? Atau mereka punya cara yang lebih baik untuk mengatasinya ketimbang lari ke alkohol?
***
Rahma berusaha untuk lebih mengenal keluarga Dana. Selain adik tiri yang usianya hanya terpaut lima tahun lebih muda, Dana juga punya adik laki-laki yang baru masuk SMA tahun ini. Namanya Kiano. Ibu kandung Dana meninggal dunia saat masih berusia lima tahun. Jadi kini, Dana tinggal bersama ayah tirinya, Mirada, dan juga Kenio. Karena Rahma tak ingin kejadian seperti malam itu terulang, maka Rahma mengajak Miranda jalan-jalan ke mall untuk belanja. Agar Rahma bisa mengenal bakal calon adik iparnya itu lebih dekat.
Miranda punya paras yang sangat cantik. Kulitnya putih bersih, hidung mancung, rambut panjang bergelombang yang dicat pastel, dan alis yang melengkung sempurna. Miranda juga punya selera pakaian yang modis. Hampir semua yang melekat di tubuhnya merupakan barang-barang bermerk keluaran terbaru. Hal itu mudah saja bagi Miranda yang tinggal di Paris dan merupakan anak konglomerat.
“Kuliahmu di Paris udah kelar?” tanya Rahma begitu mereka memasuki salah satu mall terbesar di ibukota Jakarta. “Atau lagi libur semester?”
“Aku di sini dua mingguan sih, terus balik lagi.” Miranda tersenyum tipis. “Kangen sama keluarga di Indonesia. Kak Rahma tenang aja. Nanti pas pernikahan Kak Rahma sama Bang Dana aku usahain buat dateng sesibuk apa pun.”
Rahma balas tersenyum manis. “Aku bakal nyiapin gaun yang paling cantik buat kamu. Kamu mau jadi bridesmaid-ku kan? Abis ini kita mampir ke butik langgananku dan ukur baju. Oke?”
“Oke.” Miranda mengacungkan jempolnya dengan semangat. “Aku jadi nggak sabar liat konsep pernikahan kalian berdua. Pasti ala-ala fairy tale ya?”
Rahma menutup mulutnya, agak terkejut. “Kok kamu tahu?”
“Bang Dana yang cerita.” Miranda mengedipkan mata jail. “Dia itu orangnya nurut banget, karena itu jadi kelihatan cuek. Tapi sebenernya Bang Dana paham kok. Selama itu bukan hal yang norak, Bang Dana bakal percayain semuanya ke Kak Rahma.”
“Kalian pasti deket banget ya?” Rahma hendak menggunakan kesempatan yang baik ini untuk mengenal Dana lebih jauh lewat Miranda. “Menurutmu, Mas Dana itu orangnya kayak gimana?”
“Lumayan deket sih. Bang Dana selalu nelpon minimal seminggu tiga kali buat nanya kabar dan pastiin semua kebutuhanku tercukupi selama di Paris.” Mata Miranda berkilat ceria, seolah bercerita tentang Dana adalah sesuatu yang menyenangkan. “Aku lebih sering minta uang sama Bang Dana ketimbang sama Ayah. Soalnya kalau sama Ayah sering ditanyain uangnya buat apa aja. Kan nggak seru. Terus, kalau aku sibuk banget dan nggak bisa pulang, biasanya Bang Dana yang ke Paris. Minimal sebulan sekali.”
Rahma mengangguk-angguk. “Mas Dana pasti sayang banget sama kamu. Dia kedengeran kayak kakak yang hebat.”
“Iya.” Miranda mengangguk, menyetujui. “Tapi Bang Rahma orangnya posesif dan cemburuan juga. Dia sengaja bayar beberapa temenku buat mata-matain aku selama di Paris dan laporin semuanya sama dia. Nyebelin banget nggak sih? Emangnya aku bocah yang nggak bisa jaga diri?’
“Dia kayak gitu karena nggak mau kamu kenapa-napa.” Rahma menyampaikan pendapat. Kemudian, senyumnya berubah masam saat menyadari fakta bahwa selama ini, Dana bahkan tidak pernah menelponnya untuk sekadar basa-basi dan menanyakan kabar. Lebih banyak Rahma yang menghubungi dulu. Bahkan ketika ingin jalan keluar pun, Rahma yang inisiatif menelpon atau pergi langsung ke kantor Dana.
Kalaupun Dana yang menelpon lebih dulu, pasti berhubungan dengan makan malam keluarga, atau hal-hal penting lainnya.
Kira-kira, jika disuruh memilih antara Rahma dan Miranda, siapa yang paling disayangi Dana?