10. Penolakan Yang Keji

1346 Words
"Jadi, kamu masih belum nyerah buat dapetin aku?" tanya Gala, dengan nada kelewat narsis dan tingkat kepercayaan diri setinggi bulan. Persis seperti yang sudah Elisha duga, berondong ajaib itu langsung mendekati Elisha. Tanpa ragu-ragu, dia mengambil duduk di depan Elisha dan mencomot kentang goreng di atas meja. Begitu santai dan tenang, seolah mereka kawan lama. Memang benar kalau Elisha jauh-jauh datang ke sini untuk bertemu Gala. Namun, tetap saja. Rasanya gengsi kalau Gala bersikap terlalu percaya diri kayak gini. Dia pasti merasa dirinya sangat penting hingga bisa memperlakukan Elisha seenaknya. "Enggak. Aku ke sini mau liburan. Eh, malah enggak sengaja ketemu sama kamu," balas Elisha. Dia kembali fokus pada makanan di depannya. “Sendirian?” sebelah alis Gala terangkat naik. Raut wajahnya jelas meragukan perkataan Elisha. “Dengan pakaian setipis itu? Kamu niat liburan apa nyari penyakit?” Nyaris saja Elisha tersedak bakwan. Dia buru-buru meminum es-nya dan berdeham kecil. “Bukan urusan kamu.” “Oh, yaudah. Aku nggak akan ganggu.” Gala berdiri. Dia mengulas senyum manis dan menaruh satu tangannya di depan, bersikap hormat. “Kalau begitu, selamat berlibur dan bersenang-senang, Elisha.” Gala melambai riang sebelum menghampiri teman-teman satu tongkrongannya yang sejak tadi diam-diam mengawasi Gala sambil berbisik dan tertawa. Obrolan anak tongkrongan, pasti enggak jauh-jauh dari cewek cantik. Elisha menatap map berisi kontrak di kursi sebelahnya, kemudian mendesah dan memukul kepalanya sendiri berulang kali. Astaga, Elisha. Sejak kapan kamu jadi bertingkah kayak bocah begini? Pakai acara gengsi segala, padahal sudah jauh-jauh berkendara sendirian melewati bukit dan lembah, dengan pakaian tipis kayak mau ke pantai, pula. Seharusnya Elisha menelan gengsinya dan mengajak Gala bekerja sama. Sekarang, Elisha harus bagaimana? Dia nggak mungkin pulang dengan tangan kosong, tapi lebih enggak mungkin dia menarik ucapannya sendiri dan membuat Gala kian besar kepala. *** “Kenapa nggak nelpon dan tanya aku udah sampe rumah dengan selamat atau belum?” Vara berujar tanpa basa-basi saat panggilan teleponnya diangkat Ganesh. Nadanya terdengar galak. “Masih ngambek masalah jaket sama tas?” “Enggak.” Ganesh membalas, tenang. “Biasanya kan kamu duluan yang ngabarin kalau udah sampai. Aku sibuk banget abis cuti kemarin. Kamu tahu sendiri kalau musim hujan gini kerjaan tambah banyak di lapangan.” Di musim rawan bencana seperti ini, pekerjaan Ganesh memang lebih berat dan berisiko, karena curah hujan tinggi dan suhu yang turun drastis di malam hari. Pihak Jagawana gunung Sewu sudah membatasi jumlah pengunjung karena khawatir dengan risiko tanah longsor dan banjir, tapi tetap saja. Mereka masih harus patroli dan mengawasi keadaan di sekitar lereng gunung. Vara jadi merasa bersalah karena mengganggu Ganesh dengan pertanyaan tidak pentingnya. Tapi tetap saja kan, sesibuk apa pun Ganesh, dia seharusnya mengirim pesan. Hal sederhana seperti itu sudah cukup buat Vara happy kok. “Oh, yaudah,” balas Vara datar. “Lanjutin aja kerjaan kamu.” “Kamu marah?” ujar Ganesh cepat. “Maaf. Aku udah ada niatan mau chat kamu sebelum kamu nelpon duluan.” Vara menghela napas panjang. Seharusnya Vara enggak bersikap kekanakan kayak begini. Dia harus memahami pekerjaan Ganesh karena Vara sudah memilih cowok itu menjadi pendamping hidupnya. “It’s okay. Aku maafin. Tapi abis ini jangan lupa ngabarin, oke? Aku nggak masalah meski cuma pesan singkat dan balesnya super lama. Seenggaknya aku tahu kalo kamu baik-baik aja.” “Iya, aku janji,” balas Ganesh, dengan nada menenangkan. Sudut bibir Vara terangkat naik. “Kalau begitu selamat bekerja, Chagia! Jaga kesehatan, hati-hati juga pas lagi naik, oke?” “Hmm,” Ganesh bergumam pelan. “Udah dulu ya. Masih ada yang harus aku kerjain. Nanti kalau luang aku telpon lagi.” “Oke.” Vara menatap layar ponselnya yang sudah mati, kemudian mendesah dan merebahkan diri ke atas sofa. Perut Vara mendadak keroncongan. Bayangan ayam kremes dan sambel matah langsung terbayang di otak Vara, membuatnya berliur. Vara langsung membuka aplikasi ojek daring dan memesan makanan. Ya, risiko LDR, kalau pengin makan di luar tapi nggak mau dikataian jomblo, jalan satu-satunya ya emang pesen online. Sehabis makan, sibuk lagi di depan komputer ngejar deadline dari klien yang menumpuk kayak roti lapis. Kalau enggak monoton dan membosankan begini, namanya bukan hidup. *** Semesta pasti ingin membuat hidup Elisha sengsara. Dia sudah memutuskan untuk kembali ke Jakarta dan memikirkan cara lain untuk membujuk Gala, tetapi ban mobilnya tiba-tiba bocor. Bodohnya Elisha, semua ban cadangannya juga kempes. Waktunya habis untuk mengurus Gala hingga dia tak memperhatikan Samantha, mobil kesayangannya. Sambil menggigiti kuku, Elisha menatap ke sekitar. Elisha tidak tahu harus minta tolong pada siapa. Semua orang yang berada di sini tampak tidak bisa dipercaya, karena tampang mereka seperti bocah freak yang masih berlindung di ketiak ibunya. Akhirnya, Elisha memutuskan untuk kembali ke dalam restoran, meminta bantuan pada pegawai di sana. Baru saja berbalik, Elisha terlonjak kaget saat kepalanya terbentur sesuatu yang keras. Mendongak, Elisha bersitatap dengan Gala sedang menaikkan sebelah alis. Sudah dua kali dia menabrak Gala. Elisha jadi berpikir jika cowok itu sengaja mendekati Elisha tanpa suara. “Kenapa? Ban kamu bocor?” Gala bisa langsung tahu apa yang menimpa Elisha layaknya cenayang. Matanya langsung tertuju ke bawah. “Mau aku bantuin pasang ban? Tapi enggak gratis, sih. Dan aku enggak mau dibayar pakai uang.” Gala menyeringai sambil melipat kedua tangannya. Dia bersikap bak pahlawan kesiangan. Seolah hidup Elisha hanya bergantung padanya. “Kamu tahu kan, apa yang aku mau?” Elisha membuang muka. “Enggak usah repot-repot. Gue bisa minta bantuan orang lain, yang bisa dibayar pakai uang.” Elisha sengaja menanggalkan semua sikap formalnya. Dia bahkan tidak sadar sejak kapan Gala bicara pakai aku-kamu padanya. Elisha sudah tidak peduli. Lagi pula, mereka berdua sedang tidak dalam suasana resmi, iya kan? Jadi sah-sah saja kalau Elisha mau bertingkah seenaknya. Orang kayak Gala emang enggak pantas diperlakukan dengan sopan. “Padahal aku bukan tipe cowok yang suka nolongin orang tanpa diminta,” balas Gala, terdengar songong di telinga Elisha. “Dan gue bukan tipe orang yang minta tolong ke orang sembarangan, apalagi sama bocah freak kayak lo.” Elisha melotot tajam, dengan dagu terangkat naik. Elisha juga punya harga diri yang harus dijaga. “Bocah freak kata lo?” Gala berujar dengan nada tak percaya. “Bagian mana dari gue yang kelihatan kayak bocah?” “Tingkah lo, terutama,” balas Elisha, jujur dan kejam. Dia bertekad untuk mengeluarkan semua unek-uneknya. “Gue udah cukup sabar buat bersikap sopan sama lo layaknya orang dewasa. Gue juga nawarin kontrak baik-baik dan minta waktu supaya kita bisa bahas ini secara resmi. Tapi lo mengabaikan semua ucapan gue dan bertingkah seenaknya.” Napas Elisha naik turun karena emosi. “Lo pikir gue temen lo, hah? Gue bela-belain nyamperin lo setiap ada kesempatan, dan lo sama sekali nggak biarin gue buat bahas kontrak. Mau lo sebenernya apa sih?” Gala terpaku, sejenak, seperti kehabisan kata. Dia kemudian mengangkat kedua tangannya ke udara, menyerah kalah. “Oke, gue minta maaf. Gue akuin kalau sikap gue emang agak kekanakan.” Dia kemudian maju dua langkah dan menipiskan jaraknya dengan Elisha, menunduk agar mata mereka sejajar. “Tapi, gimana sama lo sendiri? Lo bahkan enggak berniat buat minta maaf sama gue atas apa yang lo lakuin ke gue malam itu, Elisha. Jadi, siapa di sini yang kekanakan?” Bola mata Elisha seketika membelalak, terkejut. Dia refleks mundur satu langkah. Jadi, selama ini Gala sengaja pura-pura enggak ingat? Elisha tertawa sinis. “So, selama ini lo bertingkah sok dan nggak di depan gue karena mau bales dendam?” “Enggak.” Gala menggeleng. Raut wajahnya berubah serius. “Gue emang kayak gini orangnya. Gue nggak tahu kalau tingkah gue bikin lo tersinggung.” “Nggak usah pura-pura,” balas Elisha. “Sekarang jawab gue dengan jujur, Birendra Loka Gala. Lo sebenernya tertarik sama tawaran kontrak dari bluebox atau enggak? Jangan buang-buang waktu gue yang berharga buat ngurusin bocah kayak lo.” Gala mengedikkan bahu. Bibirnya mengulas seringai kejam. “Tadinya gue mau pertimbangin tawaran lo, tapi sekarang gue berubah pikiran.” Jeda sejenak. Gala menatap mata Elisha lekat-lekat. “Gue nggak akan teken kontrak apa pun sama perusahaan lo.” Persis setelah mengatakan itu, Gala meninggalkan Elisha yang mematung di tempatnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD