02. Dandi Hardana

1031 Words
Setelah lulus SMA, pihak panti asuhan sudah tidak akan memberikanku tempat tinggal gratis. Jadi untuk membayar biaya sewa kostan di kota seperti ini, aku bekerja paruh waktu sebagai Waitress di sebuah rumah makan Menyusahkan. Aku benci susah, tapi aku butuh uang. Banyak teman dari SMA-ku yang menyarankan agar bekerja mendampingi Om karena itu lebih mudah. Masalahnya adalah aku benci berada di sekitaran Om-om. Karena alasan ini juga aku dijauhi banyak teman ku. Mereka bilang aku mirip mayat hidup. Semua berpikir aku tidak bisa merasakan perasaan apapun. Mereka salah, aku bisa kesal saat pengunjung tempatku bekerja membludak. Itu akan membuatku semakin kelelahan. Apalagi saat pulang, kostanku yang hanya sepetak masih berantakan. Aku ini orangnya lambat, jadi pekerjaan rumah seperti ini selalu lama beresnya. Inilah kenapa tidak banyak yang menerimaku bekerja. Tiap malam aku ketiduran karena lelah, lalu besoknya bekerja lagi. Begitu seterusnya sampai aku menyadari ada perbedaan. Di sore hari yang sedikit mendung ini, aku berjalan sendirian di trotoar jalan tepat menuju tempat kerja. Jalan kecil yang kulewati ini berada di antara dua bangunan ruko. Biasanya memang untuk jalan pintas, wajar kalau cukup sepi. Aku merasa ada yang mengikutiku. Sayangnya setiap aku memperhatikan sekitar, tidak ada apapun. Biasanya instingku kuat sekali, terlebih saat menyadari ada yang berniat jahat. Kuabaikan perasaan ini sampai aku mulai bekerja. Tersenyum ramah dan memberikan pelayanan yang terbaik adalah modal utama disini. Saking seringnya memajang tampang ramah membuatku otomatis melakukannya pada siapapun. Walaupun sebagian besar mereka khawatir karena kulit pucatku. Sering sekali pengunjung yang bertanya, "Lagi sakit ya?" Tapi hari ini semua orang disini kompak mendengarkan berita di televisi dinding serta membaca koran kota harian. Judul headline-nya memang menarik perhatian karena berbunyi: • SEORANG GADIS 19 TAHUN DITEMUKAN TEWAS TENGGELAM .... Seorang gadis berinisial A.R ditemukan sudah dalam kondisi tewas di pinggiran sungai. Seorang warga bernama Hardi (45) menemukannya ketika hendak menyebrang pulang ke rumah. Menurut kesaksiannya, saat mayat ditemukan, tangan korban masih terikat tali... • Kemudian pada televisi, ada breaking news berjudul: • MUTILASI DALAM KOPER Presenter beritanya menjelaskan, "...setelah melalui penyelidikan dari kepolisian, dua mayat termutilasi yang ditemukan di kebun warga merupakan dua pria berinisial A.D (30) dan F.E (28) mereka merupakan karyawan yang bekerja di sebuah toko hewan tak jauh dari lokasi. Hal ini telah dikonfirmasi oleh pemilik toko tersebut yang.." • Toko hewan? Karyawan? Rasanya familiar, apalagi kejadiannya di kota ini.. Apalagi saat aku sedang mengantar makanan untuk salah satu pengunjung, ada beberapa meja yang membahas tentang nama "Hardana". Kira-kira mereka mengobrol seperti ini: "..kalau nyebut Hardana, aku cuma ingat salah satu pabriknya kebakaran Minggu lalu." "Ya, tapi jelas dia bukan anggota keluarga Hardana." "Iyalah, keluarga Hardana tinggal di Ibukota semua. Lagian nggak mungkin dia dokter hewan yang punya toko di kota kecil seperti ini." "Aku pernah melihat wajah Dandi Hardana yang sesungguhnya." "Beneran?" "Ada di majalah, tapi saat dia masih remaja. Kira-kira mungkin sekarang dia hampir tiga puluh tahunan." Aku mulai kehilangan fokus saat ada pengunjung lain yang masuk. Mungkin semua orang tidak tahu wajah Dandi Hardana yang dimaksudkan pada berita, tapi tentu saja aku mengenalnya. Baru kemarin. Dan sekarang ia sedang berjalan masuk kemari, duduk bak raja di meja dekat jendela nomor sembilan. Caranya berjalan, bersikap, duduk, membawa dirinya serta pakaiannya menunjukkan kalau dia memang ada "kelas"-nya. Aku bahkan tidak percaya dia orang yang sama dengan dokter hewan yang kutemui kemarin. Tapi ya langsung saja kuhampiri begitu mata kami bertemu. Tanpa banyak basa-basi aku bertanya, "Apa kamu yang mengikutiku dari tadi?" Dia malah mengamati ke seluruh rumah makan ini, kemudian bertanya balik, "Kamu kerja disini sudah berapa lama? Tempatnya sedikit kotor loh, Elisse, jangan disini, bekerjalah di tempatku.." "Maaf," aku menahan diri sambil menyerahkan daftar menu padanya. Sebelum kami berbicara panjang lebar tanpa arti, lebih baik kutulis saja pesanannya lalu menyingkir. "Hmmm..." Dia malah mengembalikan menunya padaku, lalu berkata, "Pesankan saja semua. Aku ingin makan denganmu." "Maaf?" "Apa kosa katamu hanya itu, Elisse?" "Aku sedang bekerja, Pak Dandi." "Jangan panggil aku Pak." "Bisa kutulis pesanan anda, Pak Dandi?" "Sudah kubilang jangan panggil aku Pak, namaku Dandi. , jangan pernah panggil aku Pak." "Pesanan?" "Kapan kamu selesai bekerja?" "Nanti jam sepuluh malam." "Bisakah ikut aku sekarang?" Aku tidak tahu harus menjawab bagaimana. Kalau boleh jujur aku juga tidak mau berlama-lama di tempat ini. Tapi bukan berarti aku harus keluyuran dengan psikopat. Dia malah menertawaiku karena mungkin tidak tahan menungguku lama merespon ucapannya. Dengan senyuman kecil, dia berkata lagi, "Oke, buatkan semuanya yang ada di meni. Akan kutunggu sampai kamu pulang nanti, biar kuantar. Aku merasa kita ditakdirkan bertemu, jadi jangan disia-siakan." Apa benar karyawannya termutilasi? Aku sangat yakin nanti akan menggunakan pisau lipat lagi pada orang ini. Sebenarnya aku tidak terlalu ambil pusing dengan kelakuan manusia sekarang, tapi kalau sudah keterlaluan mengganggu privasi, harus segera diatasi. Dia mengajakku bicara lagi, "Oh, heboh banget ya beritanya, aku butuh karyawan baru memang," katanya melirik televisi yang terpasang di dinding, "kamu yakin tidak mau menggantikannya, Elisse?" "Itu karyawanmu?" Dengan suara sedikit berbisik, dia menjawab, "Ketiganya. Kebetulan ya?" Satunya mati di jurang, dua lainnya mati dimutilasi. Lalu bosnya sedang duduk di depanku dan bilang 'kebetulan ya?' Apa aku sedang dipermainkan? Dia memandangku seperti tengah memberikan anak-anak sebuah tebak-tebakan. Sungguh ini sangat mengganggu. "Apa polisi tidak menangkapmu?" Tanyaku blak-blakan. Dia memandangku dalam, "Maksudnya apa ya, Elisse? Mereka mati, maksudku tewas terbunuh oleh orang lain. Aku sudah dimintai keterangan dan.. polisi sudah hampir menangkap pelakunya. Besok juga ada beritanya." Penjelasannya terdengar seperti bohong bagiku. Mungkin karena aku tidak terlalu suka pria sok sepertinya. Akhirnya aku mengangguk dan tersenyum ramah saat berkata, "Mohon ditunggu sebentar, pesanannya akan segera saya antar." Setelah melihatku tersenyum, dia malah menyambar pergelangan tangan kananku, lalu bertanya dengan tampang mendadak serius, "Kamu..... menggodaku ya?" Pertanyaan itu datang lagi, nada suaranya saat menanyakan hal itu juga sama. Lirih sekali, serius tapi seolah sedang mengintimidasi juga. Aku jarang bertemu dengan orang semacam ini. Pasti.. pasti dia pembunuhnya. Aku segera menyingkirkan tangannya, lalu kuancam sepelan mungkin, "Dengar dokter, anda mungkin butuh dokter kejiwaan, jangan terus mengulang pertanyaan aneh kepadaku atau anda akan menyesal.." "Ah~ matamu seperti jurang tanpa dasar loh, Elisse, hitam, gelap, indah namun menghanyutkan. Rasanya terlalu lama menatapmu membuatku jatuh." Karena aku diam saja, dia melanjutkan ucapannya seperti sedang menasehati anak-anak, "Mengancam pembeli itu akan membuatmu dalam masalah, Elisse. Pembeli adalah raja. Kamu tidak mau' kan diusir dari kostan sepetakmu itu?" Aku buru-buru kabur dari hadapannya sebelum dia mengoceh hal-hal yang menaikkan amarahku. Padahal aku baru bertemu kemarin, tapi entah mengapa rasanya dia sudah mengawasiku sangat lama. Bukan takut, lebih ke arah benci dan risih. Aku tidak pernah takut dengan orang sok sepertinya. Banyak spesiesnya, banyak sekali, termasuk aku si gadis hantu sombong, sok cantik dan jual mahal. •••
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD