03. Pasangan Kekasih

1244 Words
Suasana hatiku setiap hari itu datar, tidak pernah bahagia keterlaluan ataupun sedih berlarut-larut. Biar kuralat, aku hampir lupa terakhir kali merasakan bahagia ataupun sedih. Dua perasaan itu tidak terlalu berkesan bagiku. Bahagia karena apa? atau sedih karena apa? Aku selalu hidup terjadwal dan sendirian setiap hari selama 19 tahun. Jadi aku tidak mengerti rasanya bahagia ataupun sedih secara berlebihan. Hanya saja, aku punya keinginan kecil yaitu bisa mendapatkan gelar sarjana karena dulu aku dihina tidak akan pernah berpendidikan tinggi. Masalahnya semua universitas swasta di kota ini biayanya mahal. Kalaupun ada beasiswa itupun persyaratannya sangat menyebalkan. Jalan pintas berpacaran dengan orang kaya memang terbesit di pikiranku. Tapi kembali lagi ke keadaan fisikku yang aneh ini, aku merasa tidak memiliki ketertarikan menjalin hubungan dengan siapapun. Sekalipun dia adalah pria menawan hati yang setia menungguku di area parkiran rumah makan ini. Padahal sudah cukup sepi, tapi dia masih saja disini. Ia tampak bersandar di pintu mobilnya seraya melambaikan tangan padaku. Aku bukannya mau lewat parkiran, kendaraan saja tidak punya. Aku hanya memastikan kalau dokter hewan itu serius dengan kata-katanya. Ternyata dia menepati ucapannya. Aku suka orang yang begitu karena biasanya orang di sekitarku itu pembohong. Saat aku hendak berbalik, dia bertanya, "Dimana rumahmu? Biar kuantar." Caranya menawarkan bantuan itu bernada sangat sopan, lembut tapi membuatku waspada otomatis. Karena terbiasa dengan tatapan orang jahat, aku jadi paham kalau orang ini pasti sangat merepotkan. Pandangan matanya saja sangat ramah dan bersahabat. Bahaya. Sikap lembut, ucapan terkesan aneh, tatapan mata bersahabat. Aku bukan ahli psikologi, tapi aku yakin 99% dia punya niat lain padaku. "Tidak perlu. Dekat sini," jawabku kemudian. "Biar kutebak, Jl. Flamboyan Timur no. 32." Aku mulai menyentuh pisau lipat yang selalu ada di saku depan celanaku. Jika melawan, aku kalah, jika berlari, aku tertangkap, jika berteriak, disini sepi. Secara fisik aku lemah sekali, tapi aku terbiasa menggunakan pisau. "Mata kamu itu seperti.." dia mulai melangkah mendekatiku dengan raut wajah semakin heran, "anjing liar yang tidak percaya siapapun." Oh, sekarang aku paham. Dia menganggapku anjing sejak kemarin. Sebagai dokter hewan, tentu saja nalurinya pasti bersikap seperti ini. Bukan! Bukan itu maksudku! Dia sudah gila! Menyamakanku dengan anjing? "Aku tidak bisa membiarkanmu berkeliaran tanpa ada yang memiliki," tambahnya semakin membuat emosiku meninggi. Aku mundur sambil menegaskan, "Saya ini manusia, Pak Dandi. Sebaiknya jauhi saya mulai besok, sebelum saya membunuh Anda." Dia malah memberikanku seringaian lebar seolah puas mendengarnya. Ia mengatakan, "Oh, kamu itu terlalu polos, lihat darah saja pasti mual." Karena mimik wajahnya semakin aneh, aku langsung berbalik pergi sambil bergumam lirih "Dasar gila." Tapi sedetik kemudian, dia menyambar lengan kiriku, membalikkan tubuhku dengan paksa. Kusambut perlakuan ini dengan mengarahkan ujung pisau lipat ke arah lehernya. "Jauhi aku atau kubunuh kamu," aku mulai serius mengancamnya, "aku ini benci basa basi." Dia terlihat menahan diri agar tidak tertawa melirik pisauku, "Jadilah pasanganku, Elisse." "Apa maksudmu?" "Sudah kubilang, aku tidak bisa membiarkanmu berkeliaran tanpa ada yang memiliki." "Aku tidak mau berhubungan dengan siapapun, aku tidak suka siapapun. Lepaskan tanganku!" "Tapi aku menyukaimu," katanya mulai seenaknya sendiri meraba pipiku, bibirku, pelipisnya, telingaku, sampai rambuku seolah-olah sedang memeriksa kondisi kesehatan hewan. Sama persis, sangat sama! Orang sialan ini menyamakanku dengan binatang yang hendak dia periksa! "Kalau aku tidak mau bagaimana?" "Aku akan memberikanmu apapun. Apapun. Ikutlah denganku dan kujamin, kamu tidak akan pernah mau kembali ke kehidupanmu yang sekarang." Aku menyimpan pisauku lagi dan menyingkirkan tangannya dari wajahku. Setelah itu bertanya dengan nada datar, "Apa aku akan dibunuh dan dibuang ke jurang setelah kamu selesai dengan fetish-mu ini?" Dia tertawa sembari berbisik, "Mungkin." "Oke asalkan semua keinginanku terpenuhi." "Elisse, jangan membuat suasananya seperti kamu sedang menjalin kontrak dengan iblis dong, aku benar-benar menyukaimu sejak pandangan pertama," ucapnya sambil mendekapku dengan lembut. Wajahku nempel di kemejanya yang dipenuhi aroma parfum memabukkan. Tidak terasa ternyata aku cukup pendek di hadapannya, hanya sebatas d**a. Setelah jeda beberapa detik, dia melepaskan pelukannya, memandangi wajahku dari dekat, kemudian bertanya, "Jadi kamu mau'kan?" "Apa ada cara lain menolak?" "Tidak." "Baik, tapi aku tidak yakin bisa menyukaimu." "Tidak masalah, kamu akan menyukaiku nantinya," katanya lantas menyeretku ikut naik ke kursi depan mobilnya, "ayo kuantar pulang ke apartemenku saja. Lupakan tempat tinggal kumuh itu, Sayang. Aku tidak mau kamu hidup tidak sehat." Aku menurutinya saja. Pada dasarnya aku juga tidak terlalu ingin berdebat dengan orang ini, pasti dia akan menculikku jika aku menolaknya. Itu pasti. Sudah tergambar jelas niatnya sejak menarik lenganku. Saat dia masuk ke kursi kemudi, aku mulai menyindir, "Padahal aku tidak suka jalan dengan om-om." "Elisse, aku bukan Om-om." "Berapa usiamu?" "Kita hanya berjarak 10 tahun." "Hanya kamu bilang. Umur 29 tahun sudah seharusnya menikah, Dandi." Dia tertawa sambil melirikku tajam, "Status keluarga dan hobiku membuatku malas untuk menikah. Jangan kecewa ya, Sayangku, aku lebih memilih kita pacaran selamanya." "Aku juga benci pernikahan, merepotkan." "Bagus, jadi kita sehati," bisiknya tersenyum lebar saat mulai mengendarai mobilnya untuk keluar dari lahan parkiran ini. Mungkin aku hanya kecewa dengan pernikahan di sekitarku yang selalu dijadikan mainan. Sudah besar begini aku malah malas melakukan ritual semacam itu. Bagiku memiliki pasangan, oke, tapi kalau sudah menikah dan diharuskan memiliki keturunan, aku masih tidak mau. Punya anak? Aku saja tidak bisa mengurus diriku sendiri.. Entah mengapa aku malah memikirkan pernikahan dan anak. Padahal Dandi ini masih misterius bagiku, iya kalau aku dibiarkan hidup selama seminggu, kalau besok aku sudah mengambang di sungai, ya buat apa aku berpikir pernikahan. "Jadi kenapa kamu membunuh karyawatimu?" Tanyaku menyelidik. "Karena dia menggodaku. Aku tidak suka digoda.." jawabnya saat menoleh sekilas padaku dengan senyuman kecil. Ia mengatakan itu tanpa beban sama sekali dan artinya serius mengakui kalau dia pelakunya. "Berarti kamu bohong tadi bilang bukan kamu pembunuhnya, aku ini... benci pembohong, Sayang," Ucapku lirih padanya. Dia malah melebarkan senyumannya, tapi tidak ingin bertatap mata denganku. Ia berkata dengan nada suara dingin, "Sayang, mendengarmu saja membuatku sangat tergoda loh." Bicara dengannya seperti bicara dengan batu. Lebih baik aku diam saja ketimbang naik pitam. Kualihkan pandanganku keluar jendela. Aku baru paham, kami melewati jalanan yang sangat sepi, mirip tepi hutan karena banyak pohonnya. Sudah minim lampu penerangan jalan, tidak ada kendaraan, rasanya seperti diantar ke tempat pembunuhan. "Jangan takut, aku lebih ingin berdua denganmu di ranjang daripada melukaimu di hutan," bisik Dandi tampak paham dengan jalan pikiranku. Apalagi ucapannya juga diselingi tawa lirih. "Jangan terlalu bersemangat, Dandi Sayang, aku benci rasa sakit juga." "Jangan khawatir, pasti lembut." ••• Jam tanganku menunjukkan pukul 11 malam. Aku masih diam melihat pemandangan malam ini dari balik jendela kaca mobil. Tidak ada keinginan sedikitpun untuk melirik ke arah pacar baruku. Walaupun sedari tadi dia berusaha menarik perhatianku dengan menawarkan tempat tujuan lain, seperti kafe, karaoke, minimarket, sampai klub. Ketimbang memikirkan tempat tujuan, aku malah bosan melihat jalanan yang sama saja selama setengah jam ini. Aku bertanya, "Kenapa kita lewat jalan yang tidak ada ujungnya begini? Maksudku, ini pinggiran hutan ya? Rumahku seharusnya hanya berjarak 10 menit tadi, kamu ini ngajakin aku kemana?" Dandi menjawab dengan santai, "Maaf Sayang, aku harus membuang sampah dahulu. Selepas dari jalan ini, kita akan ke jalanan utama kota, jangan takut begitu." "Cepat buang disini saja." "Oke," dia menepikan mobilnya dan langsung keluar tanpa banyak bicara lagi. Langkahnya sangat cepat, tatapan matanya juga kelihatan serius sebelum akhirnya menghampiri bagasi belakang. Aku ikut keluar melihatnya tengah memakai sarung tangan putih khas dokter, lalu memeriksa beberapa kantong plastik hitam yang lumayan besar. "Apa itu?" Tanyaku. Saat aku mendekat, aroma amis sontak menyebar kemana-mana. Baunya sangat busuk sampai-sampai aku mual dan menyingkir. Kulihat seluruh bagian bagasinya juga dipenuhi bercak darah kehitaman. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD