Everything I Wanted

2431 Words
Jaelani menghela napas panjang di mejanya. Tangannya berulang kali mengusap wajah gusar dengan memandangi absen anak kelas berbeda di atas mejanya. Guru muda itu baru saja mendapat pesan dari sang istri untuk berhenti mengajar saja. Apalagi setelah mendengar cerita sang suami tentang masalah anak-anak itu. Istrinya juga sedang hamil, dan beberapa minggu lagi akan melahirkan. Jadi, sang istri sedang membutuhkannya sekarang. Ingin meminta cuti saja atau mengundurkan diri. Capek juga kalau jadi pengajar honorer dan harus mengurus anak-anak bermasalah itu. "Pak Jalenai, dipanggil sama kepala sekolah." Ujar salah satu guru membuat ia mengangguk singkat. Beranjak berdiri lalu melangkah keluar dari ruang guru. Untuk menemui kepala sekolah. Saat sampai di depan pintu, Jaelani mengetuk pintu pelan. "Masuk," dari suara saja terdengar menahan kesal, mungkin beberapa jam ke depan Jaelani akan dimarahi habis-habusan kali ini. Entah masalah apa lagi yang sudah anak-anak itu perbuat. "Pak Jaelani," panggil kepala sekolah dingin saat Jaelani sudah berdiri di depan mejanya. "Bapak tahu kan, kalau saya sudah berharap banyak sama bapak. Apalagi setelah saya membuat program baru inu agar bapak bisa menjinakan anak-anak bermasalah itu." Geramnya menjeda sejenak, "tapi, sekarang apa ... mereka malah tambah liar dan tidak bisa lagi diurus." Sambung kepala sekolah frustasi. "Temui dua polisi yang datang di luar," "Eh? Polisi, kenapa jadi polisi, pak?" Kepala sekolah mendecak kasar, "salah satu murid bapak sudah membuat murid Bhinneka masuk rumah sakit. Dia tawuran, bergabung dengan anak Tunas Bangsa. Makanya polisi mencarinya sekarang, temui mereka." Kata kepala sekolah sudah lepas tangan. "Muridmu yang namanya Satria, kau ini nama murid saja tidak tahu. Memang apa sih yang saya harapin sama guru honorer begini," gerutu kepala sekolah sembari mengibaskan tangannya menyuruh Jaelani keluar sari sana. "Kalau polisi itu mau membawa anak itu ke sel, suruh bawa saja. Asal jangan sampai nama sekolah jadi tercemar." Tambah kepala sekolah kembali mengusir Jaelani dari ruangannya. Jaelani menghela napas panjang, berusaha menguatkan dirinya untuk tidak baperan. Ini memang ia yang tidak kompeten dalam menangani murid-muridnya. Padahal belum seminggu ia menempati posisinya sebagai wali kelas, dan sekarang ia harus dihadapkan dengan masalah seserius ini. Ia menipiskan bibir, lalu tersenyum sopan saat melihat dua polisi yang kini berdiri di koridor depan ruang guru. "Selamat siang, pak." Salam salah satu polisi sembari menjulurkan tangan bersalaman dengan Jaelani yang langsung membalas uluran tangannya. "Saya ke sini ingin bertemu dengan salah satu murid bapak yang bernama, Satria. Apa saya boleh menemuinya?" Jaelani tersentak kecil dengan mengangguk ragu. "Bapak bisa tunggu di sini saja, biar saya yang panggilkan." Polisi terdiam sesaat lalu mengangguk setuju. Jaelani pamit pergi, melangkah cepat dengan rahang mengeras. Guru muda itu benar-benar tidak menyangka kalau anak-anak jaman sekarang akan seliar ini. Tawuran sampai membuat lawannya sampai masuk rumah sakit. Sebenarnya apa yang membuat mereka sampai senekat ini, tanpa pikir panjang untuk melukai orang lain. Saat sampai di depan kelas, Jaelani menghela napasnya samar. Berusaha terlihat biasa saja, menguasai ekspresinya. Sudah ada guru sejarah di dalam sana yang tengah menjelaskan di depan kelas. Seperti biasa, anak-anak muridnya hanya sibuk dengan aktifitas masing-masing. Hanya yang duduk paling depan yang mendengarkan. Itu pun hanya Daehwi yang setiap gurunya selesai menjelaskan, ia akan bertepuk tangan heboh seperti baru saja mendengar sesuatu yang menakjubkan. Jaelani mengetuk pintu pelan, membuat semua perhatiaan teralihkan padanya. Ia melempar senyum pada guru sejarah yang sedang mengajar, mendekat dan membisikan sesuatu membuat guru berkumis itu menganggukan kepalanya paham. "Satria Adipati, bisa ikut bapak sebentar?" Mendengar itu semua murid langsung ke arah meja paling belakang, cowok yang namanya disebut itu mengerjapkan matanya dingin lalu beranjak berdiri melangkah keluar menurut. "Kenapa cuma Satria yang dipanggil, mau dapat uang beasiswa tidak mampu ya, pak? Saya juga tidak mampu loh pak. Hatiku selalu dijajah oleh doi," ujar Mark kali ini membuka suara. "Saya juga pak, tiap hari makan nasi pake angin." Sahut Lucas sok sedih, "saya pak, dari kemarin belum makan. Sedekahnya, pak." Tambah Yuta menimpali membuat sang wali kelas mendecak saja. "Lanjutkan belajarnya ya?" Pamit Jaelani dengan kembali memasang ekspresi keruhnya. Satria sudah melangkah lebih dulu tanpa menunggu. Jaelani jadi terpaksa berlari kecil mengambil tempat di samping sang murid. "Apa kamu tahu, kenapa bapak memanggil kamu saat proses belajar-mengajar sekarang?" Satria memejamkan saja matanya sebagai balasan membuat Jaelani menghela kasar berusaha bersabar. "Kamu sudah melanggar peraturan sekolah, melakukan tawuran. Bukan hanya itu, kamu bergabung dengan sekolah lain untuk melawan sekolah Bhinneka." Sambung Jaelani masih menyudutkan. "Ada polisi yang sedang menunggumu di depan ruang guru. Mungkin, kau akan dibawa oleh mereka ke kantor. Jadi, bapak tidak bisa membantu." Kata Jaelani lepas tangan, Satria tidak menanggapi. Kembali melanjutkan langkahnya tenang dengan sorot mata tajamnya. Pemuda itu melihat dua orang polisi di depan ruang guru, ia langsung mendekat dan menghampiri. "Kamu yang namanya Satria?" Satria kembali memejamkan mata sebagai balasan, "kau bisa ikut kami ke kantor, kan? Ada banyak hal yang harus kami tanyakan." Satria menurut saja mengekori dua polisi yang sudah melangkah lebih dulu dan berpamitan pada Jaelani yang berdiri memandang punggung Satria sayu. Entah kenapa jadi merasa kasihan, tapi bagaimana pun Satria harus menerima hukuman kalau dia bersalah. Sudah sepantasnya dia diseret ke sana, karena memang dia bersalah telah melukai anak-anak sekolah depan. ** Jaya langsung berdiri setelah guru sejarah berpamitan dan mengakhiri kelas. Pemuda yang memiliki sorot mata tajam itu melangkah keluar dari kelas sembari menyusuri koridor kelas. Beberapa murid perempuan berpapasan dengannya langsung terpana begitu saja. Jaya sudah seperti tokoh yang keluar dari n****+. Proporsi tubuhnya yang tinggi. Rahangnya yang kokoh bak pemeran bad boy yang menyukai si kutu buku. Rambutnya panjang hampir menutupi mata tajamnya, dasinya masing menggantung rapi pada kerah seragamnya. Bahunya terlihat lebar cocok untuk dijadikan senderan saat lelah. Begitu kata cewek-cewek yang terpesona dengan ketampanan Jaya Mahesa itu. "Hai, Kak Jaya." Senyum dua orang perempuan menghadang jalan Jaya, tersenyum malu-malu sembari menyelipkan anak rambutnya ke belakang telinga. "Kak Jaya ma––" omongan mereka menggantung di udara saat melihat Jaya sudah menyelonong pergi tanpa melirik sedikit pun pada keduanya. Seakan mereka adalah makhluk tak kasat mata. Jaya sedang terburu-buru dan tidak ingin diganggu sekarang. Pemuda itu sudah berdiri di depan ruang guru, mengetuk pintu pelan membuat beberapa guru menoleh ke arahnya. "Pak Jaelaninya ada?" Tanya pemuda itu berusaha sopan walau nada suaranya masih terdengar dingin, "tadi, ada keluar. Ada yang mau disampaikan? Bilang aja sama bapak." Kata guru berkacamata itu sudah mendekat. "Permisi," ujar Jaya langsung berbalik tanpa menanggapi permintaan guru itu yang langsung memias karena penolakan secara tidak langsung itu. Jaya mengedarkan pandangannya, cowok itu menaikan alisnya tinggi saat melihat wali kelasnya tengah duduk di anak tangga teras yang menguhubungkan antara ruang guru dan kepala sekolah. "Pak," panggilnya masih berdiri, mendengar suara rendah itu Jaelani langsung menoleh dan tersentak melihat Jaya di sana. "Ada apa, Jaya?" "Ada yang mau saya bicarakan perihal Satria," kata pemuda itu masih enggan duduk. "Emangnya Satria kenapa, jangan bahas teman-teman kelas kamu dulu. Bapak lagi pusing," Jaelani merunduk memainkan hapenya dalam tangan, tidak menoleh lagi pada Jaya yang berdiri di sana. "Satria kenapa dibawa sama polisi tadi?" Jaelani sontak menghentikan jari tangannya yang sibuk, guru muda itu mendongak dengan menatap Jaya lurus. "Kamu tau darimana?" Ujarnya malah balik bertanya. "Bapak sudah tanya kenapa Satria sampai melakukan tawuran?" Jaelani mendecak, berdiri kini. Mensejajarkan tinggi badannya dengan Jaya yang masih menatapnya lurus. "Jaya, ada saatnya kita bisa langsung tau mana yang benar dan mana yang salah. Seperti perbuatan Satria, bapak sudah tau busuknya anak itu dari kelas sepuluh. Bagaimana dia selalu ikut tawuran sana-sini dengan sekolah-sekolah lain. Apa bapak masih perlu bertanya lagi, kenapa?" Tanya Jaelani dengan mukanya yang sudah memerah menahan amarah. "Apapun alasannya, bapak seharusnya mendengarkan dulu. Bukan langsung menghakimi, apalagi membiarkan saja Satria dibawa pergi." Protes Jaya masih membela teman kelasnya, "kau bersikap kekeuh begini karena sekarang menjabat sebagai ketua kelas?" Tanya Jaelani dengan tersenyum masam. "Kalau begitu tidak perlu, kau menjadi ketua kelas hanya sebagai pemanis saja. Tidak usah terlalu menghayati peranmu." Sambung Jaelani sembari menepuk pelan bahu Jaya pelan. Jaya mengeraskan rahangnya kasar, "jadi, karena itu bapak tidak melakukan tugas bapak dengan baik?" Jaelani yang hendak pergi kembali menoleh kaget, merasa tertohok dengan ucapan pemuda itu. "Jaya, ucapan kamu sudah keterlaluan." "Sikap bapak juga keterlaluan, saya kira bapak akan berbeda dengan guru-guru lain. Yang tidak langsung menelan mentah-mentah apa yang ada di depan mata." Kata pemuda itu pedas, "Satria juga pasti punya alasan kenapa sampai melakukan ini. Seharusnya bapak yang menjadi orangtua anak kelas berbeda sekarang, bisa sedikit mendengarkan alasan Satria. Bukan menghakimi dan lepas tangan seperti itu, permisi." Jaya langsung melangkah pergi setelah baru saja mengatakan kalimat panjang itu yang menembus tepat ke jantung Jaelani. Bahkan, Jaelani terpaku dalam beberapa saat karena ucapan sang murid yang terdengar benar adanya. Jaya melangkah kembali ke kelasnya dengan rahang mengeras. Pemuda menyeberang jalan pemisah antara ruang guru dan juga rungan kelas sepuluh. Ia terdiam di sana beberapa saat, memandangi gerbang sekolah yang terbuka lebar. Belum ada tanda-tanda Satria kembali. Ia mendecak kasar, mau tidak mau balik ke kelas saja. Tidak ada yang mau mendengar suara hati mereka. Orang-orang dewasa di sekitarnya hanya mendengar dan melihat apa yang ada di depan mata. Tanpa, mencari tahu lebih dulu kebenarannya. "Ja-Jaya," Jaya menggerakan kepalanya mendengar suara cempreng itu memanggilnya. Ia menaikan alisnya melihat Hendrik di sana, anak berkulit gelap yang mungkin masa kecilnya suka ngejar layang-layang putus di gunung. Soalnya kelihatan dekil sampai sekarang. "Lo bicara apa sama Pak Jaelani?" Tanya pemuda itu hati-hati mengambil tempat di samping Jaya. "Soal Satria," balas pemuda itu seadanya lalu melangkah pelan membuat Hendrik mengikuti. "Oalah jadi beneran mau dapat beasiswa gak mampu ya. Dan lo ke sana pasti protes karena gak dapat juga, kan?" Tebak Hendrik dengan tersenyum lebar, namun senyumnya perlahan sirna saat Jaya sudah menghentikan langkahnya. Tangan pemuda itu sudah mengepal sempurna, ingin menonjoknya. "Eh, eh, kalem ... kalem. Gue becanda," katanya agak menjaga jarak. Jaya mendengus, berusah menahan emosi. "Terus Pak Jaelani bilang apa tadi?" Hendrik masih bertanya dengan senyuman manisnya. "Apanya?" "Gue tau, tadi Satria dipanggil karena masalah tawuran." Jelas pemuda itu setengah berbisik membuat Jaya melotot kaget, "gak usah kaget, anak-anak kelas juga udah tau kali. Kan emang Satria si baja hitam yang mengalahkan semua musuh-musuh." Katanya penuh semangat dan langsung terdiam saat Jaya menabok kepalanya kasar. "Eh, anj––" Hendrik merapatkan bibir hampir mengumpat kasar, "siapa aja yang tau?" Jaya balik bertanya. "Kan gue bilang semua anak kelas anying, ini kepala gue masih perih." Kesal Hendrik mengusap kepalanya masih terasa berdenyut, "ck, Pak Jaelani cuma lepas tangan." Hendrik langsung memekik kaget, Jaya jadi termundur karena pekikan pemuda itu. "Lepas tangan? Kecelakaan apa gimana? Kok bisa tangannya lep––ADUH!" Hendrik kembali ditabok oleh Jaya. "Lo kok napsuan sih mukulnya, lo kira kepala gue gendang?" Jaya mengalihkan pandangannya masih berekspresi keruh. "Lepas tangan maksudnya gak mau ikut campur lagi urusannya Satria. Lo punya otak gak sih, apa cuma jadi hiasan kepala?" "Anjir, pedas banget omongan lo." Jaya mendecak saja sembari melanjutkan langkahnya meninggalkan Hendrik di koridor sendirian. "Anjir, gue udah selangkah mengalami kemajuan untuk dekat dengan Jaya." Gumamnya kegirangan sembari sesekali mengusap kepalanya yang masih berdenyut. *** Bento melangkah masuk ke dalam rumah, mengucap salam lirih sembari mengedarkan pandangannya. Pemuda itu menganggukan kepalanya yakin kalau rumahnya kosong sekarang seperti biasa. Orangtuanya pasti di rumah sakit, tidur di sana untuk merawat Yunna, kakak perempuan Bento. Dari kecil Bento sudah terbiasa sendiran, sejak umurnya 6 tahun. Bangun tidur, ingin merengek mencari ibu seperti anak-anak lain. Tapi, sayangnya ibunya jarang ada di rumah. Bahkan, saking jarangnya mereka bertemu sampai Bento canggung kalau berpapasan lagi di dalam rumah. Kakaknya Yunna sakit kanker, bukan kantong kering. Tapi, benar-benar kanker sebuah penyakit. Tapi, Bento gak tau jelasnya kanker apa. Yang jelas kakaknya katanya sebentar lagi mati. Bento memegang perutnya yang terasa kelaparan, pemuda itu bersenandung lirih melangkah ke arah lemari es. Dibukanya dengan wajah berbinar lalu senyumannya lenyap begitu saja. Tidak ada isinya, hanya mineral botol dan juga ayam di freezer yang mungkin sudah dari 3 bulan yang lalu. Tidak ada yang masak, itu pun Bento yang iseng belanja. "Gue makan apadah," kesalnya dengan berjalan ke arah rice cookernya, membukanya namun tidak ada nasi di sana. Kosong semua. Bento pun akhirnya meraih gelas, mengambil air di galon dan meneguknya sebanyak dua gelas. Untuk memenuhi perutnya yang keroncongan. Pemuda itu pun berbalik dengan melangkah ke kamarnya, mencari dompet dalam tasnya. Ia mendecak lagi karena tidak isinya. Habis untuk sarapan bubur tadi pagi. "Ini gue jadi gembel aja kali ya, cocok banget." Gerutunya jadi merebahkan tubuh di atas kasur, "mana lapar lagi." Decaknya mengelus-ngelus perutnya pelan berusaha menenangkan cacing-cacingnya yang sudah protes meminta jatah. Bento terperanjat kaget saat mendengar suara mobil masuk ke halaman rumah membuat pemuda itu langsung melompat dari tempat tidurnya. Ia pun berlari keluar kamarnya dengan mengintip di balik jendela rumah, menyingkap hordeng di depannya. Ada sang kakak di sana yang dipapah oleh mamanya, sedangkan papanya menenteng totebag entah apa isinya. Bento langsung membuka pintu rumah membuat Yunna menatapnya sesaat. "Kok lo udah boleh pulang?" Tanyanya dengan alis bertautan, "dirawat jalan di rumah. Bosan di rumah sakit." Jelas sang kakak membuat Bento menganggukan kepalanya paham. Papanya menaruh totebag tadi di atas meja, Bento pun langsung mendekat dan membuka isinya. Ada buah dan juga beberapa box meal di sana membuat pemuda itu berbinar. "Itu makanan buat kakakmu, mamamu juga belum makan." Teguran dari papanya membuat Bento terkekeh pelan sembari menaruh kembali box meal di tangannya. Box mealnya hanya ada tiga, padahal di rumah juga ada Bento. Apa Bento hanya anak tidak kasat mata, makanya mereka tidak pernah mau membelikan makanan juga untuknya. "Pah, ada uang lima puluh ribu gak? Aku mau jajan somay depan," ujar Bento mendekat pada papanya yang sedang mencuci tangan. "Gak ada uang, minta sama mama sana." Bento menghela samar berusaha menurut. "Mama, ada uang lima pu––" "Kenapa, perut kamu sakit lagi?" Tanya mamanya pada sang kakak yang agak merunduk memegang perut, tidak menanggapi permintaan Bento di sampingnya. Bento tersenyum masam sembari berbalik saja, kembali masuk ke dalam kamarnya dengan perasaan sesak. Padahal Bento sebesar ini tapi masih tidak kelihatan juga. Ya, Bento tau. Orangtuanya perhatian begitu karena memang kakaknya sakit keras. Bento sudah memakluminya, bahkan menerima diperlakukan tidak adil selama ini. Tapi, lama-lama Bento tidak bisa merasa baik-baik saja kalau orang tuanya sampai lepas tangan akan dirinya. Bento cuma minta uang buat beli makan, bukan buat hamburin-hamburin seperti anak-anak lain. Ini Bento udah gemeteran karena lapar, tapi mereka hanya memikirkan diri sendiri. Box meal tiga porsi itu menjadi bukti kalau orangtuanya memang tidak pernah memikirkan keberadaan Bento. Bento jadi mikir, dan jadi berdoa aneh setiap malamnya. Ia ingin punya penyakit juga, biar dapat kasih sayang dari orangtuanya. Mungkin dengan begitu, Bento akan tahu bagaimana rasanya dipeduliin oleh orang yang ia sayang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD