Bento menghela napas ngos-ngosan, sembari memegangi kedua lututnya merasa lelah karena berlari memutari lapangan besar itu.
Kedua kakinya sudah tidak kuat untuk bergerak lagi. Ia pun langsung merosot duduk dan merebahkan tubuhnya di atas rumput yang terawat itu.
Hendrik dan yang lain memandangi itu dari belakang. Karena memang Bento yang unggul berlari sedari tadi sampai anak kelas tertinggal di belakang.
Akhirnya Bento menemuka kemahirannya setelah hidup kurang lebih tujuh belas tahun ini, yaitu berlari.
Hendrik, Yuta, Lucas, Hanung dan Bastian langsung merebahkan tubuh ke samping Bento sembari menetralkan napas mereka yang memendek.
Sedangkan, Yogi masih berlari riang sembari mengibas-ngibaskan kepalanya ke kiri dan kanan. Seakan tidak ada lelahnya. Entah darimana datangnya energi cowok itu.
"Capek sama haus, beli minum dong." Kata Hendrik menoleh pada Bento di sampingnya, "beli minum." Sambung Bento pada Lucas. "Sono, beli minum." Kata Lucas melempar pada Yuta yang langsung mendelik.
"Bas, beli minum." Bastian mengumpat samar, mendadak pura-pura tidur dengan kakinya yang menendang-nendang kaki Yogi.
"Beli minum." Yogi malah menulikan telinganya, berbalik dan ingin memeluk Bastian yang rebahan di sampingnya. "Najis, setan." Umpat pemuda itu kasar sudah terpancing membuat yang lain mendecak memegang leher merasa tenggorokannya sudah kering.
"Kalian haus ya, gue beliin minum dulu bentar." Suara lembut Jake membuat mereka kompak menoleh dengan kerlingan berbinar, apalagi pemuda jangkung itu sendiri yang menawarkan diri untuk membeli minum.
Jake pun melangkah pergi meninggalkan teman-teman kelasnya yang masih berusaha menetralkan jantung yang masih berdetak cepat.
Karena berlari memutari lapangan tadi Bastian jadi memegang perutnya merasa sakit perut atau kram. Tapi, di sisi lain ia merasa nyaman seperti melayang. Dikarenakan berlari bisa memicu pelepasan endorpin zat kimia di otak yang menghasilkan euforia.
Dan bahkan, tubuhnya merasa kebal terhadap sakit. Tapi, sekarang dia malah sakit perut.
Aneh memang.
Penyerapan oksigen akan meningkat saat berlari, hal ini bisa mengukur seberapa efisien Bastian menggunakan oksigen di sekitarnya.
Pemuda itu menolehkan kepala ke samping, memandangi sosok Jake berlari mendekat dengan kresek hitam pada tangan.
Jake langsung membagikan minuman mineral dingin itu pada teman-temannya yang langsung beranjak duduk dan membuka penutup botol minuman masing-masing.
"Sumpah ya, si Jaelani sama sekali gak belain kita pas disidang sama guru Pak Ilyas." Kata Bastian dengan bersandar dengan tangan kirinya, "jtu guru lo b**o, yang sopan." Geram Bento hampir melemparinya dengan botol di tangan. "Ya, lo pikir aja. Masa tadi kita juga diomelin pas salah."
"Terus lo mau dikasih pujian setelah bolos? Otak lo pindah ke lutut apa gimana?" Sahut Hendrik jadi emosi. "Senggaknya kan jangan ikut marahin kita." Bastian masih membela diri membuat Jake yang duduk bersilah bersama mereka jadi tersenyum samar.
"Sepertinya kalian harus balik ke kelas sekarang, sudah masuk jam kedua." Ujar Jake berdiri merapikan seragamnya sesaat, "Pak Jaelani udah tunggu di dalam. Kalian setelah selesai langsung masuk ya," pesan pemuda itu sudah berbalik.
"Jake!"
Jake menoleh kembali saat Hendrik memanggilnya, "thanks, minumannya." Kata pemuda itu setengah berteriak.
"Bukan dari gue." Balas Jake tersenyum samar, "tadi Jaya yang duluan beli. Kalau mau terima kasih sama Jaya aja," sambung Jake langsung pergi meninggalkan Hendrik dan teman-temannya yang masih berada di lapangan jadi melongo.
"Jaya Mahesa, kan?" Ujar Yuta tidak percaya.
"Mang Jaya kali, tukang ojek depan rumah gue." Celetuk Bento masih tidak percaya, "pantesan aja airnya berasa nonjok-nonjok bibir gue, ternyata dari Jaya." Sahut Bastian masing mengernyit.
"Ini serba salah jadinya, mau terima kasih takut. Gak terima kasih juga sungkan, apa pura-pura gak lupa aja kali ya." Tutur Yogi memberi ide, namun Hendrik mendecak tidak setuju. "Tinggal bilang terima kasih doang, ngapain takut." Kata pemuda itu sudah mengusap belakang celananya membuat teman-temannya mencibir.
"Cih. Palingan pas lihat muka Jaya lo langsung kabur, sok-sokan berani." Cibir Yuta sudah mengekori dengan melanjutkan meneguk minumannya sampai habis. Kemudian melempar botol bekasnya ke dalam tempat sampah di depan kelas.
Mereka pun melenggak masuk ke kelas dengan mengucap salam pada Pak Jaelani yang sudah duduk di sana dengan ekspresi keruhnya.
Hendrik sekilas melirik ke arah bangku sudut, dimana Jaya berada. Pemuda itu hanya duduk bersandar seperti biasa dengan sorot mata tajam. Seakan tidak ingin diganggu.
"Jadi, anak-anak mohon kerja samanya ya untuk satu semester ke depan. Bapak di sini cuma pengajar honor, bapak tidak punya kuasa untuk membela kalian kalau kalian melakukan kesalahan." Ujar sang guru menjeda sejenak, "kalau kalian terus-terusan menganggap kesalahan kalian adalah hal sepele. Bapak tidak akan bisa bertahan untuk menjadi wali kelas lagi." Sambungnya dengan nada lelah.
"Kalian hari ini melakukan dua kesalahan," kata gurunya dengan membasahi bibir sejenak, "pertama merusak properti sekolah dan juga berisik, kedua kalian melakukan dengan bebas sampai live di i********:. Dan kepsek saat itu nonton," lanjutnya dengan melirik Hanung yang langsung menundukan kepalanya.
"Jangan begitu lagi ya, ini terakhir kali ya kalian membuat masalah. Bapak mohon dengan sangat."
Anak-anak kelas berbeda terdiam beberapa saat. Berusaha mendengarkan apa yang sang guru katakan. Ya, memang sih mereka hari ini keterlaluan karena dangdutan sampai nginjak meja guru. Tapi, mereka sama sekali gak ngerusakin apapun.
Meja, sapu, kursi yang jadi properti panggung mereka masih utuh. Tidak ada yang patah atau rusak.
Gurunya terlalu melebih-lebihkan.
**
Satria berjalan cepat menuju gerbang sekolah, menerobos murid-murid lain di depannya. Cowok berkulit putih bersih itu merapikan jaket kulitnya dengan merogoh hapenya pada saku celana.
Ia memejamkan matanya sesaat sembari berlari keluar dengan terburu-buru. Ada motornya di tempat parkir tapi cowok itu tinggalkan saja. Ia berjalan menyusuri trotoar dengan sesekali merapikan rambut panjangnya yang hampir menutupi mata.
Setelah sampai di samping ruko, ia menemukan beberapa murid sekolah depan jalan sana sudah duduk bergerombolan di sana dengan rokok di tangan masing-masing.
Satria langsung menghampiri dan duduk di sana, "lo udah datang?" Tanya salah satu di antara mereka.
Satria mengangguk saja sembari memandangi balok kayu seukuran kepalan tangannya berjejer rapi di samping kaki mereka. Ada yang mengumpulkan batu juga, persiapan.
"Kita masih tunggu anak-anak, bentar lagi mereka datang." Jelas pemuda bertindik itu, seregamnya tidak terkancing satu pun. Terbuka bebas memperlihatkan kaos hitam polosnya dengan bibirnya yang masih mengisap dalam rokoknya yang menyala. "Sepuluh menit lagi kita jalan, anak-anak lain langsung menuju tempat janjian." Sambungnya kembali menghembuskan asap rokoknya bulat-bulat.
"Kalian kali ini harus lebih hati-hati, anak Bhinneka katanya ada yang bawa celurit juga. Kalau kena kalian bisa masuk rumah sakit, lebih parahnya mati di tempat." Kata pemuda itu sudah berdiri menginjak rokoknya dengan sepatu kanan.
Satria memejamkan saja mata sebagai balasan. Mengeluarkan sesuatu di dalam tasnya, memakainya dalam tangan. Ada knuckle di sana yang sudah ia pasangkan pada kedua tangannya.
"Kalian sudah siap?"
"Siap!" Balas anak-anak lain semangat, Satria saja yang tidak bersuara. Pemuda itu hanya menajamkan pandangannya dengan bergabung ikut tawuran bersama anak Tunas Bangsa, melawan anak Bhinneka. Sedangkan, sekolahnya adalah Garuda.
Satria sudah berjalan di belakang Jeno yang memimpin. Pemuda berotot itu sudah meregangkan otot-ototnya menuju tempat mereka janjian dengan anak Bhinneka
Lapangan belakang kediaman warga yang jarang dijamah. Sudah menjadi tumpukan sampah warga sekitar, di sanalah mereka akan bertemu untuk saling baku hantam.
Sesaat kemudian, kedua kubu itu sudah saling berhadapan dengan Jeno yang memimpin sebagai sekolah Tunas bangsa. Sedangkan, di depan mereka ada Herdi. Pemimpin sekolah Bhinneka.
Herdi tersenyum miring dengan memandangi Satria yang berdiri tegap di sebelah Jeno. "Sampai kapan kalian ajak anak itu? Dia kan bukan dari sekolah kalian," kekeh pemuda itu dengan menggeleng-gelengkan kepalanya heran.
"Itu bukan urusan lo." Balas Jeno dengan rahangnya yang mengeras. "Ya, memang bukan urusan gue. Tapi, gue risih lihat seragam sekolah lain di sini." Kata pemuda itu menaikan alisnya tinggi dengan kembali menatap Satria di depan sana.
"Apa dia adalah satria baja hitamnya kalian ya, atau dia cuma sebagai petarung bayaran?" Herdi masih sibuk mengomentari Satria, sedangkan pemuda itu sendiri tidak bereaksi banyak.
"Jangan banyak bacot, kalau lo takut sana pulang. Sembunyi di ketek mami lo, sana!" Cibir Jeno dengan tersenyum meledek, membuat Herdi mengeraskan rahangnya.
"Lo belagu ya karena ada Satria sekarang, tanpa Satria lo bukan apa-apa." Lanjut Herdi menatap Jeno lurus. "Lo cuma memanfaatkn dia kan? Karena itu lo mau berteman sama anak gila ini." Tunjuk Herdi tidak sopan pada Satria yang sudah perlahan melangkah maju tanpa aba-aba dari Jeno.
Jeno yang melihat itu langsung berteriak, "serang!" Katanya membuat dua kubu itu sudah saling baku hantam. Jeno berhadapan langsung dengan Herdi, sedangkan Satria meninju siapapun di depannya.
Dengan catatan, itu adalah kubu lawan.
Satria berjalan santai dengan meninju berulang kali anak-anak di depannya dengan knuckle pada tangannya. Sekali pukulan kuatnya membuat lawannya langsung merosot terkapar dengan muka babak belur sampai berdarah.
Pemuda itu mempererat genggamannya pada s*****a yang terbuat dari logam, yang ia pasang melingkari keempat buku jari terdepan tangannya itu. Bukan hanya pada tangan kanannya, tapi Satria juga memasangnya pada tangan kiri.
Sangat efektik digunakan saat adu fisik dalam jarak dekat begini. Itu yang Satria suka kalau saat berkelahi.
Pemuda itu menatap salah satu murid Bhinneka yang kini berdiri di depannya memegang celurit kini. Satria menajamkan pandangannya, pemuda di depannya itu tersenyum antusias lalu melompat maju melayangkan senjatanya pada Satria di depannya.
Belum sampai di dekat Satria, pemuda tadi sudah terjungkal ke belakang akibat tendangan kuat Satria yang jadi mendekat dan memandangi pemuda itu yang sedang terbaring di tanah berdebu di depannya.
Satria melirik celurit di samping kakinya kemudian menatap pemuda tadi lagi yang sudah bergetar kecil.
Satria merunduk, menindih pemuda itu dengan meninjunya berkali-kali sampai cowok malang itu sudah tidak sadarkan diri. Darah sudah terlihat pada hidung dan juga hampir seluruh wajahnya. Karena Satria masih menyerang tanpa ampun.
"Satria,"
Pemuda itu menoleh pelan pada Jeno yang kini berdiri dengan luka pada pelipisnya. "Balik," ajaknya membuat Satria beranjak berdiri. Sebelum benar-benar pergi ia mengedarkan pandangannya ke sekitar. Semua anak Bhinneka sudah terkapar di tanah berdebu itu. Meringis kesakitan dengan luka lebam.
Satria sengaja hanya menyerang wajah mereka, karena dengan begitu murid-murid Bhinneka masih bisa hidup. Dan itu berarti Satria bisa tawuran dengan mereka.
Bisa saja Satria memukul mereka sampai pingsan. Pukulan pada kepala bagian belakang, salah satu titik terlemah tubuh. Kalau pukulan terlalu kuat bisa berakibat meninggal.
Disebabkan karena kerusakan pada sistem otak pengatur kesadaran, Reticular Activating System. Salah satu jalan hanya dengan operasi, itu pun keberhasilannya hanya sepersekian persen.
Ada alasan tersendiri kenapa Satria sampai kekeuh untuk mempertahankan anak Bhinneka agar masih bisa menghirup oksigen.
Ada alasan kenapa dia bergabung bersama dengan Jeno dan teman-temannya untuk melawan anak Bhinneka.
Hanya Satria, Jeno dan tuhan yang tahu.
***
Cowok berwajah menggemaskan itu melambai pelan pada teman-teman perempuannya yang berpamitan pulang ke rumah masing-masing. Karena rumahnya yang paling jauh, ia harus melanjutkan berjalan kaki beberapa meter lagi setelah perpisahan tadi.
Arseno memang lebih banyak teman cewek dari pada cowok. Karena pemuda itu tidak paham dengan lingkungan kaum adam.
Sejak SD Arseno tidak suka bermain bola, dia hanya suka mengintili cewek-cewek bermain barbie di belakang sekolah. Bukan, karena dia ingin menjadi princess atau ratu seperti anak-anak perempuan.
Arseno ingin menjadi pangerannya. Pangeran berkuda putih dengan wajah yang tampan. Kulit putih bersih tanpa noda. Jadi, cowok itu membeli macam merk skincare untuk wajahnya.
Karena sering berjibaku dengan skincare, banyak orang berspekulasi kalau ia adalah salah satu dari laki-laki kemayu. Padahal Seno masih merasa ia adalah lelaki tulen.
Dia juga masih menyukai perempuan, tipe idealnya yang berambut panjang dengan mata monolid. Kalau ada yang kerudungan juga boleh, asal mendekati tipenya.
Tapi, Seno makin merasa kebingungan kalau berusaha dekat dengan anak-anak cowok di kelas. Ia akan sering dijadikan sasaran empuk, dikatai 'banci' dan hal lain sebagainya yang membuatnya sakit hati.
"Lo pake lisptik ya, banci lo bangsad!"
Bukan pake lipstik, emang dari lahir bibir Seno pink cerah begitu. Karena dia rajin merawat diri dan tentunya tidak merokok yang akan membuat bibirnya hitam.
"Lo homoan sama anak kelas sebelah ya, makanya sering lama-lama di kamar mandi berdua. Iya, kan?" Seno sebenarnya ingin menempeleng mereka semua yang mengatakan itu.
Seno punya satu-satunya teman cowok, saat jam olahraga mereka harus jauh-jauh ke kamar mandi untuk mengganti baju olahraga. Karena kelas sudah dikuasai oleh anak cewek.
Seno dan temannya hanya mengganti baju, padahal cuma beberapa menit. Tapi, mereka malah melebih-lebihkan dan menyebar hoaks yang tidak berdasar. Karena masalah itu, Seno jadi dijauhi oleh teman cowoknya sampai sekarang.
"Sudah pulang?"
Seno yang berjalan memasuki rumahnya dengan melamun jadi mengangkat wajah, sontak tersenyum pada mamanya yang sedang sibuk di dapur.
"Iya, mah. Baru pulang," balasnya dengan mendekat, menghampiri mamanya yang sedang memanggang kue kering. "Ganti baju sana, baru bantuin mama bikin kue ya."
Seno mengangguk cepat dengan wajah berbinar, paling senang kalau bisa membantu mamanya untuk membuat kue. Dan juga memasak untuk makan malam, karena ia suatu saat nanti ingin menjadi seorang koki.
"Ck, sudah berapa kali aku bilang. Jangan ajak anak itu masak-masak lagi? Kau sama sekali tidak mendengarkan ya?" Itu suara berat papanya yang baru keluar dari kamar dan langsung menghardik mamanya.
"Apa salahnya Seno bikin kue, mas. Lagipula ini keterampilan yang semua orang bisa lakukan, entah itu cowok atau cewek." Balas mamanya berusaha membela Seno yang masih berdiri di ambang pintu kamar. "Kau membantah ya sekarang, kau ingin anakmu beneran seperti perempuan! Jadi, banci yang dandan-dandan itu?!"
"Seno tidak seperti itu!"
"Lancang ya kau, teriak sama suami sendiri?!"
Seno menghela napas samar, menutup pintu kamarnya rapat. Berusaha menulikan telinganya. Ia merebahkan tubuhnya di atas kasur, memandangi langit-langit kamarnya dengan tatapan sayu.
Apa Seno harus kekar seperti preman dulu baru diakui sebagai lelaki tulen. Atau punya roti sobek untuk diakui. Emang definisi laki-laki yang sebenarnya itu seperti apa. Seno masih penasaran.
Padahal selama ini Seno juga tidak melakukan hal ekstrem seperti yang mereka sangka.
Dandan seperti perempuan. Pake baju perempuan. Suka sesama jenis alias homo.
Tidak. Seno sama sekali tidak seperti itu.
Ia tidak suka berdadan, hanya memakai skincare rutin setiap hari. Pake baju perempuan? Tidak, dia bahkan tidak menyukai warna pink yang identik dengan warna kesukaan perempuan itu. Homo? Apalagi itu, Seno masih suka cewek.
Seno harus bagaimana lagi agar mereka setidaknya percaya kalau ia adalah cowok tulen. Bukan hanya di lingkungan sekolah yang mengasingkannya, tapi juga di rumahnya sendiri.
Ayah, kedua kakak laki-lakinya pun sampai menatapnya sinis setiap mereka berpapasan di rumah. Seno seakan bangkai tikus yang menjijikan, yang membuat mereka enggan menatap Seno seperti layaknya seorang keluarga.
"Apa gue ngerokok aja ya?" Gumamnya dengan mengerjapkan matanya sayu. "Tapi, rokok gak bagus buat kesehatan." Ujarnya bermonolog sendiri.
"Atau main cewek ya, terus minum-minuman keras gitu. Biar dikatain cowok," Seno masih menyayukan kelopak matanya dengan perasaan sesak. Sudah muak mendengar omongan orang-orang di sekitarnya.
Pemuda itu beranjak berdiri dengan berjalan ke arah jendela kamarnya, memandangi dua mobil yang baru saja memasuki bagasi rumah.
Dua kakak laki-lakinya di sana, turun dari mobil sport dengan menggandeng pacar mereka. Kalau tidak salah pacarnya beda dengan yang minggu kemarin. Bahkan, minggu yang lalu juga beda.
Seno kira papanya akan mengomentari itu atau menegur kakak-kakaknya yang sudah membawa perempuan ke dalam rumah. Bahkan, ke dalam kamar mereka.
Tapi, sang papa malah mendukung. Karena laki-laki memang seperti itu kodratnya. Dikelilingi perempuan karena pesonanya bukan karena kemayunya.
Kedua kakaknya punya mobil, bahkan punya motor juga. Sedangkan, Seno tidak difasilitasi dengan kendaraan untuk pergi sekolah. Saat Seno mengatakan keinginannya untuk punya motor malah dikatai 'manja' sama papanya.
"Anak cowok harus bisa jalan kaki, jangan manja."
Sekolah Seno dengan rumahnya berjarak hampir dua kilo, dan pemuda itu harus jalan kaki ke sana. Sebenarnya bisa saja pemuda itu naik ojek atau angkutan umum. Uangnya juga masih bisa membayar taxi. Tapi, ia hanya ingin membuktikan dan mendapat tanggapan dari sang papa. Kalau Seno sebenarnya juga laki-laki.
Laki-laki tulen, bukan seperti yang papanya pikirkan.
Seno mendecak samar, memandangi pacar-pacar kakaknya. "Apa hamilin anak orang aja kali ya, biar diakui." Katanya sudah nelangsa dengan tangannya yang perlahan mengepal erat.