Reduce to Tears

2006 Words
Jake merapikan anak rambutnya yang berjatuhan pada keningnya. Ia tengah berdiri di pinggir lapangan menunggu teman kelasnya yang masih belum selesai mengganti pakaian olahraga. Jam pertama hari ini adalah penjaskes. Dan pemuda itu yang pertama hadir di lapangan sendirian. Beberapa saat kemudian teman-temannya berkerubunan menyerbu lapangan. Jake masih berdiri, belum pindah dari pinggir lapangan. Pemuda itu masih merasa ada yang sesuatu yang gurunya sembunyikan dari anak kelas soal dipanggilnya Satria kemarin. Setelah dipanggil di jam pertama, Satria tidak terlihat lagi sampai pulang. Pemuda itu baru kelihatan tadi pagi dengan ekspresi datarnya. Sampai sekarang, Jake belum sedikit pun mendengar suara cowok itu. "Hari ini katanya mau olahraga basket, jadi kalian pemanasan aja dulu. Jangan sampai nanti cedera saat main," jelas Hendrik dengan tersenyum manis buat Yuta mendelik merinding. "Gak usah sok manis, anjir. Gak cocok." Cibir pemuda keturuan jepang itu membuat Hendrik ingin melemparnya dengan sepatunya. "Tolong ya, gue sedang membangun image baik. Jadi, jangan jadi setan dulu." Geram pemuda itu sudah menunjuk-nunjuk tidak sopan pada wajah Yuta. "Najis, biasanya juga lo jadi setannya." Hendrik langsung berlari maju dan menjambak pemuda itu. Keduanya pun terlibat adu gelut, dan tidak ada yang peduli sama sekali. Eric di tengah lapangan sudah duduk bergerombol dengan Gilang, Mark dan juga Daewhi. Keempatnya malah main pancasila lima dasar dengan serunya. Walau beberapa kali mengumpat kasar karena Daewhi yang tidak mengerti cara bermain. Saat dihukum karena kalah, Daewhi yang malah semangat menempeleng kepala Eric, Gilang dan juga Mark. Dan berakhir ketiga pemuda itu langsung menghajarnya bersamaan. Di sudut lapangan ada Niki yang bersandar pada pohon di belakangnya. Pemuda itu nampak terlelap dengan mendengkur samar. Sampai terperanjat kaget saat Wawan memukul jidatnya kasar lalu bersembunyi. Semua asik sendiri, hanya beberapa yang berbaris teratur. Walau setelah itu kembali duduk selonjoran tidak semangat karena matahari sudah terik di atas sana. Bukan panas hangat lagi, tapi panas sampai bikin keringatan. Itu yang membuat Arseno dan Lucas berteduh. Hanung sudah sibuk dengan kameranya, merekam video di tengah lapangan. Lalu berpindah ke teman-temannya satu-persatu. "Sekarang kita mau olahraga ya gaes, katanya materi hari ini tentang cara bermain basket." Kata Hanung masih mengarahkan kamera depannya pada wajah, "kita sekarang sedang pemanasan. Matahari juga udah terik, ini kita sampai kepanasan." Sambungnya masih berbicara sendiri. "Karena hari ini aku mau memenuhi janjiku, jadinya aku akan memperkenalkan teman-teman kelasku ya gaes." Katanya lagi dengan nada riang sembari sesekali melambaikan tangannya manis. "Kita akan menyapa empat sahabat ini dulu ya, silahkan lambaikan tangan kalian ke kamera?" Hanung mengerjapkan tangannya menyuruh Eric, Gilang, Mark dan Daewhi untuk melambaikan tangan. Keempat pemuda itu pun langsung melambai dengan manis, padahal masih acak-acakan karena saling menjambak sedari tadi. "Ini namanya Eric, dia tinggi rambutnya agak pirang. Emang aslinya begitu, dia ini partner in crimenya Gilang." Jelas Hanung menunjuk Eric di sebalahnya, "dan ini namanya Gilang, sebenarnya dia ini tampan tapi ketutup sama kelakuan gilanya. Jadi, percuma." Gilang hampir menonjoknya namun kembali tersenyum manis saat kamera mengarah padanya. "Ini Mamang ... " "Mark b**o, jangan panggil Mamang." Ralat cowok kecil yang fanatik akan buah semangka itu, "kan emang nama lo Mamang." Mark mendecak samar, "biar keren image gue." Hanung pasrah saja, mau tidak mau mengangguk menurut. "Iya, namanya Mark." Kata Hanung tifak ikhlas. "Saya Daewhi, salam kenal dan terima kasih." Hanung menganga kecil melihat Daewhi langsung merampas hape miliknya dan memperkenalkan dirinya sendiri dengan semangat. Hanung pun beranjak pergi dengan menghela napas frustasi, "biasalah gaes, teman kelas gue isinya setan semua." Katanya kembali tersenyum masam. "Eh ada Jake," sapanya riang, mengambil tempat di sebelah pemuda tampan itu yang langsung menyapa ke kamera. "Ini live **?" "Gak kok, buat vlog." Hanung membalas seadanya, "oke, gue harus ngapain?" Tanya Jake bingung. "Saya hi saja sama kamera." "Hi, kamera." Hanung merapatkan bibir lalu berbalik pergi begitu saja. "Gue salah ya?" Gumam Jake sendiri sembari tersenyum saja tidak mengerti. Hanung ingin melanjutkan vlognya, namun terhenti saat melihat sang guru mendekat dengan membawa absen pada tangan. Pemuda itu pun langsung mematikan hapenya setelah menyimpan video pendeknya. Ia bergabung berbaris dengan teman kelasnya yang acuh tak acuh untuk ikut olahraga. "Itu siapa yang tidur?" Tegur guru olahraga pada Niki yang masih mendengkur kelelahan. "Tuh bocah malamnya ngepet kali ya, makanya setiap datang sekolah tidur mulu." Bisik Yogi pada pada Hanung di sebelahnya. "Abisnya gak pernah sekalipun dia kelihatan segar kayak kita." Tambah Yogi masih berbicara dengan mata memicing. Niki yang dibangunkan oleh Hendrik langsung mengusap wajahnya kasar. Menunduk pelan meminta maaf pada sang guru. Guru olahraga berperut buncit itu pun mengibaskan tangannya menyuruh ikut berbaris. Niki pun berterima kasih dan berdiri di belakang tubuh jangkung Satria. "Di sini ada yang sudah pernah main basket atau pas kelas sepuluh ikut ekskul basket?" Tidak ada yang menjawab, mereka saling pandang lalu Mark mengangkat tangan. "Kamu berapa lama main basket," "Saya bisanya main kelereng, pak." Balas pemuda itu sudah cengengesan, "terus kenapa kamu angkat tangan?" Ketus sang guru. "Soalnya gak ada yang angkat tangan, makanya saya berinisiatif un––" "Sudah, diam." Mark langsung merapatkan bibirnya membuat beberapa temannya terkikik geli. Terutama Hendrik yang sudah memukul-mukul bahu Yuta di depannya sampai pemuda itu terdorong-dorong kuat karena pukulannya. "Jadi, tidak ada yang pernah main basket ya?" Jaya mengangkat tangan membuat semua perhatian kembali tertuju padanya. "Satria pas SMP tim inti basket, pak." Jelas pemuda itu sembari menoleh pada Satria yang hanya berekspresi datar, tidak terusik atau terganggu saat namanya disebut. "Kamu bisa main basket juga selain mau keroyokan?" Sindir sang guru dengan menggelengkan kepalanya heran, "sudahlah, tidak ada yang bisa berarti." Kata pria berperut buncit itu sama sekali tidak menanggapi perkataan Jaya yang merekomendasikan Satria sebagai murid yang lihai bermain basket. "Kalian pemanasan aja dulu, saya harus terima panggilan ini dulu." Katanya masih menatap hapenya lalu melangkah pergi begitu saja meninggalkan anak-anak kelas berbeda di lapangan. Jaya menoleh pada Satria yang hanya berdiri tenang, hanyut dalam lamunannya sendiri. "Kita mau pemanasannya lari aja, gaes?" Tanya Hendrik sudah berdiri di depan, "pemanasannya bisa makan bakso aja gak? Kan sama-sama panas." Celetuk Bento sembari mengerjapkan matanya penuh harap. "Atau nonton anu aja, biar panassss." Sahut Gilang sudah heboh sendiri dan langsung terdiam saat Eric menabok kepalanya. "Lihat doi sama yang lain ajalah, panas banget itu sampai terbakar." Kata Lucas sudah drama, "tabok muka lo pake sendal jepit aja kali ya, panas banget pasti." Sahut Hendrik sudah hilang kesabaran. "Sudah, lari aja kali." Kata Hendrik memutuskan membuat teman-temannya menurut saja. Seseorang tengah berdiri di depan ruang guru membuat mereka jadi menoleh bersamaan. Sosok itu memakai kemeja putih yang dipadukan dengan celana kain hitamnya. Anak-anak kelas berbeda masih memandangi itu dengan berspekulasi kalau itu adalah guru magang baru. Dugaan mereka makin kuat saat melihat sosok itu sudah masuk ke ruang kepala sekolah. "Apaan, nih? Kenapa mendadak perasaan gue gak enak." Gumam Hendrik dengan ekspresi keruhnya. "Perasaan lo mah gak enak mulu, sering maksiat sih lo." Cibir Yuta tanpa dosa. "Bukan b**o, siapa tau Pak Jaelani ngundurin diri atau cuti gara-gara kita." Kata pemuda itu membuat teman-temannya jadi terdiam. Sesaat saling pandang lalu kembali menatap lurus ke arah ruang kepala sekolah. Perhatian mereka kembali teralihkan saat guru olahraga menghampiri mereka lagi di lapangan. Guru itu terkekeh pelan dengan menggeleng-gelengkan kepalanya heran. "Kalian memang luar biasa, karena kenakalan dan masalah yang kalian buat. Pak Jaelani jadi ngundurin diri, katanya sih cuti ... tapi itu cuma alasan klasik." Kekeh guru olahraga seakan meledek, "baguslah, kalian akan dapat guru baru lagi sekarang. Palingan juga bertahan beberapa hari karena harus menghadapi kalian semua." Lanjutnya kemudian menghela napas kasar. "Guru baru?" Tanya Hendrik yang berdiri di sampingnya, belum berpindah tempat. "Hm, guru baru. Kalau gak salah namanya Azzam." *** Hanung menutup pagar rumahnya rapat, setelah turun dari ojek pemuda itu langsung bergegas masuk ke dalam gerbang. Ia bersenandung senang sudah tidak sabar untuk masuk ke dalam rumah. Cowok keturuan arab-bandung itu sudah membuka pintu rumah dengan kunci yang dipegangnya. Ia mengucap salam dengan nada manis lalu memanggil kedua orangtuanya. "Bundaaa, ayaaah." Sapanya setengah berteriak sembari melepas sepatunya di samping pintu. Kemudian menaruhnya pada rak sepatu. Ia sontak tersenyum lebar saat melihat seseorang keluar dari salah satu kamar dengan kursi rodanya membuat Hanung buru-buru mendekat. Mencium tangannya dan memeluknya erat. "Hanung udah pulang, bunda." Ujarnya masih mengeratkan pelukannya membuat perempuan di kursi roda itu tersenyum manis dengan menepuk-nepuk bahu sang anak. "Bunda sudah makan, kan? Ayah dimana?" Tanyanya lembut sembari menarik diri dan berjongkok di depan bundanya. "Udah, bunda udah makan. Ayahmu lagi ngerjain pesanan di kamar sebelah, pasti gak kedengaran suara kamu." Hanung terdiam sesaat sembari melepaskan ranselnya, mengambil hapenya dan juga headshetnya, memasangkannya pada telinga sang bunda. "Ini tadi vlog yang aku rekam, ada teman-teman kelas baru aku. Belum semuanya sih, mungkin besok baru aku videoin sisanya." Jelasnya beranjak berdiri mendorong kursi roda bundanya ke dalam kamar. "Bunda, nontonnya di kamar aja ya. Hanung mau mandi dulu, habis itu makan. Belum sholat juga, soalnya tadi mati lampu di sekolah gak ada air." Ujar pemuda itu sembari sesaat memeluk bundanya lagi. "Aku balik lagi nanti ya," bundanya mengangguk dengan senyuman lembutnya. Hanung sudah berlari keluar dari kamar, melangkah pelan ke kamar sebelah. Ia membuka pintu hati-hati, memandangi ayahnya yang tengah membelakanginya. Fokus pada layar di depannya. Hanung tersenyum sesaat, kembali menutup pintu kamar pelan. Pemuda itu pun bergegas menuju kamarnya. Saat di dalam kamar, ia melepas seragamnya dan ranselnya. Pemuda itu langsung masuk ke kamar mandi, membersihkan diri kemudian mengambil wudhu. Karena belum melaksanakan sholat dzuhur. Setelah selesai sholat, Hanung masih duduk di atas sajadahnya dengan tatapan kosongnya. Ia kemudian menggelengkan kepalanya mengenyahkan pikiran buruknya. Hanung bersyukur pada Allah karena masih memberi umur panjang pada kedua orang tuanya. Kedua orangtuanya mengalami kecelakaan tragis saat dia duduk di bangku SMA. Alhasil ayahnya lumpuh total, begitu pun dengan sang bunda. Bedanya bundanya juga mengalami kebutaan permanen. Itulah alasan kenapa Hanung sering membuat vlog gak jelas yang teman-temannya katakan. Buat vlog di dalam kelas, di koridor, di kantin. Dimanapun itu kalau ada kesempatan Hanung akan membuat video. Itu semua ia lakukan agar ibunya bisa mengetahui gimana sekolahnya Hanung dan juga ciri-ciri temannya Hanung walaupun tidak bisa melihat. Karena pemuda itu sudah menjelaskan dengan detail, ciri-ciri teman-temannya dalam video. Bukan karena pengen tenar, ia hanya ingin menceritakan tentang keadaan dunia di luar untuk kedua orangtuanya yang tidak bisa keluar rumah. Walaupun orangtuanya berbeda dengan orangtua teman-temannya. Tapi, Hanung tetap bisa bersyukur dan senang karena setidaknya mereka masih ada sampai sekarang menemani Hanung. Ya, meskipun kadang ada orang yang mencibir dan menyinggung tentang orangtuanya yang cacat. Hanung hanya bisa membalas mereka dengan senyuman. Tidak ingin membalas dengan tenaga fisik atau pun otot. Karena bundanya sudah menasehatinya untuk selalu baik-baik dengan teman-temannya. Tapi, sampai sekarang ia belum menemukan teman yang betul-betul 'baik'. Sebenarnya bukan hanya teman, guru-gurunya juga kadang ada yang menyinggung tentang orangtuanya. Katanya orangtua Hanung tidak bisa menjadi sosok yang bertanggung jawab. Orangtua harusnya bisa menjadi tempat berlindung untuk anak-anaknya. Bisa menjaga mereka di barisan terdepan. Menyiapkan semua kebutuhan mereka. Bukannya malah menjadi beban, kalau cuma itu yang mereka bisa kenapa gak mati aja saat kecelakaan. Sampai sekarang Hanung masih sakit hati kalau mengingat ucapan sang gurunya dulu. Makanya Hanung sama sekali tidak percaya dengan orang-oranh dewasa selain orangtuanya sendiri. Hanung hanya ingin menemukan satu saja orang dewasa yang bisa menyemangatinya disaat Hanung sedang lelahnya. Disaat Hanung merasa hidup begitu menyedihkan. Karena menyakitkan melihat ayah dan bundanya yang terus-terusan dicibir tetangga dan orang-orang. Pernah sekali saat bundanya sakit demam sampai tubuhnya bergetar hebat. Hanung meminta bantuan pada tetangganya untuk mengantar karena itu sudah larut malam. Namun, tetangganya malah membentak Hanung dan hampir menonjok pemuda itu. Hanung meminta tolong karena memang ia tidak bisa mengendarai motor ataupun mobil. Ayahnya juga tidak bisa membawa mobil karena kakinya lumpuh. Karena hal itu, Hanung makin meragukan kalau manusia baik itu sudah langka. Apalagi orang-orang dewasanya. Tidak ada yang punya empati sama sekali. Jadinya, Hanung merawati ibunya sendirian di rumah sampai pagi. Tidak tidur sama sekali. Karena ia takut kalau ada yang terjadi pada sang ibu. Hanung menghela napas, merunduk dalam dengan menitikan air matanya di atas hamparan sajadahnya. "Ya Allooh kalau masih ada orang baik, satu saja ... tolong pertemukan aku dengannya. Aku mohon, ya Allah."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD