Giorgino's Secret

1325 Words
Jaya memarkirkan motornya sembari melepas helm KYT rider motif venomnya. Kemudian menyampirkannya pada spion motor. Pemuda itu sesaat merapikan rambutnya, lalu beralih meluruskan dasi pada kerah baju. Pemuda jangkung itu melangkah pelan dengan sorot mata tajamnya. Ia perlahan mengeraskan rahang saat mengingat perdebatannya dengan guru baru kemarin di kelas. Sebenarnya ia tidak menyangka kalau guru itu akan membalasnya dengan kalimat yang membuat Jaya mati kutu. Dan yang paling membuat Jaya merasa kesal adalah guru itu masih membalas perkataannya dengan senyum tenang seakan tanpa beban. Tidak sekali pun terlihat ekspresi keruhnya seperti guru-guru lain yang mengernyitkan dahi merasa frustasi dengan sikap Jaya dan anak kelas. Tapi, guru itu berbeda. Tingkah laku dan kepribadiannya jauh berbeda dari guru-guru lain yang membuat Jaya makin merasa penasaran dengan identitas asli wali kelasnya itu. Dan sebenarnya apa tujuannya memilih menjadi wali kelas anak berbeda. Kenapa juga saat Pak Jaelani mengundurkan diri, guru itu malah datang tidak diundang dan mengatakan akan menjadi wali kelas menggantikan Pak Jaelani yang sudah kabur dari tanggung jawab. Jaya ingin memastikan sebenarnya ada hal apa yang menarik perhatian guru itu sampai mau repot-repot menjadi wali kelas mereka. Hal inu benar-benar patut dicurigai. Karena memang Jaya jarang menemukan orang yang tulus. Semua orang yang ingin dekat dengannya pasti akan pemuda itu seleksi dengan ketat.  Jaya berbelok ke arah koridor kelasnya dengan sesekali menghela napas samar saat ada beberapa yang menyapanya dengan nada centil. Selain orang munafik, pemuda itu paling membenci spesies bernama wanita. Apalagi yang jenisnya seperti ular kedut. Bukannya pemuda itu gak normal, Jaya sangat normal dan sampai sekarang masih menyukai perempuan. Tapi, tidak untuk cewek-cewek yang urat malunya putus. "Jaya!" Jaya tersentak kecil saat mendapati Hendrik kini berdiri menghadangnya dengan kedua lengan terbuka. Pemuda itu nampak ngos-ngosan sepertinya berlari sampai ke kelas untuk mengejar Jaya. "Lo kok gak berhenti sih, padahal udah gue panggilin dari tadi pas lo turun dari motor." Gerutu Hendrik sembari memegang lutut, berusaha mengambil napas sesaat. "Apa?" Balas Jaya dengan dagu terangkat tinggi membuat Hendrik jadi melangkah mundur. "Itu anu, gue mau bahas masalah guru baru." Jaya menaikan alisnya mendengar ucapan ambigu Hendrik yang kini menarik lengan Jaya agar lebih ke pinggir, tidak menghalangi jalan murid-murid lain yang mondar-mandir di koridor. "Bahas apa?" Hendrik menipiskan bibir sembari berdehem samar, "gue rada curiga sama gurunya. Apalagi beliau masuk bertepatan saat Pak Jaealani keluar. Ini gak ada konspirasi kan?" Hendrik bertanya dengan agak mendongak pada Jaya yang proporsi tubuhnya memang lebih tinggi. "Ya, lo mikir gak sih. Ini berasa aneh banget, apa ini perbuatan kepala sekolah sampai nekat merekrut guru baru yang aneh begitu?" "Saya aneh gimana?" Hendrik sontak melompat kaget saat seseorang sudah muncul di belakangnya dan kini merangkulnya dengan tersenyum. Jaya juga terlihat mengerjapkan matanya berulang kali, kelihatan kaget melihat kemunculan guru baru mereka itu yang kini berdiri di antara keduanya. Namun, seperti biasa Jaya bisa mengusai ekspresinya dengan cepat. Kembali memasang raut datar seperti tidak terusik. "Bapak ... sejak kapan ... muncul?" Gagap Hendrik sembari menelan ludah berulang kali.  "Sejak kata guru baru," balas Azzam santai kembali menegakn tubuh, menarik lengannya yang bertengger pada bahu Hendrik. " Guru baru yang mau kalian bahas itu saya kan?" Hendrik jadi tersenyum masam sembari menggelengkan kepalanya pelan lalu berpamitan untuk masuk kelas. Beralasan ada tugas yang belum diselesaikan. Sedangkan, Jaya masih berdiri di sana dengan menggerakan kepalanya ke samping menatap sang guru dengan tatapan dinginnya. "Kamu juga kembali saja ke kelas," ujar Azzam sembari mengibaskan tangannya menyuruh pemuda itu untuk pergi. Jaya tidak membalas, pergi begitu saja tanpa sepatah kata. "Anak-anak sekarang emang nakutin ya." Gumam Azzam jadi terkekeh sendiri. Berbalik pergi menuju ruang guru setelah mengecek kelas berbeda yang masih kosong melompong. Belum ada penghuninya sama sekali. Padahal sudah mau jam masuk. Azzam melangkah santai ke koridor sembari sesekali menganggukan kepalanya ramah saat ada beberapa murid yang menyapanya. Pemuda yang baru berumur 20 tahun itu pun berbelok ke arah ruang guru dan menghentikan langkahnya saat melihat sebuah mobil sedan hitan terparkir di depan gerbang. Alisnya terangkat samar melihat salah satu muridnya keluar dari sana dengan muka pucat. Salah seorang yang berada di dalam mobil terlihat meneriakinya kuat. Untungnya tidak ada siapa-siapa di sana. Gerbang sepi karena para murid sudah berada di dalam kelas masing-masing. Terkecuali murid kelasnya yang baru muncul segelintir orang. Termasuk anak yang sudah berjalan masuk tanpa mendengar teriakan dari orang yang berada di dalam mobil. Azzam mengenali sosok muridnya itu yang melangkah pelan dengan bibirnya yang terlihat kering. Keringat juga bercucuran pada pelipisnya membuat Azzam diam-diam jadi mengekori. Apalagi melihat ada sesuatu yang aneh pada sang murid yang sudah berbelok ke arah ruangan UKS. Pemuda berseragam rapi itu melenggak masuk ke dalam UKS sembari menutup pintu rapat. Azzam pun masih mengekori dengan melangkah cepat berusaha mengejar. Ia membuka pintu lebar membuat sang murid melebarkan mata kaget dengan baju seragamnya yang ditanggalkan sekarang. Luka memar ada dimana-mana. Belakang punggungnya terlihat kemerahan dengan bercak darah di sana seperti dicambuk. Azzam melangkah mendekat membuat sosok yang tidak lain adalah Giorgino itu langsung kembali mengenakan seragamnya cepat. Namun, Azzam menahannya sembari melirik punggung belakang sang murid. "Harus diobati dulu," ujarnya dengan nada tenang membuat Gio panik. Kalau-kalau gurunya ini sampai membawanya ke rumah sakit dan orang-orang jadi tahu tentang rahasia yang selama ini berusaha ia tutupi. Ia akan makin mengalami penderitaan yang lebih lagi dari ini. "Tenang saja, bapak hanya akan mengobati kamu di sini." Kata Azzam seakan mengerti tatapan Gio yang ketakutan. "Bisa menghadap ke sana, biar bapak bersihin luka kamu dulu." Gio menurut saja dengan menutupi dadanya dengan seragam. Azzam menghela napas samar memandangi luka lecet itu dan beberapa juga ada memar di sana yang membuat pemuda itu menipiskan bibir. "Ini bapak bersihin sama olesin pake salep ya, tahan karena akan terasa sedikit perih." Ujarnya lalu mulai membersihkan luka dengan kapas yang sudah dikasih obat membuat Gio meringis lirih sembari mengepalkan tangannya erat berusaha menahan sakit pada sekujur tubuhnya. "Ini bapak obatin salep lagi," lanjutnya kemudian mengoleskan salep dengan telaten. "Hari minggu besok, kamu bisa temui bapak?" Tanya Azzam masih dengan tangan yang sibuk, "ke-napa, pak?" "Luka ini gak akan bisa sembuh kalau cuma dioles dengan obat seadanya. Apalagi ini luka cambuk sama luka akibat kena benda tumpul." Gio menegak kaget mendengar itu, "kenapa harus sekaget itu? Semua pasti akan langsung tau kalau ini luka akibat kekerasan." Sambungnya kemudian menutup salep dan mengembalikannya ke tempat semula. "Hari minggu kita ke rumah sakit," "Ja-jangan, pak. Saya ... " "Tenang saja, bapak akan melakukannya secara diam-diam. Biar papa kamu gak tau." Ujarnya dengan tersenyum samar, Gio lagi-lagi meneguk ludah kasar mendengar perkataan sang guru yang entah kenapa tahu semua rahasianya. "Giorgino, seharusnya kamu lebih bisa melindungi tubuhmu sendiri. Jangan terus-terusan bersembunyi sampai pasrah begini. Kamu sendiri yang susah," Gio tertohok, jadi merunduk samar merenungi kesalahannya. "Kamu istirahat saja dulu di sini, bapak akan bilang sama guru yang ngajar jam pertama." Pamitnya berbalik pergi membuka pintu lebar namun terhenti saat Gio kembali memanggilnya, "terima kasih, pak." "Hm," dehemnya lalu melanjutkan langkahnya hendak berbelok, namun ia termundur kecil saat melihat seseorang di depannya kini berdiri dengan memegang hoodie abu-abu pada tangan dengan ekspresi keruhnya. "Loh, Jaya? Kenapa kamu di sini?" Gio yang mendengar itu di dalam UKS jadi meneguk ludah kasar mendadak panik kalau salah satu teman kelasnya itu akan membocorkan rahasianya pada anak kelas. Walau ia tahu kalau cowok itu bukan tipe yang seperti itu, tapi ia tahu sekali kalau Jaya termasuk ornag yang berbicara frontal. Gio takut kalau suatu saat Jaya menyinggung tentang soal ini ke anak kelas. Jaya masih diam berusaha mengambil napas, "maksud omongan bapak tadi apa?" Tanyanya dengan sorot matanya yang sudah menajam. Azzam menaikan alis tidak mengerti sembari melirik kedua tangan muridnya itu yang sudah mengepal sempurna. "Jadi, maksud bapak ... Gio dapat k*******n dari bokapnya?" "Iya, benar." Jaya melebarkan manik matanya, menatap sang guru tepat. Tidak menyangka akan dijawab jujur begini membuat Jaya merunduk samar, mendecak kasar. "Tidak bisa, sekarang kita harus ke kantor polisi." "Untuk apa?" "Laporin bokap Gio." Balasnya tegas buat Azzam terdiam lama, kehilangan kata-kata.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD