Hendrik's Story

1222 Words
Jaya sudah ingin berbalik pergi namun langkahnya terhenti saat Gio berlari ke depannya dan menghentikan pemuda itu. "Jangan bertindak seenaknya, gue bisa ngurus masalah gue sendiri. Jadi, tolong berpura-puralah tidak mendengar penjelasan Pak Azzam tadi." Kata Gio tegas lalu melangkah pergi menuju kelas walau sesaat melirik Azzam yang hanya menatap keduanya dalam diam. "Tidak perlu terburu-buru, pasti ada alasannya kenapa Gio sampai menutupi masalahnya selama ini. Jadi, jangan terlalu dipikirkan." Azzam sudah mengambil tempat di samping Jaya yang langsung melengos samar saat melihatnya. Salah satu muridnya itu pun langsung melangkah pergi meninggalkan Azzam di depan ruang UKS sendirian. "Aku juga harus sabar, Jaya pasti ada alasan kenapa sensi tiap ketemu aku." Gumamnya bermonolog sendiri sembari melangkah pergi dengan tersenyum masam. Azzam Reyhan Reswara, anak sulung dari dua bersaudara. Adik perempuan sekaligus kembarannya bernama Azura Rena Redwana. Bukan tanpa alasan Azzam datang mengabdikan dirinya untuk mengajar di sekolah lamanya itu, mengajar anak-anak yang katanya bermasalah selama ini. Banyak hal yang mereka lakukan yang membuat guru-guru memilih untuk tidak berurusan dengan mereka. Lebih tepatnya, mereka menjauhkan diri dan membiarkan saja anak-anak itu melakukan sesukanya. Yang terpenting saat jam pelajarannya mereka tidak berbuat masalah. Selain itu, terserah mereka. Guru-guru di sana benar-benar lepas tangan. Tidak ada yang benar-benar peduli. Azzam sudah lama mendengar berita tentang anak-anak kelas berbeda ini. Sampai setiap hari pasti ada saja masalah yang mereka buat. Entah karena masalah mereka di dalam sekolah, maupun di luar jam sekolah. Ia sudah mempelajari banyak hal tentang dua puluh muridnya itu. Mencari tahu tentang semua hal tentang mereka, entah dari keluarga, lingkungan sampai kebiasaan mereka yang kini sudah Azzam pelajari dengan baik. Tentang alasan-alasan mereka sampai dicap buruk sama sekolah. Azzam merasa terusik karena guru-guru dan juga murid-murid di sana seakan mengasingkan mereka. Hanya ada beberapa yang sekedar kenal dengan mereka, itu pun yang pernah satu kelas dengan murid-muridnya itu. Ia mengetahui anak-anak kelas berbeda dari Jaelani. Yang setiap hari selalu menceritakan perkembangan anak-anak itu padanya sejak mereka kelas sepuluh. Jaelani adalah salah satu sahabatnya dan mereka berdua tinggal satu kamar di asrama pondoknya, Pondok Cahaya Islam. Salah satu alasan Jaelani mengundurkan diri adalah karena harus bertanggung jawab atas masalah Satria. Temannya itu harus menerima dikeluarkan dari sekolah dan akan kembali mengajar saja di pondok karena demi Satria tidak dikeluarkan dari sekolah. Jaelani juga menutup mulut agar soal masalah Satria terakhir kali agar tidak tersebar ke seluruh sekolah. Tapi, sayangnya kepala sekolah mengetahu itu karena polisi juga sampai mendatangi sekolah. Jadinya tidak ada yang bisa Jaelani lakukan selain mengikuti saja permainan kepala sekolah. Ada banyak hal yang masih membuat Azzam bertanya-tanya. Alasan tidak masuk akal kepala sekolah sampai membuat program yang bernama kelas berbeda ini. Setelah kelas ini terbentuk tidak ada etikad baik kepala sekolah untuk lebih memperhatikan mereka. Malah makin seenaknya. Kepala sekolah seakan sengaja membuat program aneh itu agar bisa menyatukan semua murid yang ditandainya. Kalau sampai mereka kembali berbuat masalah, bisa saja murid-murid yang berada di dalam kelas itu didepak nantinya. Dari data yang sudah Azzam pelajari tentang dua puluh muridnya itu. Tidak ada masalah yang terlalu serius, kenakalannya sama seperti kenakalan anak-anak seumurnya. Bukan berarti Azzam membenarkan mereka untuk melanggar aturan seperti itu. Hanya saja Azzam menyayangkan soal program yang malah makin membuat kedua puluh murid itu tidak terkendali. Menyatukan mereka ke dalam kelas yang sama malah akan membuat mereka makin menjadi. Seharusnya dua puluh murid itu dipindahkan secara acak ke kelas-kelas agar mereka bisa beradaptasi dengan lingkungan baru yang mendukung. Lingkungan belajar yang bagus, agar semangat belajar mereka meningkat. Kalau menyatukan mereka semua yang bermasalah dalam satu kelas sama, malah akan menambah beban guru-guru. Dan juga membuat mereka sulit berubah menjadi lebih baik lagi. Karena mereka juga sama-sama punya riwayat yang sama. Tidak akan ada perubahan. Tapi, Azzam memilih datang sendiri ke sekolah ini karena merasa yakin anak-anak itu bisa berubah. Pasti bisa dan harus bisa. *** Hendrik menghela napas panjang merasa lelah karena harus berlama-lamaan di lampu merah tadi. Sampai kulit gelapnya makin gelap. Saat sampai di rumah ia langsung menghabiskan dua botol mineral sekaligus. Hitung-hitung sebagai makan siangnya. Tidak ada orang di rumah tingkat dua itu. Pemuda itu hanya tinggal seorang diri tanpa orangtua. Mamanya tinggak bersama suami barunya di Jerman dan juga kedua anak tirinya. Papanya tinggal bersama istri mudanya dan sekarang istrinya tengah mengandung. Hendrik hanya bisa mengandalkan diri sendiri. Tidak ingin ikut siapa-siapa karena merasa malas saja. Dan sekarang kehidupannya lumayan lebih baik. Setelah orangtuanya memilih berpisah dan memutuskan untuk memilih menikah dengan orang baru yang mereka temui. Rumah jadi terasa lebih tenang dan sepi sekarang. Karena biasanya setiap Hendrik pulang ke rumah, ada saja barang-barang yang dipecahkan di ruang tamu sampai kamar. Dan itu membuat Hendrik malas untuk pulang ke rumah. Ia melempar tasnya ke sembarang tempat, membuka kancing seragamnya sampai terbuka semua. Menampakan kaos putih polos yang melekat pada badannya kini. Pemuda itu tidur telentang pada kasur empuknya sembari memandangi langit-langit kamarnya lurus. Suara perutnya membuat ia tersentak sendiri. Bibirnya mendecak saja dengan merubah posisi tidurnya menjadi menyamping. "Kangen masakan mama," lirihnya sembari memeluk gulingnya erat masih dengan seragam sekolahnya. "Ck, malas kalau harus pesan makanan terus. Rasanya gak kayak masakan mama." Hendrik masih bermonolog sendiri sembari bangkit duduk dan membuka baju seragamnya. Ia melangkah ke luar dari kamar, kembali menghampiri dapurnya yang kosong itu. Hanya ada peralatan masak dan teko yang kosong tanpa air. Hendrik membuka lemari esnya dan mendecak samar melihat isinya. Cuma ada air mineral dingin yang tadi sudah ia minum dua botol. Tinggal beberapa botol di dalam sana. "Ck, malas pesan makanan. Pengen masak aja tapi gak tau mau masak apa." Decaknya sudah merebahkan tubuhnya pada sofa, "yakali gue masak. Ntar yang ada rumah kebakaran, gue kan gak tau masak." Katanya berbicara sendiri. Menggeliat kecil di sofa dengan memukul-mukul perutnya yang merasa kelaparan. "Ini gue nyari istri aja kali ya biar hidup gue terjamin. Pulang ada yang nyambut gue dengan senyuman. Makan ada yang masakin, anjir ... bahagia banget pasti." Racaunya asal sembari menghela napas panjang. Suara bel depan gerbang rumahnya membuat pemuda itu melompat kaget sampai terjatuh ke ambal sofa sembari meringis samar merasa lututnya berdenyut nyeri. Hendrik pun melesat keluar dengan langkah agak pincang kemudian menegakan tubuh kembali berjalan normal. Ia menaikan alisnya tinggi melihat seseorang berjaket ijo di depan gerbang rumahnya melempar senyum kini. Melihat itu Hendrik mendadak deg-degan. Karena baru pertemuan pertama begini sudah dikasih senyuman manis. Hendrik membuka gerbang rumah sembari menganggukan kepalanya sopan saat melihat sosok yang kini menyodorkan bungkusan berisi makanan. "Mas Hendrik Candra kan?" "Iya, benar." "Ini ada kiriman makanan, alamat pengirimnya ada di dalam. Kalau begitu saja permisi dulu," pamit lelaki berkumis itu membuat Hendrik menahan, "ini saya gak bayar atau apa, gitu?" "Tidak perlu, pengirimnya sudah membayar biaya ongkir dan semuanya." Hendrik mengangguk sesaat lalu berbalik pergi menutup gerbang kemudian berlari cepat masuk ke dalam rumahnya. Cowok itu pun membuka totebag berisi tupperware itu. Ada banyak makanan di sana. Tumis kangkung, ayam goreng, ikan goreng tepung, sambal, tempe mendoan dan juga sambal ijo. Hendrik langsung menganga melihat itu dengan perasaan berdebar dan juga senang. Siapa orang baik yang mengiriminya makanan seperti ini disaat ia benar-benar kelaparan. Seperti doanya terkabul. Tuhan ternyata begitu baik padanya. Hendrik tersenyum lebar, menaikan alisnya sesaat saat melihat secarik kertas yang berada di dasar totebag. Cowok berkulit agak gelap itu membaca tulisan dua kalimat itu yang membuatnya makin melebarkan matanya kaget. "Selamat menikmati, dari Azzam."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD