Suspicious Thing

1364 Words
Eric bersenandung lirih sembari menggerakan kedua kakinya yang saling bertumpu di teras depan rumahnya Gilang. Cowok itu sudah duduk menunggu Gilang yang sedang mengambil mangkok untuk wadah somai yang mereka beli dalam perjalan pulang. Gilang sudah datang, membawa mangkok di tangan dengan tisu basah. Pemuda itu duduk bersilah sembari membenarkan celana bolanya yang tertarik turun karena karetnya yang sudah longgar. "Buset, celana longgar masih dipake. Buang jadiin lap kaki aja elah," kesal Eric yang sudah membuka bungkusan plastik somai membuat Gilang mendelik samar. "Celana ini tuh ada sejarahnya," Eric mendecak frustasi sudah bosan mendengar sejarah celana olahraga Gilang. Katanya celana itu turun-temurun dari kakek buyutnya, makanya warnanya pudar dan juga karetnya yang sudah longgar menjelaskan kalau memang celana itu sudah dari jaman bahula. Katanya Gilang sih begitu. Eric sudah mencolek somaynya ke dalam saos dengan mengangguk-nganggukan kepalanya menikmati. Gilang juga bergerak maju mengambil tusuk lidi dan mengambil pentolan kemudian memasukannya ke dalam mulut tanpa saos sambal. "Lo gak ngerasa kering makan tanpa sambal?" Tanya Eric dengan muka setengah cemas, Gilang menggeleng santai. Mengunyah tenang sembari mengacungkan jempol. "Gak ada istilah kering kalau sudah masuk tenggorokan." Sahut Gilang dengan ekpresi meyakinkan. Eric menatapnya dengan tatapan penuh hujatan, ingin melayangkan tinju tapi sedang memegang somai. Jadi, pemuda itu urungkan niatnya. "Gue masih kepikiran sama guru tadi," Eric kembali membuka suara dengan menggantungkan somainya, masih belum memasukannya ke dalam mulut. "Wali kelas baru?" "Hm, gue merasa ada yang aneh sama guru itu." Kata Eric curiga sendiri, akhirnya mencolek somainya. Memasukannya utuh ke dalam mulut. "Apanya yang aneh, gue malah suka sama beliau. Kayak tipe gue banget," sahut Gilang dengan muka antusias. "Anjir, lo homo?" Gilang sontak mengucap, dengan mengelus d**a berusaha bersabar. "Emang kalau ngomong tipe berarti gue suka gitu?" Kesalnya jadi meneguk mineral dalam botol di sampingnya. "Yang gue maksud adalah beliau terkesan tegas tapi juga suaranya lembut gitu. Kayak kita mau marah tapi udah terlanjur sayang, ngerti gak sih lo?" Gregetnya berusaha menjelaskan. Eric menggeleng saja tidak paham. "Lagian berharap apasih gue sama lo yang dua tambah dua aja masih ngitung pake jari." Eric sontak mengumpat lirih ingin berdiri menendang sahabat sekaligus tetangganya itu. "Ya, lagian lo mendadak bahas guru baru." Eric mendecak samar masih mengernyitkan dahi kepikiran. "Katanya kan penyebab keluarnya Pak Jaelani karena Satria. Kok bisa, gitu?" "Ya, kan emang Satria suka nyari masalah sama anak Bhinneka apa Tunas Bangsa tuh, gue lupa." Racau Gilang asal, "bukan itu maksud gue, setan." Kesal Eric sudah meletakan tusuk lidinya, kini jadi menegakan tubuh memasang ekspresi serius. "Kenapa guru itu bisa tau kita sedetail itu, saat dia debat sama Jaya. Bahkan, sampai nyebut namanya Jaya lengkap." Kata Eric mendadak jadi detektif. "Bukan cuma itu, dia juga negur Hendrik pake nama." "Yaiyalah pake nama, masa pake jabatan kan belum punya." Sahut Gilang lalu terkikik karena omongannya sendiri, "gue tempeleng ya jangan berisik." Kesal Eric melemparinya dengan tusuk lidi di atas kresek. Gilang sontak menghindar sembari kembali terkekeh, "ya, bisa saja kan beliau tau dari absen." Bela Gilang masih acuh tak acuh. "Kan belum kenal muka kita, b**o. Ya, masa dia langsung kenal cuma karena baca nama doang?" Kesal Eric jadi memaki membuat Gilang mengangguk-nganggukan kepalanya mengerti. "Cenayan kali," "Anj––" Eric menelan kembali umpatannya, jadi melampiaskan pada mineral botol di samping. Lalu meneguknya habis. "Kalau dipikir-pikir munculnya guru itu aneh banget kan. Pas hari Pak Jaelani mengundurkan diri dia langsung datang seperti sudah merencanakan ini semua." Ujar Eric mengusap-ngusap dagunya dengan telunjuk dan jempol. "Lo terlalu banyak nonton film indosiar jadinya suudzon mulu. Otak lo perlu di revisi keknya." "Revisi apanya, lo kira skripsi?" "Enak tuh apalagi yang paha." Sahut Gilang tanpa beban, "itu krispi, anjir." Sentak Eric jadi berdiri ingin menendang pemuda itu namun terhenti saat mendengar suara di dalam sana yang memanggil Gilang. "Iya, mah?" Gilang balas berteriak masih belum beranjak untuk menghampiri membuat Eric jadi greget sendiri. "Cariin kutu mama  dong, nanti mama kasih uang buat jajan sempol." Eric menggerakan kepala ke samping pintu membuat mamany Gilang yang melangkah keluar dengan dasternya jadi melirik ke arahnya sekilas. "Loh? Ada Eric juga toh, mau sekalian cariin kutu tante, gak?" "Gak, mau. Kemarin-kemarin pas dicariin tante malah tidur sampai lupa ngasih aku uang jajan." Gerutu pemuda itu menolak dengan tegas. "Ya, kan kemarin tante kecapean gara-gara nyuci dua baskom pakaian manusia satu ini." Tunjuk perempuan itu ke arah sang anak sulung yang hanya cengengesan saja kini. "Kamu udah makan, belum? Kalau belum ada lauk di dalam." Eric langsung berdiri dan melenggak masuk dengan santai, sudah terbiasa numpang makan di sana. Bahkan, Eric sampai punya piring favorite untuk tempat makannya yang gak boleh diganggu gugat oleh orang yang punya rumah termasuk Gilang. "Tante kok gak ada telur ceplok?" Teriak pemuda itu dengan nada memelas, "goreng sendiri, Eric." Balas mamanya Gilang yang sudah duduk lesehan dengan Gilang yang duduk di atas kursi sudah bersiap menjalankan misi untuk mencari kutut-kutu mamanya yang tersembunyi. "Kan tante tau sendiri aku gak bisa goreng telur, tante mau kalau rumah tante nanti sampai kebakaran apa gimana?" Oceh pemuda itu belum berhenti membuat Amira, mamanya Gilang langsung beranjak dari tempat duduk. "Ini anak tetangga kok nyusahin ya," gerutunya sembari mendekat masuk ke arah dapur membuat Eric langsung melompat kesenangan. Gilang di teras melihat itu dengan hela napas, sudah biasa dengan pemandangan seperti itu. Eric bukan sekali dua kali numpang makan di rumahnya. Dan mamanya juga bukan pertama kali turun tangan dan masak untuk Eric. Itu adalah hal yang biasa, Gilang juga biasa makan di rumahnya Eric. Tapi, karena hari ini Eric malas pulang ke rumah karena mamanya sedang menyetrika baju. Jadinya dia memutuskan untuk numpang makan di rumah Gilang. Beberapa saat kemudian mamanya kembali melangkah keluar dan duduk di sampingnya. Duduk makan somay sisa yang Eric dan Gilang makan. "Somai dimana ini, kok enak begin?" Gilang menoleh pelan, "itu somay depan sekolah. Rasanya emang enak, jadi jangan kaget." Amirah mendelik mendengar nada sengak sang anak yang jadi menyombongkan somay padanya. Eric kembali ke luar dengan piring makannya yang porsinya kayak kuli. Nasi lima kali sendok, ada sayur bening di sana dan juga dua telur ceplok di pinggir. Dan juga saos sambal botol kesukaannya. Pemuda itu duduk bersilah dengan memangku piring nasinya. Mengunyah dengan lahap sembari sesekali mengangguk-nganggukan kepalanya karena enak. "Tante, menurut tante kalau ada guru yang mencurigakan gimana?" Eric kembali bertanya pada mamanya Gilang yang sudah menenggak minuman botol bekas Gilang. "Apanya yang misterius?" Balasnya dengan alis bertautan. "Soalnya ada guru baru masuk ke kelas kita. Di hari pertamanya ngajar, dia udah kenal dan tau semua nama anak kelas. Padahal di hari pertama, mencurigakan banget kan?" Ujar Eric menghentikan kunyahannya jadi hanyut ke dalam pikirannya. "Ya, mungkin di dahi kalian ada tanda pengenalnya lagi." Celetuk mamanya Gilang yang langsung membuat Eric hela napas frustasi. Gilang sama mamanya sama saja. Ngeselin kalau diajak ngobrol. "Ada dua kemungkinan sih kenapa dia sampai berbuat sejauh itu." Jeda mamanya Gilang sesaat, "pertama, karena memang ada tujuan lain yang bisa saja dalam konteks yang jahat." Eric dan Gilang saling pandang lalu kemudian kompak mengedikan bahu tidak tahu. "Kedua, bisa saja dia emang orang yang sudah lama kenal sama kalian." Eric menggeleng cepat, "gak tan, dia guru baru." Ralatnya sampai mengangkat sendok. "Ya, tante tau. Maksudnya dia emang sudah kenal kalian dari lama, dari temannya atau dari mana begitu. Kalian kan anak-anak bermasalah yang dikumpulin dalam satu kelas. Siapa tau emang guru itu ada niat baik mau buat perubahan." Gilang mengangkat alisnya tak paham, "intinya orang itu punya niat baik. Makanya dia sampai mempelajari sifat dan kelakuan kalian sampai kenal kalian semua, begitu." Sambung Amirah sembari beranjak berdiri membuat sang anak jadi mendongak. "Guru itu pasti punya alasan yang jelas kenapa mau masuk ke kelas kalian." "Iya, tante. Apalagi ini hari dimana Pak Jaelani mengundurkan diri, dia langsung masuk kelas dan ngenalin diri sebagai wali kelas baru. Aneh banget kan?" Kata Eric jadi berhenti makan, sudah terpancing untuk kembali bercerita. Gilang di sebelahnya menghela samar sembari menautkan alisnya jadi kepikiran. "Sudahlah, kita pantau aja dari jauh. Kalau emang itu guru punya niat jahat, kita bisa keroyok bersama anak kelas." Kata pemuda itu jadi cengengesan. Eric mendecak saja walau mengiyakan saja, "ya, kita lihat saja. Apa sebenarnya tujuan guru itu." Gumam pemuda itu dengan memicing ke arah piringnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD