5-Setan Di Sekolah

1031 Words
"Kenapa mukanya ditekuk gitu?" tanya sang nenek kala Dinda baru saja sampai rumah. Kekesalan Dinda ia bawa sampai ke dalam rumahnya. Dinda mendekat ke arah neneknya dan menghempaskan pantatnya begitu saja untuk duduk di sampingnya. "Habis ketemu setan di sekolah, nek!" jawab Dinda dengan kesal sekali, beberapa saudaranya melihat ke arahnya, termasuk kakek dan neneknya yang juga heran "Setan?" tanya sang nenek sembari menghentikan aktivitas menjahitnya. "Iya, setan." Dinda menjawab dengan sangat mantap. Sang nenek tersenyum. "Ada ya setan bikin orang kesel bukannya takut?" tanya sang nenek yang langsung disambut gelak tawa saudara sepupu-sepupu Adinda. "Ih nenek! Kok malah ketawa, sih?" tanya Dinda merajuk. Nenek dari saudara nenek kandungnya keturunan ayahnya itu meletakkan hasil menjahitnya di meja dan menatap ke arah Dinda dengan sedikit gemas. "Gini nak, kan emang setan yang beneran itu bikin takut bukan kesel. Rupanya aja gak kayak kita-kita kok jadi-jadinya kamu kesel?" tanya sang nenek. "Lagian nenek bercanda kok," imbuhnya lagi. Adinda mulai menghela napas dengan berat dan menghembuskannya seraya menyandarkan dirinya ke sofa dan meletakkan tas sekolah di sampingnya. "Kamu gak betah di sekolah? Ada anak yang jahilin kamu?" tanya tante Hana perhatian ke Dinda. Dinda menoleh dan menatap tantenya dengan tatapan malas. Semua orang sedang menunggunya menjawab pertanyaan sang tante. "Ada satu cowok jadi-jadian yang ngeselin banget," kata Dinda akhirnya. "Cowok jadi-jadian? Ha ha ha ha!" sepupunya tertawa lepas mendengar Dinda mulai bercerita. Dinda hanya melirik malas. "Jangan kuat-kuat bercinya, ntar jatuh cinta lo!" imbuhnya lagi yang langsung dapat teguran sang mama dengan mata yang mendelik ke arahnya. Prisa langsung terdiam dan gak berani tertawa keras karena takut kepada sang mama tersebut. Tapi ia masih tersenyum sumbunyi-sembunyi dari sang mama. "Jangan didengerin!" kata Hana pada Dinda. "Kenapa emang kesel sama cowok itu?" Prisa masih penasaran dengan kisah Adinda, ia akhirnya memilih untuk mendengarkan kisah Adinda dengan duduk mendekat ke arahnya. Dinda menoleh ke arahnya. "Dia ngatain gue cewek manja dan gak bertanggung jawab," keluh Dinda kesal. Semua yang mendengarkan di sana mengerutkan alis heran. "Kok laki mulutnya lemes gitu?" tanya Hana yang ikutan geram mendengarnya. Hana bahkan bangkit berdiri dari kursi tempatnya duduk karena geram. "Tenang, ma, tenang! Dia setan jadi-jadian. Kita harus jaga sikap, sapa tahu nanti dia ngamuk trus berubah jadi vampire or serigala, berabe donk!" Prisa masih bisa bercanda yang membuat Dinda mengetuk pelan kepala Prisa dengan gulungan koran yang hanya 4 lembar. Dia malah cekikan melihat sikap Dinda yang kesal tapi udah mulai tersenyum. "Kenapa dia ngatain kakak gitu?" tanya Prisa heran. "Nggak tahu. Senewen kali," jawab Adinda asal. "Mungkin emang kalian dijodohkan lewat berkali-kali bertengkar sebelum beneran saling sayang dan jatuh cinta, " Prisa kembali berkomentar yang membuat Dinda menepuk koran yang dipegangnya sejak tadi. Prisa hanya cekikian mendapatkan serangan dari Dinda. "Mau tante ke sekolah buat nemuin anak itu biar gak ganggu-ganggu kamu lagi?" tanya Hana penuh perhatian pada Dinda. Ia sudah menganggap Dinda sebagai anak sendiri, sama halnya seperti Prisa. "Nggak usah tante, saya bisa mengatasi sendiri soal dia," jawab Dinda mentap. Ia kemudian berdiri dari kursi tempatnya duduk dan meraih tas sekolahnya. "Dinda pamit pulang, assalammualaikum," kata Dinda seraya mencium punggung tangan neneknya dan orang-orang di rumah itu satu per satu. Prisa mengulurkan tangannya di depan Dinda dan berlagak sok dewasa, Dinda menepis tangannya sembari mengulurkan lidah mengejeknya. "Hiii kayak doggie," kata Prisa yang kembali membuat orang-orang tertawa mendengarnya. Prisa dan Dinda adalah saudaura yang merangkap jadi sahabat. Keduanya terkadang terdengar seperti bertengkar kalau sudah bicara apalagi berdebat satu sama lain, bahkan disela-sela obrolan mereka juga u*****n kecil-kecilan seperti yang dilontarkan Prisa barusan. Tapi mereka beruda tak pernah bertengkar dengan serius dan malah sering tertawa ketika bersama. "Kamu makan di sini yuk, nak," kata Hana penuh perhatian kala Dinda mencium tangannya. "Lagi males makan, lagian nanti aja boleh, kan? Lima langkah saja udah nyampek," jawab Dinda pada Hana. Hana tersenyum mendengarnya. Dinda kemudian mengayunkan langkah kakinya keluar rumah dan bergerak ke arah samping kiri menuju rumahnya yang bersebelahan dengan rumah Prisa. Setelah sampai di rumah, Prisa langsung merebahkan tubuhnya di atas kasur dan menatap langit-langit kamarnya. Di sana ia seperti melihat roll film yang memutar hari pertamanya di sekolah. Tiba-tiba ia tersenyum sendiri melihat dan mengingat kenangan satu hari ini di sekolah bersama dengan Mahesa. "Cira-ciri tanda orang jatuh cinta itu kek gini, senyum-senyum sendiri," celetuk Prisa yang entah dari mana datangnya, ia sudah berkacak pinggang di ambang pintu sembari menyandarkan tubuhnya. Adinda kaget bukan main dengan kehadiran Prisa di kamarnya tersebut hingga ia langsung beranjak dari posisinya yang berebahnya dan duduk di samping tempat tidur. "Sapa juga yang suka sama tuh cowok resek binti nyebelin? Ihh, gak banget deh," jawab Dinda sebal. "Ntar kita lihat deh, lo bakalan suka sama tuh cowok apa nggak," jawab Prisa seraya berlari pergi dari kamar Dinda setelah Dinda melemparkan bantalnya kembali ke arahnya. Kesal sekali dibuatnya. Setelah memastikan Prisa keluar dari rumah kecil dan sederhananya itu, Dinda mendekatkan tas ransel ke arahnya dan mengeluarkan isi tasnya, di dalam tasnya itu ia menemukan seragam Mahesa yang kotor. Ia menatap seragam Mahesa dengan seksama dan mengingat kembali bagaimana mereka menghabibskan waktu bersama. Adinda tersenyum kecil lagi, dan kali ini sambil malu-malu. Tapi, ketika ia teringat ucapan Prisa tadi, buru-buru ia melemparkan baju Mahesa ke lanta. Dinda pun segera beranjak dari kamarnya dan menuju kamar mandi. Sampai di kamar mandi ia melihat ada ember dan juga sabun cuci yang tergeletak begitu saja di sana. Ia memandang barang-barang itu dengan perasaan aneh. Lalu buru-buru ia keluar dari kamar mandi dan segera kembali ke kamarnya. Ia mengambil baju seragam Mahesa yang kotor dan dengan segera membawanya serta ke kamar mandi. Di dalam kamar mandi, Dinda menunaikan janjinya, ia mencuci baju Mahesa dan menjemurnya segera di halaman belakang rumah setelah memastikan tak ada lagi noda baju yang tertinggal saat tadi ia menguceknya. Dinda kembali tersenyum saat memandang baju Mahesa yang terkena sinar matahari dan angin yang membuatnya sedikit berkibar. Entah bagaimana awalnya, tapi otak Dinda membawa Dinda membayangkan Mahesa yang hanya memakai kaos dalam dan memperlihatkan lekuk tubuhnya yang atletis tersebut. Tiba-tiba wajah Dinda tersenyum merah membayangkannya. "Baju seragam siapa itu, Din?" tanya seseorang yang langsung membuat Dinda kaget bukan main. Ia melihat sang ayah berdiri di ambang pintu dengan menatap baju seragam Mahesa. Mampus gue!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD