bc

Cinta Pertama Adinda

book_age16+
890
FOLLOW
3.5K
READ
possessive
family
badboy
goodgirl
student
sweet
highschool
friendship
school
love at the first sight
like
intro-logo
Blurb

**Cover by Canva**

Mahesa Putra Adiswara adalah seorang lelaki dingin pecinta buku. Kehidupannya sehari-hari di sekolah ia habiskan dengan berada di perpustakaan. Impiannya adalah menjadi seorang dokter psikologi agar Ibunya bisa ia rawat sendiri.

Dinda Adiswara adalah seorang siswi cantik yang lugu dan energik. Kebiasaannya yang ingin tahu banyak hal dan tak pernah merasa puas membuatnya menjadi siswi teladan di  sekolahnya.

Dinda dan Ayahnya hijrah ke Malang. Di Malang, ternyata Dinda satu sekolah dengan Mahesa Putra. Keduanya bertemu saat terlambat sekolah dan memanjat dinding.  Keduanya semakin dekat setelah menjalani hukuman bersama, semakin dekat setelah ternyata keduanya satu kelas bahkan satu bangku saat duduk.

Rasa ingin tahu yang besar membuat Dinda menempel terus ke Mahesa yang memiliki banyak pengetahuan. Hubungan keduanya semakin dekat. Cinta Raditya sang ketua Osis yang ditolak Dinda membuatnya marah. Ia kemudian berencana menghancurkan hubungan antara Mahesa dan Dinda dengan mengangkat masalah keluarga Mahesa.

Siapa yang tahu bahwa ulah Raditya itu ternyata mengangkapkan fakta bahwa Mahesa yang selama ini berpacaran dengan Dinda adalah kakak kembarnya sendiri yang dibawa pergi Ibunya setelah Ibunya cerai dengan Ayahnya.

Lalu bagaimanakah cara bagi Dinda menguasai hatinya yang sudah terlanjur jatuh cinta kepada Mahesa?

Benarkah Mahesa adalah kakak kembar lelaki Dinda?

chap-preview
Free preview
1-Terlambat
"Ayah, sih! Dinda jadi telat!" seru Dinda tak terima kepada Ayahnya saat mereka di dalam mobil menuju sekolah baru Dinda di Malang. "Masak baru masuk sekolah udah telat aja!" gerutu Dinda tak terima dengan berulang kali melihat ke arah jam di pergelangan tangannya yang sudah menunjukkan pukul tujuh lewat lima menit. "Hari senin, saatnya upacara. Tenang saja, pasti gak akan ketahuan kalau kamu panjat pagar samping," kata sang Ayah yang berusaha menenangkan gelisah dan gundahnya hati sang anak. Tapi Adinda tetap tak terima dengan sikap santai sang Ayah. "Lagian mandi aja sampai setengah jam!" seru Adinda kesal. Adinda hanya tak pernah tahu kalau hal itu dilakukan oleh Bima karena ia merasa gugup bahwa hari ini adalah hari pertamanya bekerja sebagai manager pengolahan di cabang perusahaannya sebelumnya. Jika saja sang Ibunda Bima tak sakit dan membutuhkan banyak biaya pengobatan, maka Bima tak akan pernah bersedia menerima tawaran ini. Ia tak ingin mengingat sama sekali kenangan manis pahitnya di kota kelahiran mantan istrinya, Safira. Itu terlalu membuatnya terluka sangat. Tak bisa dipungkiri bahwa alasannya masih sendiri hingga kini adalah karena ia tak yakin dengan hatinya yang masih diliputi oleh rasa bersalah kepada mantan istrinya, Safira. "Ayah ngelamun?" tanya Dinda dengan menyenggol lengan Ayahnya gemas. Ayahnya serta merta menoleh ke arah Dinda dan kaget. "Nggak!" seru Ayahnya. "Lah kenapa di google maps bilang kalau sekolahku udah kelewat?" tanya Adinda dengan santai. Wajah Ayahnya seketika kaget dan langsung pucat, ia meraih ponsel sang anak dan mengecek maps di sana. Kemudian dengan senyum tipis yang terpaksa ia lakukan, ia memutar kemudi. "Gak ada salahnya kita jalan-jalan dulu," kata sang Ayah. Dinda hanya bisa geleng-geleng kepala sembari memukul jidatnya yang tak terasa pusing sama sekali. Ia tak habis pikir dengan kelakuan Ayahnya. Lima menit kemudian mereka tiba di sekolah Dinda yang baru. Sengaja mobil yang dikendarai oleh Ayahnya itu parkir agak jauh dari halaman sekolah. SMA Negeri 1 Lawang. Sekolah yang cukup terkenal di Malang. Sekolah itu didirikan tahun 1980-an dengan nama pertama yakni SMPP (Sekolah Menengah Pertama Pembangunan). Sekolah itu terletak di desa Sumber Waras, beberapa meter dari jalan raya dan jalur kereta api. Bagian depan sekolah itu terdapat kampung yang cukup padat, dan bagian belakan tempat di mana Dinda dan Ayahnya berada terdapat lapangan sepak bola yang cukup luas. Sore hari kemarin sang Ayah telah membawa Dinda mengunjungi sekolah itu dan bagi Dinda bangunan sekolah itu cukup bagus dan luas. Apalagi bagian perpustakaannya yang membuat Dinda membelalakkan mata karena kagum. Musholla sekolah juga masih dalam perbaikan renovasi yang signifikan. "Jadi, aku harus masuk sekolah lewat mana?" tanya Dinda kepada sang Ayah yang juga bingung menatap sekolah itu. Ia mulai berpikir dan mengingat-ingat tour ringan yang dilakukannya dengan sang putri kemarin sore ke sekolah itu. "Ayah!" panggil Dinda kembali kepada sang Ayah yang langsung menoleh salah tingkah, saat sang Ayah memalingkan wajahnya kembali ia melihat dengan matanya ada satu siswa yang berjalan ke arah kanan, menjauhi gerbang sekolah dengan sembunyi-sembunyi. "Coba ikutin siswa itu!" pinta sang Ayah seraya menunjuk ke arah pemuda dengan tas hitam di punggungnya. "Sepertinya ia juga terlambat. Cepat!" perintah sang Ayah sekali lagi kepada putrinya yang menatapnya dengan tatapan jengah dan tak percaya sama sekali. "Cepat! Tunggu apa lagi?!" seru sang Ayah seraya mendorong sedikit badan putrinya agar segera keluar dari dalam mobil yang mereka tumpangi. Dinda keluar dari dalam mobil dengan bibir yang manyun ke depan dan rasa enggan sama sekali. Seumur-umur ia berangkat ke sekolah, baru kali ini ia terlambat, dan itu bukan salahnya tapi salah sang Ayah yang terlalu lama berada di dalam kamar mandi. Ia bahkan hanya menyambar satu buah roti panggang karena sang Ayah lupa ke tukang sayur dan nasi yang beliau masak tidak matang. Ayah lupa memencet tombol 'cook' pada magiccom milik mereka. Dinda menghentakkan kaki dengan kesal ketika ia melihat sang Ayah sangat antusias menyuruhnya untuk segera masuk ke sekolah dengan menyusul pemuda yang telah hilang dalam pandangan mereka itu. Dinda menggerutu dan memanyunkan bibirnya kembali tapi ia akhirnya menuruti permintaan sang Ayah tersebut. Dengan langkah kaki yang sedikit berlari itu, Dinda menuju arah di mana siswa tadi menghilang. Sampai di sana ia celingkukan ke arah kanan dan kiri mencari sosok pemuda tadi, tapi sejauh ia memandang, Dinda tak menemukan sama sekali siswa pria tadi. Dinda kemudian memandang ke arah tembok beton yang cukup tinggi di hadapannya tersebut. Ia merasa ragu saat ini ketika pandangannya kembali melihat ke arah tembok di hadapannya. Ia memang sudah sangat biasa memanjat pohon saat berada di Bandung dulu, tapi masalahnya adalah kini yang ada di hadapannya, tembok tinggi bukan ranting. Dinda mencari-cari sesuatu di sekitarnya untuk membantunya memanjat, tapi ia tak menemukan sesuatu sama sekali. Ia akhirnya melompat-lompat untuk menengok ke arah dalam. Sejauh dari pandangan matanya ketika ia melompat-lompat, ia tak menemukan guru atau siswa lainnya di dalam sana. Ia merasa aman sejenak. Ia menengok lagi ke kanan dan kiri dan ia menemukan beberapa batu yang menurutnya akan muat jika ia menyusunnya lalu menaikinya kemudian. Dinda mengangkat batu-batu itu ke dekat tembok dan menyusunnya sedemikian rupa hingga ia merasa tinggi batu itu cukup untuk membantunya melompati pagar tersebut. Dinda sedikit ragu ketika ia melihat tumpukan batu-batu tersebut yang tak simetris. Ia membayangkan dirinya jatuh dan tertimpa salah satu batu tersebut. Nggak. Nggak. Aku gak boleh takut sama sekali. Nggak papa. Aku bakalan baik-baik saja! Kata-kata itulah yang terus menerus dilontarkan Dinda dalam pikirannya. Dengan mengucapkan kata bismillah ia mulai memanjati batu hasil tumpukannya tersebut. Tapi baru juga ia menaiki tumpukan batu itu, tubuhnya oleng ke kiri, ia kehilangan keseimbangan meski ia berusaha menggapai udara agar tak terjatuh ke belakang. Dinda pasrah ketika ia benar-benar tak bisa menyeimbangkan tubuhnya. Hup. Tubuhnya ditangkap seseorang tepat ketika Dinda telah memejamkan matanya. Dinda membuka matanya kala ia merasa ada tangan yang menopang tubuhnya. Ia menoleh dan mendapati seorang pemuda dengan wajah yang tampan sempurna itu memandang ke arahnya secara datar. Pemuda itu memiliki mata berwarna coklat dipadukan dengan bulu mata yang lentik dan alis hitam legam yang lebat. Hidung pemuda itu sedikit mancung, bibirnya tipis tapi sedikit berwarna gelap dan Dinda bisa mencium aroma maskulin yang memabukkan dari napas segarnya itu. Ya Tuhan kau telah mengabulkan salah satu impianku, yakni dengan membuatku jatuh di pelukan pemuda tampan. Jika ini mimpi aku tak ingin bangun, tapi jika ini nyata aku ingin segera bangun. Bukk! Agaknya doa Dinda langsung dikabulkan oleh sang Pencipta, tangan pemuda itu serta merta melepaskan tubuh Dinda begitu saja hingga gadis cantik itu terhempas ke tanah dengan posisi duduk. Sialan! Dinda mengumpat pelan. Ia mendongak ke atas dan memadang tajam ke arah pemuda berwajah ketus itu. "Tadi gak usah nolongin kalau mau jatuhin juga," kata Dinda seraya membersihkan rok seragam sekolahnya dengan tangan kosongnya. Menepuk-nepuk roknya agar tanah dan debu yang menempel hilang. "Enak aja. Gue gak nolongin lo. Lo aja yang ngehalangin jalan gue," jawab pemuda itu dengan ketus. Pemuda itu berpawakan tinggi, mungkin tingginya sudah seratus tujuh puluh centi, terbukti dengan ia tak perlu lompat-lompat pagar mengamati ke dalam. "Please bantuin gue masuk. Gue anak baru di sini," kata Adinda yang tak punya pilihan lain selain meminta tolong kepada pemuda tinggi tersebut. Pemuda itu menoleh dan menatap Dinda dengan tatapan 'siapa lo?!' "Ogah! Lagian anak baru pake telat segala!" seru pemuda itu. "Anak lama juga telat." "Kan senior!" "Junior buat kesalahan juga ditoleransi sama senior seharusnya!" jawab Dinda tak mau kalah. Pemuda itu kembali memandang Dinda, kali ini wajahnya berekspresi, tapi bukan ekspresi persahabatan, melainkan kekesalan karena Dinda terus saja menjawab ucapannya. "Emang lo bisa panjat? Panjat aja," "Kalau gue bisa, udah dari tadi gue masuk dan gak akan minta tolong ke lo." "Masalahnya gue gak mau nolongin cewek bawel kayak lo," kata pemuda itu to the point. Dinda memicingkan matanya, ia heran sekali dengan makhluk tampan tak berperasaan seperti pemuda di hadapannya itu. Dinda meneliti baik-baik penampilan dan postur tubuh pemuda itu. "Jadi lo cuma punya badan gede doank tapi gak guna?" ledek Dinda yang membuat pemuda itu menoleh lagi dan menatap Dinda dengan geram. "Ternyata, ckckckck," ujar Dinda lagi seraya menggeleng-gelengkan kepalanya dan mulai menyusun batu untuk ia pijak kembali. Pemuda itu paling tak suka ada orang yang menghina kemampuannya, apalagi orang itu adalah perempuan. Dia tak terima sama sekali. Serta merta pemuda itu jongkok di samping Dinda yang kaget dan memandangnya bingung. "Eh? Mau ngapain lo jongkok gitu? Mau ngintip, ya! Awas kalo m***m, gue teriak sekarang!" kata Adinda mengancam. Pemuda itu tersenyum remeh. "Siapa juga yang tertarik sama cewek nilai B kayak lo! Gue ogah!" balas pemuda itu tak kalah sadis. Dinda melotot mendengarnya dan menatapnya sebal. "Buruan naik pundak gue sebelum gue berubah pikiran!" kata pemuda itu seraya menepuk bahunya, memperlihatkan keseriusannya menolong Dinda. "Awas kalau sampai lo ngintip! Gue sunat lo!" kata Dinda yang mengancam pemuda itu. "Udah buruan jangan bawel atau lo gue tinggalin di sini!" ancam pemuda itu. Pemuda itu telah berjongkok dan Dinda yang merasa sudah tak punya waktu lebih lama lagi karena pasti upacara sekolah akan segera usai, menaikkan satu kaki kanannya di pundak kanan pemuda itu. Pemuda itu meringis merasakan beban di pundak kanannya lalu di pundak kirinya. "Badan gak bersisi tapi berat." gumamnya. "Apa?" tanya Dinda tak mendengar sama sekali apa yang digumamkan pemuda tersebut. "Udah buruan!" seru pemuda itu tak sabar. Dinda segera menaikkan badannya menuju atap beton dan mendorong tubuhnya lebih kuat hingga akhirnya ia berhasil melompat pagar beton tersebut. Sebuah senyum cantik terlukis di benaknya. Tak berselang lama pemuda arogan tadi juga sudah berdiri di sampingnya dan menatapnya jutek. "Thanks, ya," kata Dinda tulus. Tapi pemuda dingin itu tak menanggapi dan berjalan meninggalkan Dinda. Dinda mengikutinya tapi baru beberapa langkah pemuda itu berhenti dan Dinda menabrak tubuhnya. "Awww! Rem blong ya, bos? Mendadak banget berhenti!" kata Dinda seraya mengelus-elus jidatnya yang tertabrak punggung pemuda itu. Tak ada jawaban. Dinda menengok dan ia kaget mendapati beberapa guru ada di depan mereka. Mati gue!

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

(Bukan) Pemeran Utama

read
19.8K
bc

Byantara-Aysha Kalau Cinta Bilang Saja!

read
287.0K
bc

DENTA

read
18.1K
bc

Tentang Cinta Kita

read
203.0K
bc

Head Over Heels

read
16.6K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
219.4K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook