16-?Beautiful Eyes?

1411 Words
_***_ Rasa yang kini bersemayam awalnya membuatku tak nyaman. Namun kini aku sadar rasa ini ada bukan tanpa alasan. Aku tahu semua ini ada maksud dan tujuan. -Radif Fauzan Alvar- _***_ Radif's POV "Dif, kok lo kayak pengecut sih selalu kabur dari masalah. Gue akhir-akhir ini kayak nggak kenal diri lo. Lo berubah, Dif." Sekelebat ucapan Bintang kembali terlintas di benakku. Ucapan itu membuatku sedari tadi terus merenungkan langkah yang akan aku ambil ini. "Apakah aku harus lari lagi?" Rambutku yang semula rapih, kini menjadi acak-acakan akibat ulah tanganku yang mendeskripsikan keadaanku sekarang ini. Ucapan Bintang sangat menohok relung hatiku. Ini membuatku seolah sadar bahwa aku telah mengkhianati diriku sendiri. Dalam diriku menolak untuk berlari, namub logikaku mengatakan bahwa aku harus berlari sejauh-jauhnya. "Ya Allah .... " Aku menghela napas berat. Hari ini terasa lebih melelahkan dari hari-hari kemarin. Banyak sekali beban yang ada di pikiranku. Saat aku sedang merebahkan tubuhku di spring bedku, terdengar suara bel berbunyi. Aku segera beranjak untuk membukakan pintu itu. Jika kalian membayangkan diriku sedang tinggal di rumah besar nan megah, berarti kalian salah. Sudah bertahun-tahun aku tinggal terpisah dengan Papahku, mengenai alasannya pasti kalian sudah paham. Jadi aku kini tinggal di sebuah apartemen peninggalan Mamaku. Dulu sewaktu Mama sakit, Mama meminta untuk tinggal di apartemen ini. Kurasa Mama tak betah jika harus terus makan hati jika tinggal bersama Papah. Bayangkan saja sering kali Papah membawa teman wanitanya ke rumah dengan alasan pekerjaan. Tapi nyatanya hal lain yang mereka berdua lakukan di ruang kerja Papah. Aku pernah memergokinya bersama seorang wanita sedang bermain di ruangannya. Aku langsung saja geram dan memaki-maki wanita itu memberikan sumpah serapah tanpa peduli ia adalah rekan kerja Papah. Dan tentu saja Papah akan membela wanita itu. Dulu aku sangat jengah untuk pulang ke rumah, namun karena masih ada Mama, aku pun memaksakan pulang untuk Mama. Sepertinya pria yang baru saja aku bicara panjang umur, baru saja dibicarakan kini sudah ada di depanku. "Ada apa?" tanyaku to the point. Aku tak mempersilakan masuk masih menahannya di depan pintu apartemen. Ia tersenyum begitu melihatku. "Apa kabar anakku?" tanyanya berbasa-basi. Aku mengalihkan pandanganku kearah lain. Rasanya sangat kesal melihat wajah Papahku sendiri. "Apa yang ingin Papah bicarakan?" balasku kembali dengan tanya tanpa menjawab pertanyaannya tadi. Papah kembali tersenyum. Matanya menatapku dengan pandangan tak bisa diartikan. "Kamu menerima tawaran Papah kan?" Aku sontak saja terdiam. Ucapan Bintang pulang sekolah tadi kembali terngiang di pikiranku. Keputusanku yang awalnya telah bulat kini menjadi ragu kembali. Aku tak tahu harus menjawa apa sekarang. Otakku dan hatiku masih berperang untuk masalah ini. Aku belum bisa mempertimbangkan segala aspek sekarang. "Maaf saya belum bisa jawab sekarang," jawabku dengan nada tegas. Aku harus memikirkan ulang semuanya dan segala resiko yang aku ambil. Aku tak mau salah langkah. "Baik kalau gitu. Pikiran baik-baik Fauzan. Papah tunggu besok sepulang sekolah." Papah setelah mengucapkan itu segera pergi. Aku pun dengan cepat menutup kembali pintu apartemenku. Kegundahan kini kembali menyelimutiku. "Ya Rabb, hamba harus apa?" lirihku dengan pasrah. Seketika aku terpikirkan hal apa yang semestinya aku lakukan sedari tadi. Aku beristighfar sejenak kemudian berjalan terburu-buru menuju kamar mandi. Tak lama aku di kamar mandi kemudian keluar dengan rambut yang sedikit basah. Lalu aku mengambil sajadah dan membentangkannya untuk bermunajat kepada Allah. Sungguh hanya Allah lah yang mengetahui seluruh isi hatiku sekarang ini. Hanya dia lah tempat yang pantas untuk mengadu semua permasalahan. Ya Allah, maafkan hamba yang sempat lalai kepadamu. Sesungguhnya tidak ada niat hamba untuk melupakan-Mu. *** Hari ini aku kembali ke bersekolah. Dan di hari ini pula aku memutuskan langkah yang aku ambil. Aku sudah mempertimbangkan matang-matang semuanya dan insyaallah dengan campuran tangan Allah aku siap membuat keputusan ini. Bismillah. Aku melangkah memasuki kelas yang kini telah ramai. Kebetulan aku tadi berangkat agak siang jadi suasana kelas tentu telah ramai. Aku melihat sejenak ke arah meja Bintang sebelum aku duduk. Namun di sana aku tak menemukan sosok Bintang, bahkan tasnya pun tak terlihat sama sekali. "Apa mungkin telat?" gumamku yang ternyata terdengar oleh Dito yang merupakan teman sebangkuku. "Siapa yang telat?" tanya Dito penasaran dengan apa yang barusan aku ucapkan. Aku ingin mengabaikannya, namun karena aku penasaran dengan keberadaan Bintang, akhirnya akupun menanyakannya. "Emm tumben ada yang belum berangkat," ucapku bertanya dengan menyiratkan maksud. Entah mengapa aku merasa malu jika Dito mengetahui aku sedang mencari Bintang. Aku takut jika ia berpikir yang tidak-tidak. Dito menoleh ke sana ke mari mengecek seluruh teman-teman di kelas. Dan pandangannya pun berhenti kepada tempat Bintang yang masih kosong. Sesuai dengan dugaanku, ia pasti akan berpikir yang tidak-tidak. "Heeemm heemmm bilang aja mau tanya soal Calista," goda Dito yang membuatku salah tingkah. "A-Apasih enggak lah. Gue gue sebagai ketua kelas yang baik harus memastikan kehadiran anak buahnya dong," sangkalku yang membuat Dito tersenyum lebar. "Ah apa lah terserah lo, Dif, mata lo nggak bisa berbohong," tungkas Dito yang langsung membuatku mengalihkan pandangan. Aku tak menjawab, takut-takut semakin salah berbicara nanti bisa menimbulkan gosip. "Ciee salting .... " seru Dito dengan keras yang mengundang tatapan penasaran dari teman sekelasku. Spontan saja aku langsung membekap mulut comelnya itu. "Diem ish selagi lo masih sayang nyawa," ancamku. Dia bukannya takut justru malah tertawa girang. Aku yang tak tahan pun pergi menjauh darinya menuju teras kelas. "Dasar Dito comel," umpatku seiring berjalan keluar kelas. Di depan kelas sudah nampak sepi karena sebentar lagi bel akan berbunyi dan anak-anak sudah memasuki kelas untuk bersiap. Sedangkan diriku masih bersantai di teras kelas karena tak nyaman dengan godaan Dito yang kemungkinan semakin menjadi-jadi. Aku duduk di kursi yang mengarah langsung kepada gerbang sekolah. Aku berulangkali memperhatikan gerbang itu berharap-harap cemas. Namun sudah hampir lima menit tak ada seorangpun yang memasuki gerbang itu. Teeet ... Teeet .... Dan kini bel pertanda dimulainya pembelajaran terdengar. Aku membuang napas kasar sedikit cemas tergurat di wajahku. Dari arah kantor guru aku melihat Bu Ningsih yang menjadi pengajar mapel jam pertama sudah menuju ke mari. Mau tak mau aku harus memasuki kelas segera atau kalau tidak nanti akan mendapatkan ceramah di pagi hari. "Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Selamat pagi anak-anak," sapa Bu Ningsih yang masih di depan pintu. Ia kemudian berjalan masuk untuk memulai pembelajaran. Pandanganku sedari tadi tertuju kepada bangku kosong yang tak jauh dari tempatku berada. Apa ia izin sekolah? Apa ia sakit? Atau apa ia sedang berusaha menghindariku? "Woy Dif dipanggil Bu Ningsih," tegur Dito sembari menyikutku tadi. Sontak saking terkejutnya aku langsung berteriak menjawab Bu Ningsih. "Saya, Bu!" Bu Ningsih melotot ke arahku. "Kamu itu sekolah yang fokus, jangan mikirin game terus," tegur Bu Ningsih yang membuat teman-temanku tertawa tertahan. Sedangkan diriku masa bodoh dengan semua itu. "Jangan mikirin Calista terus makannya," bisik Dito yang langsung aku sikut dengan keras. Dan ia pun merintih tertahan karena disikutanku. "Calista Bintang?" Mendengar nama bintang tersebut, aku sontak dengan cepat mendengarkan dengan cermat. Bu Ningsih mengulang dua kali pemanggilan nama Bintang, namun tak kunjung ada jawaban. "Calista Bintang?" seru Bu Ningsih sekali lagi. Tak lama kemudian ada seorang siswi yang mengangkat tangannya. Dia adalah Wendya. "Maaf, Bu. Tadi saya dapat kabar kalau Bintang sedang diopname di rumah sakit," kata Wendya diangguki Bu Ningsih. Aku menjadi khawatir begitu mengetahui Bintang masuk rumah sakit, lalu kenapa ia sekarang dikabarkan diopname di rumah sakit? Aku perlu mengecek nanti. *** Bel pertanda kegiatan belajar mengajar usai telah terdengar. Murid murid bergegas mengemasi barangnya sebelum meninggalkan sekolah. Aku sedari tadi tak fokus dengan apa yang aku kerjakan. Namun begitu bel itu terdengar, aku tersadar dan segera berlari keluar sekolah menemui seseorang. Tok tok tok "Masuk." Suara jawaban dari penghuninya telah terdengar dengan begitu aku langsung saja menerobos masuk. "Eh Fauzan. Cepat sekali kau ke sini, Nak," ujarnya menyambutku dengan gembira, namun tidak denganku. Aku malah langsung memasang wajah serius sesuatu dengan apa yang akan aku bicarakan. "Saya akan memberi keputusan. Saya memutuskan menolak tawaran Papah untuk memindahkanku ke tempat lain," tungkasku tanpa basa basi. "Tenang, Nak, sini duduk dulu minum dulu sama Papah. Jangan terburu-buru," ujar Papah mencoba memengaruhiku keputusanku, namun kini aku sudah yakin dengan apa yang aku pilih. "Tidak, saya hanya ingin menyampaikan itu. Kalau begitu saya pamit. Assalamualaikum," pamitku langsung keluar dari ruangan Papahku itu. Terdengar Papah memanggil namaku, namun tak aku indahkan. Aku tahu jika aku berbalik, ia akan terus memaksaku untuk bersekolah ditempat yang sama dengan Era bersekolah. Aku tidak mau 'dijual' oleh Papahku sendiri. Aku bukan pengecut, Tang. Aku sudah bisa membuktikan kepadamu. Kuharap kamu masih bisa menjadi partnerku mengurus kelas, Tang. Aku menunggu sangat menunggu. Tbc
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD