15-?Beautiful Eyes?

1514 Words
_***_ Perih rasanya ketika harus berusaha terlihat baik-baik saja di depan orang yang disayangi untuk menjaga perasaan mereka tanpa memedulikan perasaan diri yang terus terluka. _***_ Author's POV Sirine ambulans meraung-raung di sepanjang jalan menuju ke suatu tempat. Dan bukan hanya satu ambulans saja, melainkan ada 3 ambulans di sana. Nampak kerumunan orang pun turut meramaikan jalanan yang sejenak terhenti itu. "Jangan melewati batas." Begitulah ucap pria-pria berseragam coklat tanah itu yang menghalau orang-orang untuk tak mendekat kepada garis kuning yang telah dipasang melingkar. Di dalam garis itu ada dua buah kendaraan yang ringsek saling berhadapan. Tak jauh dari kerumunan itu ada seorang wanita paruh baya berlari menuju kerumunan dengan air mata yang telah tumpah ruah. Sontak saja kerumunan itu langsung membukakan jalan untuk sang wanita itu. "Anakku ... Anakku .... " Kiranya seperti itulah yang wanita itu jeritkan. Wanita itu ke sana-ke mari mencari seseorang yang di duga anaknya. Raut panik, khawatir dan sedih berbaur menjadi satu diwajahnya yang telah basah terbanjiri air mata. "Ibu, tenang anak ibu sudah ada di rumah sakit," ungkap seorang wanita muda yang tadi turut menolong kejadian kecelakaan itu. "Di mana, bu? Di rumah sakit mana?" sergah wanita paruh baya itu mencari kejelasan anaknya berada. Wanita itu bahkan mengguncang-guncang tubuh wanita yang menenangkannya tadi. "Tenang, ibu," ujar wanita muda itu memegang erat kedua tangan wanita paruh baya itu menenangkannya. "Gimana bisa tenang, anak saya gimana keadaannya," bentak wanita paruh baya itu tak bisa mengendalikan diri. Saat wanita paruh baya itu sedang coba di tenangkan, muncullah seorang pemuda yang raut wajahnya turut panik. "Umi .... " panggil pemuda itu ketika melihat wanita paruh baya itu. Wanita tadi segera masuk ke dekapan sang pemuda sembari menangis lebih kencang. "Adikmu, Ken, Adikmu!" ucap wanita itu berusaha menceritakan kejadiannya, namun tak mampu untuk menahan tangisnya. Pemuda itu mengelus punggung uminya itu sembari mencoba menenangkannya. "Lista pasti kuat, Umi. Umi tenang dan sabar yah. Istighfar, Umi," pinta sang pemuda itu berusaha membuat kenyamanan sang ibu yang tengah terguncang. "Mbak, apa mbak tau di mana gadis remaja yang katanya ada di sekitar sini?" tanya pemuda itu kepada wanita yang tadi menenangkan Uminya. "Tadi saya lihat dia tidak sadarkan diri, Mas. Terus langsung dibawa laki-laki ke ambulans. Sepertinya rumah sakit yang dituju Rumah Sakit Mawar, Mas," jelas wanita muda itu memberikan keterangan. Usai mendapatkan informasi keberadaan anggota keluarganya itu, mereka segera pergi meninggalkan tempat kejadian untuk mencari anaknya yang sempat ikut menjadi korban. *** Calista's POV Bau obat-obatan seketika menyeruak pada indera penciumanku. Rasa dingin pun turut menusuk kulitku. Aku sepertinya familiar dengan tempat semacam ini. Mataku terasa sangat berat untuk di buka. Entah mengapa aku tak mengerti ini sangatlah sulit untuk kukerjapkan. "Jangan dibuka dulu matanya, Mbak." Aku sontak saja terkejut mendengar seruan itu. Apalagi suara itu sangat asing di telingaku. "Kenapa?" ucapku menanggapi seruan tadi. "Mata kamu sedang dalam proses penyembuhan," ungkap seseorang itu. Sejenak aku berpikir mengenai kejadian sebelum ini terjadi. Apalagi ini adalah tempat yang aku duga rumah sakit. "Awas!!!" Mendengar seseorang yang seperti memperingatkan aku, akupun menoleh dan betapa terkejutnya aku. Bagaimana perasaan kalian jika tepat di depan mata kalian ada sebuah kecelakan? Terkejut? Takut? Speechless? Atau bahkan langsung lari terbirit-b***t? Ah, sepertinya tak mungkin jika langsung lari terbirit-b***t. Saat aku menoleh, yang benar saja ada sebuah truk bermuatan yang berjalan dari arahku sedangkan dari arah berlawanan juga ada sedan putih melaju kencang. Apa yang kalian kalian duga benar. Terjadilah sebuah kecelakan hebat di depanku. Bahkan jarak di mana aku berdiri dengan kejadian kecelakaan itu hanya sekitar 50 meter saja. Naasnya lagi, saat aku menoleh dan memelototi kejadian itu, mataku mendadak sakit. Entah seperti ada benda asing yang memasuki mataku atau apa. Yang pasti sangat-sangat sakit. Bahkan aku berteriak kencang melampiaskan rasa sakitku. Saat itu juga terdengar jeritan dari banyak orang yang ada di sana. Aku tak bisa melihat berapa banyak, karena mataku sudah sangat menyita perhatianku. Aku tak lagi memikirkan kedua mobil yang sedanh kecelakaan itu, mataku lah yang paling penting. "Arghhhh .... " teriakku sekali lagi. Demi apapun ini terasa sangat menyakitkan. Aku terus menutup mata berharap dapat mengurangi rasa sakitnya, namun bukannya mereda justru semakin sakit. Aku tak tau lagi harus bagaimana. Yang aku lakukan hanyalah berteriak kesakitan. Akibat rasa sakit tak tertahankan, kepalaku menjadi berat dan akhirnya aku menjadi tak sadarkan diri. Namun sebelum aku benar-benar tak sadar, aku mendengar seseorang berbisik kepada tapi entahlah apa yang ia bisikan itu hanya terdengar samar dan tak bisa aku mengerti. "Apa yang terjadi dengan mataku?!" teriakku histeris. Aku takut, aku sangat takut ketika mengingat kejadian itu. Aku takut apa yang sedang aku pikirkan kini menjadi kenyataan. Seseorang yang aku ajak bicara tak kunjung menjawab. "Pak, tolong jawab saya!! Tolong jawab!!" Brak. "Lista!" Indera pendengaranku mendengar suara lembut nan menenangkan yang sangat aku kenal. Aku yang biasanya langsung melihat wajah meneduhkanya, kini harus terhalang kain putih yang membuat kegelapan yang nampak. "Umi!!!" Aku berteriak sekencang-kencangnya begitu mendengar suara Umi. Aku ingin memeluknya sekarang juga, namun entah mengapa Umi tak kunjung juga mendekat ke arahku. Bahkan tak terdengar suara apapun hanya suara isakan Umi yang semakin jelas terdengar. Atau mungkin ia terkejut melihatku? Apa aku semengenaskan itu? "Umi," panggilku lirih dengan rasa sesak yang memenuhi dadaku. Ketika aku memanggilnya lagi, aku langsung dapat merasakan kehangatan pelukan Umi yang terasa bergetar. Aku tahu pasti Umi menangis dan khawatir ketika mengetahuiku seperti ini. Kami cukup lama berpelukan hingga Umi sendiri yang melepaskannya. Ia mengangkat wajahku yang sepertinya menatap wajah Umi juga. "Kamu nggak papa kan, Sayang?" Pertanyaan Umi segera saja membuat dadaku bergemuruh. Apa lagii suara Umi yang terdengar memohon kepadaku. Aku tak kuasa mendengar itu. Untuk sejenak aku bersyukur mataku di tutupi karena aku palinh tidak suka melihat Umi menangis. "Calista nggak papa kok, Umi," jawabku tersenyum lebar walaupun sebenarnya aku sangatlah sedih sangat takut dengan apa yang akan terjadi denganku nanti. Umi memelukku sekali lagi memberikan ketenangan dan ketegarannya kepadaku. Aku ingin rasanya menangis dan berteriak meminta tolong, namun rasanya tak mungkin. Aku tak mungkin menangis. Bahkan sedari tadi pipiku tak basah sedikit pun. "Jangan buat umi khawatir, Sayang," bisik Umi yang perkataannya membuat hatiku ingin hancur rasanya. Umi, Calista sedang tak baik-baik saja. Calista ingin menangis. Umi, Calista ingin teriak. Umi, Calista sakit. Batinku terus meraung. Rasa sakit, rasa takut dan rasa khawatir menjadi satu dalam dadaku. Dan sangat mengenaskan, aku tak bisa mengungkapkan semua itu. Aku memeluk Umi seerat-eratnya seolah berbicara bahwa aku sedang tidak baik-baik saja. Aku sedang rapuh, aku butuh kekuatan. Pelukanku lama-kelamaan mengendur seiring sebuah tangan kekar memegang bahuku. Itu tangan Kak Ken. Iya tangan Kak Ken "Kak Ken?" panggilku kepada Kak Ken yang sepertinya sedang ada di sampingku menyaksikan kami berdua. Umi pun melepaskan pelukannya. "Iya, Dek, Kakak di sini," ucap Kak Ken yang terdengar ada di kananku. Tangan Kak Ken menggenggam tanganku. Sepertinya Kak Ken tau aku sedang menyembunyikan semua yang aku rasakan. Aku pun langsung menggenggam erat tangan Kak Ken menyalurkan rasa sakitku yang teramat sakit. "Lista baik-baik saja kan?" tanyaku lirih dengan suara bergetar. Ini lah yang ingin aku tanyakan sedari tadi. Aku sangat ingin tahu keadaanku sendiri untuk meyakinkan bahwa ketakutanku tak terjadi. Lama aku menunggu jawaban dari Kak Ken. Aku sangat berharap Kak Ken mampu memberitahukan kondisiku sebenarnya. Hingga akhirnya sebuah suara terdengar, namun bukan suara Kak Ken, melainkan suara pria lain yang tadi mengajakku bicara pertama kali. "Mohon maaf, sepertinya Saudari Calista harus istirahat dahulu. Untuk Ibu atau bapak bisa ikut saya keruangan untuk memberitahukan kondisi Calista lebih lanjut," ucap pria itu yang ternyata merupakan seorang dokter. "Baik, Dok." Lagi-lagi harapanku sirna. Aku tak habis pikir sebegitu parahnya kah aku hingga tak ada yang berani memberitahukan keadaanku sebenarnya? "Kak, Lista mohon," mohonku menggenggam tangannya penuh harap. Kak Ken melepaskan genggamannya perlahan. "Kamu masih perlu banyak istirahat, Dek. Umi sama Kakak harus ketemu sama dokter. Maaf ya, Calista." Pupus sudah harapanku. Hatiku yang semula sedikit tenang dengan kedatangan Umi dan Kak Ken, seketika bergejolak kembali. "Kamu baik-baik ya, Sayang," pamit Umi kemudian mencium keningku lama. Selepas itu aku mendengar pintu terbuka dan langkah kaki yang semakin terdengar sama yang menandakan semakin jauh keberadaannya. Kini hanya tinggal diriku sendiri saja di sini. Tenagaku seakan terkuras habis. Lemas itu yang aku rasakan. Rasa sakit di mataku memang sudah tak terasa, namun sakit dan sesak kembali menghujam dadaku. Berulang kali aku menepuk-nepuk dadaku berharap akan membaik, namun tetap sama saja. Pikiran awalku, dugaan-dugaan menakutkanku kembali menghantui otakku. Bahkan aku tak mengerti sikap apa yang harus aku tunjukkan nanti. Ketakutan kini mendominasi, namun tak ada seorangpun yang bisa aku tumpui. Aku menekuk kedua kakiku dan memeluk lututku sendiri. Menenggelamkan wajahku di antara lututku. Berusaha menuangkan apa yang aku rasakan di sana. Gemetar tubuh ini ketika isakan lolos dari bibirku, namun tak ada setitik air matapun yang menetes. Bahkan Allah tak mengizinkanku menangis dalam kondisi seperti ini. *** Di sisi lain di luar ruangan gadis yang terlihat rapuh itu, terlihat seseorang sedang memandangnya dari kaca pintu yang sedikit terlihat ke dalam. Tangannya nampak tergenggam erat bahkan urat-uratnya pun tampak terlihat. Sayangnya tak ada seorangpun di sana yang menyadari keberadaannya. "Maafkan aku." Tbc
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD