17-?Beautiful Eyes?

1403 Words
_***_ Mengalah bukan berarti kalah. Tapi mengalah adalah cara terbaik untuk tak memperbesar masalah. _***_ Saat bel istirahat berbunyi, aku bangkit begitu Wendya terlihat keluar dari kelas. Aku segera mengikutinya untuk menanyakan kondisi Bintang. Bagaimanapun juga aku harus memastikan bahwa kejadian bersamaku itu tidak ada sangkut pautnya dengan dirinya yang sakit ini. "Hey." Aku memanggilnya begitu ia sedang berjalan di karidor yang agak sepi. Ia pun berhenti dan menoleh kebingungan kemudian menunjuk dirinya sendiri. Aku mendekatinya berniat bertanya. "Bintang sakit apa?" Wendya dari gelagatnya tampak gugup. Mungkin karena ini baru pertama kalinya ia berbincang berdua denganku. "Calista? Emm aku belum bisa cerita tentang kondisinya. Tapi kamu pulang sekolah nanti bisa langsung menemuinya di rumah sakit," jawab Wendya masih abu-abu. "Kenapa?" "Karena aku belum berhak memberi tahu," ungkap Wendya lagi. Aku menghembuskan napas berat. Ini menjadi teka-tekiku lagi. Padahal aku ingin menanyainya suatu hal yang kemarin sempat dibicarakan. "Calista terlibat kecelakaan kemarin," ucap Wendya tiba-tiba. Aku yang tadinya sedang berpikir keras, kini langsung menoleh cepat kepada Wendya. Lebih tepatnya sangat terkejut dengan apa yang Wendya ucapkan. "A-apa? Kecelakaan?" Wendya mengangguk dengan raut sedih. Aku tahu dia akhir-akhir ini sedang berteman dekat dengan Bintang, jadi wajar jika ia turut sedih. "Aku nggak bisa ngasih tau hal lebih. Untuk lebih jelasnya bisa kamu tanyakan ke Lista nanti." "Oh iya satu lagi pesan dari Lista, ada yang ingin ia bicarakan sama kamu." *** Setelah aku memberi keputusan kepada Papah, kini aku bergegas menuju rumah sakit di mana Bintang di rawat. Aku ingin mengetahui sesuatu apa yang ingin Bintang katakan kepadaku. Sepanjang perjalanan, pemikiran bermacam-macam sudah memenuhi otakku. Dan aku ingin memberikan kabar mengenai keputusanku juga, apa Bingang akan senang mendengarnya nanti atau tidak. Bus telah berhenti di tempat pemberhentiannya. Aku bergegas turun dan menyebrang untuk bisa mencapai rumah sakit besar itu. Apa keadaan Bintang parah? Pertanyaan itu terus muncul di kepalaku. Aku segera menuju meja resepsionis untuk menanyakan ruang kamar inap Bintang. "Permisi, kamar atas nama Calista Bintang Pradana di mana ya?" tanyaku kepada resepsionis yang berjaga. Resepsionis perempuan itu tersenyum ramah sembari menjawab pertanyaanku. "Tunggu sebentar, Mas. Saya carikan dulu," ujar resepsionis itu segera memainkan komputer untuk mencari ruang inap Bintang. "Atas nama Calista Bintang ada di kamar Bougenville 3, Kak." Mendengar jawaban dari resepsionis aku segera berterimakasih kemudian bergegas menuju ruang Bougenville 3 yang di maksud. Tak perlu waktu lama untukku menemukan ruangan itu karena tidak terlalu jauh dari tempat resepsionis tadi. Aku sudah berdiri di depan pintu. Belum sempat aku masuk, pintu itu terbuka dan keluarlah kakaknya Bintang. "Eh, Kak Ken," sapaku langsung tersenyum ramah. Kak Ken juga nampak terkejut mengetahui ada diriku di depannya sekarang. "Loh temennya Lista yah yang dulu pernah ke rumah? Siapa itu aduh lupa nama kamu hehe," ujar Kak Kenny. "Iya, Kak. Kenalan lagi deh, Kak, saya Radif namanya," kataku mencoba akrab kembali dengan Kak Ken. "Owalah iya Radif aduh masih mudah udah pikun aja deh. Eh mau ketemu Lista yah?" ucap Kak Ken yang sepertinya sudah mengingat diriku. "Hehehe sama kok, Kak, saya sering lupa juga. Iya, Kak, saya izin mau ketemu Bintang boleh?" kataku meminta izin sebagai niat baikku ke mari. Raut wajah Kak Ken seketika berubah serius. Wajahnya terlihat berpikir keras. Aku yang menyaksikan itu membuatku khawatir dan kalian tau rasanya jantungku akan meledak sekarang juga. Kak Ken menatap penampilanku dari atas hingga bawah. Tentu saja aku menjadi semakin gugup. Ia menatapku lama sebelum menjawab pertanyaanku. "Ahh serius banget sih mukanya hahaha," balas Kak Ken tertawa melihatku yang gugup. Aku yang menyadari sedang dikerjai oleh Kak Ken kini menjadi sangatlah malu. Apalagi rasa gugupku pasti sangat terlihat. "Boleh kok kalau mau jenguk. Tapi nanti hati-hati ya sama dia. Lista sekarang lagi sensitif, jadi pokoknya hati-hati," ungkap Kak Ken memperingatiku. Wajah Kak Ken entah mengapa berubah sendu ketika mengungkapkan kondisi Bintang. "Eh iya insyaallah saya akan hati-hati, Kak. Terimakasih udah ngijinin saya, Kak." "Iya santai aja, Dif." "Oh iya, Kak. Sebelum saya ketemu Bintang, boleh saya tahu sebenarnya apa yang terjadi dengan Bintang?" tanyaku kepada Kak Ken dan langsung disanggupi. Ia memintaku untuk duduk di kursi tunggu terlebih dahulu. "Seperti yang lo tau Bintang sekarang harus tinggal beberapa saat di rumah sakit. Dan mungkin saja belum bisa bergabung dengan kalian dalam waktu dekat. Kalau lo tanya kondisi Bintang sekarang, mungkin lo nggak akan dapet kabar yang menggembirakan. Kondisi Bintang sekarang belum bisa dikatakan baik. Lebih tepatnya kondisi mentalnya lah yang masih perlu perhatian khusus," ungkap Kak Ken yang membuatku terkejut. Bagaimana bisa Bintang sampai mengalami seperti yang Kak Ken ceritakan? Apakah telah terjadi sesuatu yang parah dengannya? "Mata milik Calista untuk sekarang tidak bisa digunakan berbagaimana mestinya." Sontak saja aku terkejut dam menatap tak percaya kepada Kak Ken yang terlihat sangatlah sedih. Aku tak percaya, namun raut wajah Kak Ken menyiratkan bahwa semua yang ia ucapkan adalah kebenaran. "Sekarang Calista sedang dalam proses menerima keadaannya. Pastilah sangat sulit bagi Lista buat menerima dirinya yang sekarang. Tapi alhamdulillah di sekelilingnya masih banyak orang yang menyayangi dan menyuport untuk bangkit. Gue harap Lista segera pulih seperti sedia kala. Gue kadang sedih ketika liat dia yang bilang ingin sekali menangis. Hati gue kayak hancur ngeliat dia hancur seperti ini," cerita Kak Ken dengan mata yang sudah berkaca-kaca. Sedangkan diriku sedari tadi tidak bisa berkata-kata. Kenyataan yang sekarang Bintang hadapi membuatku tak tau harus berbuat bagaimana. Aku tak menyangka setelah perdebatan hebat kemarin, Lista harus mengalami musibah seberat ini. "Gue harap nanti lo bisa bicara baik-baik sama Lista," ujar Kak Ken memintaku melakukanku untuk mengerti dengan keadaan Calista yang sekarang. "Iya, Kak. Saya turut prihatin dengan kondisi Bintang. Kak Ken dan keluarga yang sabar yah insyaallah Bintang pasti bisa menerima keadaannya nanti," ucapku memberikan semangat kepada Kak Ken yang tampak sedang rapuh. Kak Ken tersenyum tegar. "Thanks bro. Gue seneng ketemu orang kayak lo." Aku tersenyum kikuk mendengar pujian Kak Ken yang diberikan kepadaku. Kak Ken bangkit dari duduknya, akupun mengikutinua bangkit. "Oh iya, Bro, gue mau ke kantin dulu ya. Lo bisa langsung jenguk Lista, jangan ditutup rapat-rapat pintunya. Jangan berani macem-macem sama adek gue juga. Pokoknya gue nitip bentar Calista sama lo," ujar Kak Ken panjang lebar. Aku menjadi gugup sendiri mendengar ucapan Kak Ken. "Iya, Kak, insyaallah aman," ujarku seadanya. Kak Ken kembali tertawa melihatku yang bertingkah bodoh. Aduh aku sangatlah malu sekarang. "Ya udah gue pergi ya, assalamualaikum." "Iya, Kak, wa'alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh." Seusai Kak Ken meninggalkan tempatnya, aku pun bergerak maju kembali mendekat ke arah pintu kamar Bintang. Sejenak aku menghela napas mempersiapkan diriku sebelum masuk. "Huh, bismillah. Lo bisa Radif!" kataku mencoba menyemangati diriku sendiri. Aku pun akhirnya memberanikan diri memutar knop pintu itu. Saat aku membuka, langsung saja aroma obat-obatan tercium menyengat. Ah aku benci dengan rumah sakit. Saat aku membukanya, sosok gadis berhijab terlihat sedang tiduran di blankarnya. Aku tak bisa melihatnya tidur atau tidak karena mata Bintang tertutup oleh kain putih. Aku hanya bisa menatap nanar dirinya yang berbaring lemah. Tak ada lagi keceriaan yang terpancar di wajahnya. Hanya raut datar yanh terbaca. "Assalamualaikum," lirihku. Namun tak ada jawaban yang terdengar dari gadis itu. Apa ia tertidur? Aku memberanikan diri mendekat ke blankar ia berbaring dan duduk di samping blankarnya. Aku masih tak menyangka di depanku ini adalah Bintang di ceria dan pembawa bahagia. "Kayaknya baru kemarin lo berdebat sama gue. Kenapa lo udah jadi kayak gini?" gumamku pelan turut sedih melihat kondisi Bintang yang terbaring lemah dengan pandangan yang tertutup sesuatu. "Padahal gue mau nyampein berita yang luar biasa. Gue liat lo kayak gini jadi ngerasa sia-sia deh," kataku mulai mencurahkan isi hatiku. Jika Bintang mendengarku berbicara seperti ini, aku jamin ia akan meledekku habis-habisan, tapi berhubung ia terlihat tertidur pulas jadi aku tak segan mengucapkan ini kepadanya. Lama aku mengamatinya dalam diam mencoba menelisik apa yang dialaminya kemarin, namun tanpa disangka bibirnya terucap begitu saja. "Jangan natap gue kayak gitu." Sontak saja aku langsung mengalihkan perhatianku. Aku terkejut mengetahui Bintang yang ternyata tak tertidur. Pikiranku seketika langsung tertuju kepada perkataan curhatanku tadi. Apa ia mendengar semuanya? "Hahaha gue nggak nyangka Radif curhat sama gue." Mataku mungkin sudah terlihat melotot seperti akan keluar. Sungguh aku tak menyangka Bintang mendengar semuanya. Aduh gawat. Aku masih tidak bisa berkutik dan terus terdiam mendengarkan Bintang berceloteh. Biarlah dia berbicara dan mengeluarkan unek-unek hatinya. Lagipun aku sudah sangat malu mengetahui Bintang mendengarkan seluruh perkataanku tadi. "Tenang aja, Dif, Lo nggak perlu pindah, gue yang akan pergi dari hidup lo." Tbc
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD