37-?Beautiful Eyes?

1435 Words
_***_ Jika ditanya apakah aku akan memperbaiki kesalahanku di masa lalu, akan aku jawab tidak. Karena jika aku mengubah jalan masa laluku, belum tentu aku akan berada di posisi ini. Memang mungkin akan membawa masa depan lebih cerah, tapi ada kemungkinan juga masa depanku menjadi lebih kacau. _***_ Calista's POV Aku masih saja berjalan mundur akibat tarikan Radif. Daripada aku berdebat tak ada habisnya, lebih baik menurut saja lah. Toh aku aku menjadi tidak perlu menggunakan tenaga banyak untuk berjalan. Sesampainya di sebuah ruangan dengan bau buku yang memuakkan, kami pun melepas alas kaki dan masuk. "Assalamu'alaikum, Bu Hani." Aku menyapa kemudian menghampiri meja peminjaman buku. Aku memang sudah cukup akrab dengan penjaga perpustakaan di sini yah karena hampir tiap hari aku meminjam buku di sini. "Wa'alikumussalam. Eh Calista baru kelihatan sekarang kamu," tanggap orang yang aku sapa tadi. "Lo deket ya sama ibunya?" tanya Radif yang mengikutiku dari belakang. Aku tak mengidahkannya dan terus berjalan maju. "Iya, Bu, Calista lagi gak ada mood buat baca buku hehehe," jawabku tak menjelaskan alasanku menghilang sekitar satu bulanan. "Kamu nih ya, Lis, ada ada aja. Terus sekarang mau pinjem buku apa?" Aku yang baru menyadari belum menanyakan buku yang hendak dipinjam pun berbisik sejenak. "Mau pinjem buku apa weh? Lo belum ngasih tau gue," bisikku menyenggol lengan Radif. "Pelajaran pertama kan Bu Endah, ya buku Sejarah lah. Dan pinjem 15 aja," balas Radif ikut berbisik. Ah betapa bodohnya aku tak melogika pelajaran hari ini. Entahlah pikiranku terasa kacau sejak kemarin. "Sejarah, Bu, mau pinjem 15 ya," ucapku kepada Bu Hani yang sedang menunggu perpustakaan. Bu Habi terlihat mencari-cari sesuatu di komputernya. Cukup lama menunggu hingga akhirnya ia memberikan dua tumpuk bukunpaket sejarah. "Terima kasih, Bu!" seru kami serentak. Kemudian kami berpamitan dan keluar dari perpustakaan itu. Karena setumpuk buku di tangan kami, kami agak kesulitan untuk memasang kembali alas sepatu. "Bisa gak?" tanya Radif kepadaku yang kesusahan memakai sepatu. "Susah ih, tolong bawain dulu," kataku memberikan setumpukan buku yang tadi aku bawa. Ia terlihat sudah selesai memakai alas kaki sehingga tak masalah aku langsung memberinya setumpuk buku. Aku kembali terfokus berjongkok untuk memasukkan kaki ke sepatu. Setelah selesai, aku pun berdiri. "Pagi, Pak!" Aku terkejut mendapati ada wali kelasku. Aku yang menyadari ia memperhatikan tasku pun hanya bisa ketar-ketir. "Kalian ngapain di sini?" tanya Pak Hendra namanya. "Ini kami lagi minjem buku, Pak." Sedadi tadi hanya Radif yang menjawab. Terlalu takut untuk diriku ikut campur. Asal kalian tahu saja, wali kelasku merupakan salah satu guru killer di sekolah ini. Jika ada siswa di kelas kami yang tidak disiplin, ia tak segan akan langsung memarahinya. "Kamu terlambat?" Ia bertanya sembari menunjuk ke arahku. Tentu saja aku hanya bisa tertunduk karena tertangkap basah. Ah dugaanku benar, kan? Radif sih, kalau aja tadi gue langsung masuk kelas, kan gak akan ketahuan. "Enggak, Pak, tadi saya meminta Bintang buat bawa tas, soalnya ini bukunya banyak banget jadi susah bawanya." Aku terkejut dengan jawaban Radif. Bisa-bisanya ia berpikir seperti itu. Aku bahkan tak menyangka ia mau berbohong. Dan aku tak menyangka ia menyelamatkan nyawaku dua kali hari ini. Ah, bagaimana aku bisa membalasnya? "Benar begitu, Lista?" Kakiku disenggol oleh Radif sedang mengode untuk memintaku mengikuti sandiwaranya. Ah, yang benar saja aku harus membohongi wali kelasku sendiri, tapi jika tidak bisa bahaya. Aku pun mendongak. "Iya, Pak. Saya awalnya menolak tapi dipaksa terus jadi ya saya bawa saja. Lagian ternyata juga berguna juga," ujarku mengikuti sandiwara Radif dengan meyakinkan. "Ah, ya udah kalau gitu. Cepet ke kelas, bapak mau kasih pengumuman," kata Pak Hendra berjalan mendahului. "Baik, Pak!" Kami berdua masih terdiam di tempat kemudian menghela napas lega. "Hampir aja," ucapku dengan kelegaan yang luar biasa. Radif pun terlihat lega. Sepertinya ia memikirkan alasan tadi dengan spontan, namun tak apa masih masuk diakal walaupun agak aneh. "Thanks, Dif, nyawa gue lo selamati dua kali pagi ini." Tentu aku tak akan lupa mengucapkan terima kasih karena sedari kecil aku selalu diajarkan untuk tidak malu untuk berterima kasih, meminta maaf dan meminta tolong. "Jadi lo traktir gue tiga kali, fiks!" Aku melongo mendengar perkataan Radif yang kemudian pergi begitu saja. Yang benar saja, ia mengharapkan imbalan semua. Tapi tak apalah tanpa diminta pun aku berusaha memberikan balasan terima kasih. "Cepet!" Aku mendengus kesal kemudian bergegas mengikuti langkah Radif kembali ke kelas. Pria di depanku ini memang sangatlah tak terduga. *** Sesampainya di kelas, kami pun mendapati Pak Hendra telah masuk. Kami mengetuk pintu terlebih dahulu kemudian memasukinya. "Baik anak-anak, karena sudah lengkap, bapak ingin mengumumkan beberapa hal. Yang pertama mengenai akan diadakannya akreditasi sekolah, sekolah mengadakan kompetisi kebersihan kelas. Jadi bapak harap kalian semua bersungguh-sungguh melakukan kompetisi ini karena ini bukan hanya kompetisi tapi juga demi nama baik sekolah. Selain itu bapak juga meminta kalian untuk menjaga sikap dan jangan TERLAMBAT! Mengerti?" jelas Pak Hendra langsung disahuti kami. "Mengerti, Pak!" Entah mengapa di kalimat terakhir seperti menohokku. Walaupun aku tidak ketahuan terlambat, tapi karena aku memang melakukan kesalahan membuatku tersindir. Aku janji tak akan terlambat lagi! "Baik, cuma itu yang mau bapak infokan. Untuk srlanjutnya kalian bisa melanjutkan pembelajaran. Sekian, Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh." "Wa'alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh. Terima kasih, Pak!" Pak Hendra pun pergi meninggalkan kelas. Dan aku dan Radif bergegas membagikan buku paket yang kamu pinjam tadi. Setelahnya Radif menulis tugas yang harus dikerjakan. "Huh!" ucapku duduk di tempat duduk. "Tumben telat, Lis. Kenapa?" tanya Wendya yang menyadari bahwa diriku terlambat. Aku memejamkan mataku mendongak. "Pusing banget gue," jawabku. "Lo gak sehat, kah? Atau ada masalah sama mata lo?" tanya Wendya yang tepat sasaran. Aku kembali membuka mataku dan menatap Wendya. "Yah seperti lo tau kemarin gue cekup dam ternyata hasilnya belum bagus. Gue masih harus rutin kontrol tiap bulan." "Semangat, Lista, aku percaya kamu bisa sembuh. Lista kan kuat. Dan juga ambil hikmahnya aja, kalau kamu harus rutin kontrol itu artinya kamu bakalan sangat menjaga mata kamu itu." Aku tertegun, ada benarnya ucapan Wendya. "Thanks, Wen, gue cuma merasa bersalah tadi bohongin Pak Hendra." Wendya terkekeh mendapatiku yang selalu merasa cemas jika sudah berbohong atas sesuatu. Yah mau gimana lagi, aku adalah orang seperti ini. *** "Lis, gawat!" Aku yang sedang tertidur di kelas tiba-tiba terbangun karena situasi gawat yang Wendya utarakan. "Apa?!" jawabku ikut panik. Wendya menunjukkan layar ponselnya yang menyala di depan wajahku. Aku pun merebut ponsel itu dan membaca apakah yang membuat Wendya sepanik itu. Setelah aku membaca apa yang ia tunjukkan, aku hanya menatap Wendya datar. "Cuma kayak gutu, Wen? Ngapain sepanik itu? Kaget tau gue kirain apaan," ucapku dengan datar kemudian menenggelamkan wajahku di kedua siku tanganku untuk kembali tidur. "Cuma itu?! Kamu gak paham pasti?" tanya Wendya masih membahas apa yang aku baca tadi. Aku menggeleng masih mencoba untuk terlelap. "Ini tunaskah cerita kamu yang dulu itu mau dipinang lagi!" Seruan Wendya membuatku terbelalak, rasa kantukku yang tak tertahan tadi seketika menguao entah kemana. Aku bangkit dari kursiku setelah mencerna ucapan Wendya barusan. "APA?!" Teriakan kerasku sepertinya mengundang perhatian orang sekitar. Wendya mengodeku untuk diam dan dengan cepat aku kembali terduduk. "Heh maksudnya itu gimana? Naskah ceritaku? Kok bisa? Bukannya dulu udah kamu batalin?" tanyaku memberondong karena sungguh aku masih terkejut. Wendya yang tadinya panik terkihat cemas. "Aku gak tau juga, Lis. Huaaa maaf ya, Lis, karena gue waktu itu malah kayak gini," ujarnya dengan penuh penyesalan. Aku yang melihatnya pun ikut termenung. Aku heran apa sih hebatnya naskah yang aku tulis itu? Padahal pembaca saja baru sedikit. Dan yang pasti itu hanya naskah abal-abal yang aku tulis asal. Karena aku dahulu tidak tahu menahu tentang teknik menulis. "Hemmm kalau gitu kamu tolak lagi aja deh, Wen. Aku belum siap buat terbit cerita," balasku. "Yakin, Lis? Sebenernya ini kesempatan bagus loh. Untuk bisa nerbitin buku." Bohong jika aku mengatakan tak ingin menerbitkan ceritaku, tapi sekarang aku masih terlalu takut untuk hasil yang mengecewakan. Menerbitkan buku menurutku bukan hanya mencetak kemudian menawarkannya kepada calon pembeli, namun bagiku untuk bisa mencetak buku itu harus memberikan nilai untuk pembacanya. Selain itu ada berbagai macam ketakutan yang ada di dalam otakku. Bagaimana jika tidak laku? Bagaimana jika aku tidak bisa memuaskan pembacaku nanti? Untuk itu aku meminta Wendya untuk menolaknya kembali. Aku senang ada yang meminang naskahku apalagi ini penerbit besar, namun aku belum siap atas segala pressur nantinya. Aku mengangguk, "aku belum siap, Wen, mungkin lain waktu saja." Aku akan belajar terlebih dahulu mengenai dunia kepenulisan. Aku tak ingin naskah cerita yang telah aku cetak sia-sia tak memberikan manfaat. Lagi pun sepertinya kosa kataku belum cukup enak untuk dibaca. Aku perlu banyak membaca buku dan berlatih untuk menambah kosa kata dan melueskan sebuah kata di dalam cerita. Aku ingin membuat sebuah karya yang selain indah, juga memberikan motivasi dan manfaat. Tbc
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD