36-?Beautiful Eyes?

1819 Words
-***- Tak perlu kecewa terhadap takdirmu saat ini. Kamu hanya perlu mensyukuri tiap jalan yang telah kamu lewati. Percayalah Allah telah menyiapkan kecutan yang besar di depan sana _***_ Malam yang dingin pun tiba. Langit terasa gelap tak ada cahaya sedikitpun. Bintang danbukan yang biasanya menerangi gelapnya malam pun tak nampak akibat tebalnya awan yang menghalanginya. Seorang gadis termenung menatap gelapnya langit tersebut. Raut wajahnya menyiratkan rasa khwatir yang mendalam. Tak lama kemudian ia menyeka tetesan air yang tiba-tiba menuruni pipinya. Sepertinya ia sedang menangis. "Kenapa lemah banget sih, Lis!" pekik seseorang itu dengan nada marah. "Jangan mentang-mentang bintang dilangit tak bersinar, bukan berarti Bintang di sini harus redup juga," gumamnya sembari memukul dadanya pelan. Ia nampak kesal dengan keadaannya saat ini. Matanya menatap langit yang kini masih gelap. Wajahnya terlihat mengeras. "Aku akan terus bersinar sekalipun awan tebal menutupiku," ucapnya memandang begis langit yang kini perlahan awan mulai menyingkir dan bulan besar kembali muncul. *** Calista's POV Aku membuka pintu itu dengan rasa khawatir yang semakim menjadi. Entah mengapa rasa khawatir itu kini semakin terasa seiring waktuku untuk diperiksa tiba. "Tang ... " Sdbuah suara memanggil namaku. Aku kemudian berbalik melihat sosok pria yang duduk di bangku tunggu. "Buktiin ke gue, lo bisa bersyukur atas nikmat yang telah Allah berikan. Gue tunggu di sini lo jangan khawatir," ucapnya membuatku sedikit terkejut. Aku sejenak terlupa bahwa apa yang telah aku miliki sekarang bukan semata milikku. Aku sepatutnya bersyukur bukan mengeluhkan dan mengkhawatirkan sesuatu yang belum terjadi "Thanks." Aku kemudian benar-benar memasuki ruangan itu dengan keyakinan yang mendadak muncul. "Silahkan duduk, Calista," ucap dokter yang menyambutku begitu memasuki ruangan itu. Aku kemudian menurut untuk duduk di kursi pasien. Mengenai dokter di depanku aku memang sudah mengenalnya karena selama aku check-up dialah yang menanganiku. "Santai saja, Lista," ucap dokter itu yang bernama Rika. Aku biasanya memanggil Kak Rika karena dia tak mau jika aku panggil dengan sebutan 'Dok'. Aku lantas tersenyum dan mencoba menekan rasa cemasku. "Apa kabar, Lista? Sepertinya semakin hari kamu semakin segar," tanya Dokter Rika mencoba membantuku untuk santai. "Alhamdulillah baik, Kak. Kak Rika sendiri gimana?" balasku mencairkan keadaan. Kak Rika tersenyum, ketahuilah Kak Rika itu sangatlah cantik dan tak ketinggalan senyum manisnya yang dihiasi kedua lesung pipi membuat pesonanya bertambah berlipat. "Baik juga, Lista. Oh iya kamu dianter Umi?" Aku menggeleng, entah mengapa aku seketika canggung untuk menyebutkan bahwa aku diantar oleh teman sekelasku. "Emm bukan, Kak, Umi sama Abi lagi ke rumah nenek jadi gak bisa nemenin." "Eh lah, terus kamu ke sini sendiri?" Aduh, aku sedari tadi mencoba mengalihkan pembicaraan agar tidak ditanya sampai sana, namun ah sudahlah ... "Aemm nggak, Kak, ke sini dianter temen," jawabku canggung. Kak Rika sepertinga menyadari rasa canggungku. Dia seketika menatapku menelisik. Aku yang ditatap seperti itu tentu saja menjadi salah tingkah sendiri. "Cowok ya?" Mendengar pertanyaan Kak Rika entah mengapa membuat pipiku memanas. Oh tidak! Jangan lagi! Jangan berulah dulu. Kak Rika nampak tersenyum misterius. Aku yang tak ingin terjadi kesalahpahaman pun mencoba menyangkal terlebih dahulu apa yang akan ia katakan. "Temen, Kak. Jangan berpikir-macem loh." Kak Rika kemudian tertawa. "Ah iya kakak paham namanya juga anak muda. Kakak pernah ngalamin kok." Mendengar itu membuat pipiku semakin panas saja. Aku berusaha menetralkan perasaanku sembari menahan malu karena ucapan Kak Rika menyiratkan pasti ada sesuatu diantara aku dam Radif. "Udah deh kasian kamu, Lista, sampe merah gitu pipinya," ucap Kak Rika terkekeh geli. Aku yang menyadarinya segera menutup pipiku dengan kedua tangan. "Kak Rika, jangan gitu," gumamku. Setelah itu tawa Kak Rika pun berhenti dan memulai sesi check-up. "Ya udah ayo kita mulai." Pertama-tama Kak Rika menanyakan keluhanku dahulu dan aku pun menyampaikan keadaanku yang sebenar-benarnya. Aku tak mau jika apa yang aku sembunyikan nanti membuat keadaanku memburuk. Cukup lama proses check-up kali ini. Yah memang biasanya lama seperti ini karena cukup banyak tes yang aku jalani. Setelah semua tes telah aku jalani membutuhkan waktu sekitar lima belas menitan, aku pun duduk kembali di kursi pasien dengan Kak Rina yang masih melihat-lihat hasil tes yang aku jalani tadi. '"Apakah buruk, Kak?" tanyaku sembari menyiapkan mental mendengar hasil check-up. Dianalisa dari wajah kak Rika, seperrinya hasil kontrol kali ini tak cukup bagus. Aku sudah menduganya karena yah belakangan ini pandanganku memang tidak terlalu stabil. "Apa belakangan kamu merasa begitu?" tanya Kak Rika yang telah selesai melihat hasil tesku. Aku mengangguk dengan lemah. Jujur saja aku belum siap jika ternyata aku harus berlanjut check-up lagi. Kak Rika menghela napas panjang. "Seperti yang kamu duga, hasik cek kali ini tidak sebaik kemarin. Dan kamu harus melakukan cek lagi bulan depan." Aku kemudian membuang napas kasar. Harapanku untuk sembuh ternyata bukan sekarang. "Tak apa, Lista, Kakak yakin sebentar lagi kamu sembuh dan terbebas dari semua cek ini," ucap Kak Rika dengan memegang tanganku memberi keyakinan. Aku dengan susah payah menahan air mataku dan mengulas senyum. "Semoga, Kak," lirihku. "Pokoknya kamu inget pesen kakak oke, jaga mata itu dan cobalah untuk bersabar. Ada saatnya nanti, Lista." Lamunku seketika buyar begitu aku mendengar pintu terbuka. Sepertinya aku terlalu larut dengan alam bawah sadarku hingga tak mendengar mobil Abi memasuki pekarangan. "Assalamu'alaikum, Sayang." Aku yang sedang menonton saluran televisi pun bergegas bangkit dan menuju sumber suara. "Wa'alaikumussalam, Umi, Abi! Alhamdulillah udah pulang," kataku menyambut kedatangan Umi dan Abi dari rumah nenek. Aku mendekat dan menyalaminya sebagai bentuk hormat dan menyayanginya. Setelah aku menyalami Umi dan Abi, secara spontan mataku tertuju kepada paperbag yanh dipegang oleh Umi. "Apa tu, Mi?" tanyaku penasaran. Umi nampak tersenyum kemudian memberikan paperbag itu kepadaku. "Ini titipan Nenek." Mataku seketika berbinar. Mendengar hadiah dari nenel pasti isinya sesuati yang luar biasa. "Uwww alhamdulillah!" Umi dan Abi terkekeh geli melihatku yang kegirangan mendapat bingkisan itu. "Coba dibuka dong, Sayang," ucap Abi yang mengerti diriku yang sudah tak sabar membukanya. Aku kemudian membukanya paperbag itu dan ternyata barang yang selama ini aku idam-idamkan di sana. "Aaaaa sepatu baruuuu!" seruku karena terlalu senang mensapatkan hadiah sepatu berwarna putih ini. "Alhamdulillah, Sayang, sepatu baru," ujar Umi mengingatkanku mengucap kalimat hamdalah. Kalimat hamdalah dapat diartikan sebagai segala puji bagi Allah. Quraish Shihab menjelaskan, kata Alhamdulillah juga dimaknai sebagai ungkapan syukur atas nikmat yang telah diberikan Allah SWT. Dan selain itu keutamaan kalimat hamdalah pun sangat besar. "Sesungguhnya Allah ‘Azza wa Jalla telah memilih empat perkataan, yaitu subhanallah, alhamdulillah, laa ilaaha ilallah, dan allahu akbar. Barangsiapa mengucapkan “Subhanallah” maka akan dituliskan untuknya dua puluh kebaikan dan dihapuskan darinya dua puluh kesalahan. Barangsiapa mengucapkan “Allahu Akbar” maka akan dituliskan untuknya seperti itu pula. Barangsiapa mengucapkan “Laa ilaaha illallah” maka akan dituliskan untuknya seperti itu pula. Dan barangsiapa mengucapkan “Alhamdulillahi Rabbil ‘alamin” dari dalam hatinya, maka akan dituliskan untuknya tiga puluh kebaikan dan dihapuskan darinya tiga puluh kesalahan.” (HR. Ahmad no. 8032) "Iya, Mi, Alhamdulillah. Lista seneng banget!" Abi yang gemas pun mengacak-acak rambutku yang terurai sedangkan aku hanya bisa menyengir dan menikmati tiap sentuhan kasih sayang Abi. "Ya udah kalau gitu Abi masuk ya. Itu sepatu jangan lupa di coba," kata Abi. Aku menghormat. "Siap, Abi!" Lantas Abi pun pergi memasuki rumah sembari terkekeh melihat tingkahku. Umi yang masih ada di depanku kini menatapku dengan senyuman yang terus bersinar. "Coba dipake," ucapnya. Aku tanpa ragu mencoba sepatu putih itu. Sepatu yang sebenarnya aku impikan dan berharap suatu saat akan bisa terbeli dengan uangku sendiri. Aku tak menyangka mendapatkan hadiah ini dari nenek. Saat aku mencoba, sepatu itu masuk di kakiku walaupun masih longgar sedikit tak apa. Aku bisa menggunakan sepatu ini lebih lama, yah siapa tau saja ukuran telapak kakiku nanti semakin besar. "Cukup, Mi!" seruku girang. Umi terkekeh geli. "Umi seneng kamu suka sepatunya, Sayang, Nenek pasti juga seneng ngelihat cucunya suka sama hadiahnya." Aku menyengir kembali menampilkan deretan gigi rapiku. "Hadiah nenek tak pernah mengecewakan, Mi." "Hahaha kau ini selalu suka ya yang namanya hadiah," ujar Umi. Aku memang sangat menyukai yang namanya hadiah. Aku sebisa mungkin untuk selalu mengenakan barang pemberian semua orang. "Tadi gimana kontrolnya sayang?" Pertanyaan Umi membuatku berhenti bergerak. Rasa bahagia seperti menguap begitu pertanyaan tersebut terlontar. Sedikit sulit untukku mengingat hasilnya. Memang tak terlalu buruk, namun aku masih kecewa karena ternyata aku masih harus melakukan check-up lagi. Bukannya menjawab, aku hanya bisa mengulas senyum. Umi sepertinya mengerti perasaanku kemudian memelukku memberi ketenangan. "Tenang aja, Sayang, semua akan baik-baik saja. Kamu pasti bisa sembuh sayang. Percaya sama kuasa Allah," bisik Umi yang seketika menyadarkanku yang terlalu sedih akan hasil hari ini. Astaghfirullah.. "Terima kasih, Umi," bisikku membalas kata-kata Umi yang membuatku tersadar tak seharusnya aku mengecewakan takdir. Aku mengerti, mungkin sekarang belum waktunya aku sembuh, tapi aku percaya Allah pasti menyiapkan sesuatu yang hebat di depan sana. Aku hanya cukup percaya akan rencana Allah. *** Keesokan harinya, aku terlambat sekolah. Semalam aku terlalu larut untuk tidur akibat terlalu keras memikirkan hasil tes kemarin. "Ah bodoh kau, Lista!" seruku dengan berlari mengusuri karidor sekolah. Waktu sudah menunjukkan pukul 07.20, artinya aku telah terlambat 20 menit. Baru kali ini aku berangkat sekolah sampai setelat ini. Aku terus berlari menuju kelasku sembari sesekali melihat kearah jam tanganku. "Aduh, kenapa kelasku sejauh ini sih!" Saat aku berlari, aku tak sadar ternyata ada sebuah kayu yang melintang. Aku yang terlejut pun menginjak kayu itu dan pasti kaliam tahu apa yang terjadi selanjutnya. Namun ternyata aku tak tersungkur, ada seseorang yang menahan tubuhku dengan menarik tas ranselku. "Hati-hati kalau jalan tu. Fokus, Bintang Kejora." Aku seketike menegakkan badanku dan melibat sosok Radif di depanku. Aku menghembuskan napasku lega. Untung saja ada Radif kalau tidak bisa-bisa aku masuk kelas dengan babak belur. "Huaaa thankyou, Radif!" pekikku. "Tumben banget lo telat," sindir Radif. "Ah nanti aja lo tanyanya. Gue mau ke kelas." Saat aku ingin berlari, lagi-lagi tasku ditahan olehnya otomatis aku pun berhenti. Saat aku akan memaki Radif, ia keburu menyerobot. "Tenang aja hari ini jam kosong. Guru lagi rapat buat persiapan akreditasi. Jadi mending lo ikut gue ke perpustakaan ngambil buku." Aku yang mendengar ucapan Radif itu pun akhirnya bisa bernapas lega. "Alhamdulillah, gue kira riwayat gue tamat hari ini." "Alah lebay lo, Tang, udah cepet ikut gue." Ia yang tak sabaran menarik tasku untuk mengikuti langkahnya, otomatis saja aku berjalan mundur. "Woy, Dif, lepas ih gue bisa jalan sendiri!" Ia tak mengidahkan teriakanku. Dia memang keras kepala sepertiku. Ah ingin rasanya aku meninjunya sekarang juga, namun mengingat kebaikannya tadi menyelamatkanku dari terjatuh tadi membuatku mengurungkannya. "Untung aja gue baik hari ini, kalau enggak udah gue tampol sih lo, Dif," gumamku sembari pasrah berjalan mundur sesuai keinginan Radif. "Nah nurut gitu dong baru bagus. Untung juga gue ketua kelas yang pengertian tau gak ngelaporin lo telat," balas Radif menunjukkan kekuasaannya. Aku menghela napas kembali. "Lagian walaupun lo gak ngelaporin tetep aja bakalan ketahuan kalau gue telat. Gue aja masih pake tas sekarang. Siapa yang gak curiga coba," kataku mendengus sebal. Radif yang mendengarnya pun terkekeh. Sungguh ketua kelas pengertian bagaimana coba. Ah sudahlah yang penting hari ini guru tidak masuk kelas, jadi kemungkinan aku dimarahi lebih kecil. Tbc
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD