38-?Beautiful Eyes?

1465 Words
_***_ Tak ada yang tidak mungkin di dunia ini. Selama kita percaya dan berpikir positif kepada Allah, pasti akan menemukan jalan dan keputusan terbaik. _***_ Calista's POV Semilir angin meniup pelan khimarku hingga membuatnya terbang-terbang. Memang di sini anginnya cukup kencang karena tempat ini paling tinggi. Hampir sepuluh menit aku hanya termagu menunggu seseorang di sini. "Huh, lama banget sih! Kebiasaan." Sudah tiga kali aku mengomel demikian karena orang yang aku tunggu tak kunjung memperlihatkan batang hidungnya. "Oke, mari kita tunggu lima menit lagi kalau tetep gak dateng ya udah pulang aja. Enak bobok nyenyak di rumah," gumamku lagi. Saat aku mengawasi dari atas, aku melihat sosok siswa dan siswi yang berbincang. "Cih, dasar Radif." Aku terus memperhatikan mereka. Memang aku tak bisa mendengar pembicaraan mereka, karena yah jarak kami cukup jauh. Namun aku hanya membaca gerak-gerik mereka saja. "Radif, gak berubah. Kasian si Era, tapi Era juga keterlaluan sih. Kayak terobsesi banget," komentarku melihat siswa siswi itu yang tak lain tak bukan si Radif dengan Era. Radif bergerak menjauhi Era dan Era tetap diam di tempat memandangi kepergian Radif. Yah, seperti biasanya Radif selalu dingin menghadapi Era dan seperti menganggap Era tak ada. Sejenak aku penasaran sebenarnya ada permasalahan apa mereka sebelum permasalahan yang baru-baru ini terjadi. "Sorry telat." Aku yang masih memandang tempat tadi seketika terperanjat. Aku terlalu larut akan pikiranku hingga tak menyadari Radif telah sampai di tempatku. Aku berbalik dan menatap Radif datar. "Seabad gue nungguin lo." Radif terengah-engah, sepertinya ia berlari menuju tempat ini. "Ya maaf, tadi ada serangga ganggu." Aku yang mendengarnya terkekeh geli. Bisa-bisanya ia memanggil sosok Era seperti itu. Yah sepertinya ia sangat membenci Era jadi ya wajar, mungkin(?). "Untung gue belum pulang," ucapku sekali lagi. Radif berjalan ke tepi rooftop sembari mengatur napasnya yang terengah-engah. Iya, sudah pasti dia ke mari dengan berlari. Ia menyeka keringat yang menetes dari rambutnya. Lantas menjawab, "untung gue lebih cepet ke sininya yah walaupun terlambat." "Mau ngomongin apa?" tanyaku terus terang. Karena cuaca lagi-lagi tak bersahabat sehingga mau tak mau aku harus segera pulang. Ia masih mengatur napasnya. Aku pun menunggu ia yang masih terlihat lelah dengan keringat yang bercucuran. Mungkin sekitar lima menit kami terdiam. Aku masih sibuk memandang sekolah sedangkan Radif masih sibuk dengan rasa lelahnya. "Lo masih utang cerita sama gue," ucap Radifmemecah keheningan. Aku pun menoleh dan melihat Radif yang sudah seperti sedia kala. Aku berbalik berhadapan dengam Radif. Sebenarnya tidak berhadapan secara langsung juga. Kami masih memiliku berjarak cukup jauh. "Kirain udah gak tertarik. Penasaran ya?" balasku melontarkan candaan. Sesekali lah menjahili Radif. Biar dia tahu bagaimana rasanya dijahili. Radif mendengus kesal. "Kalau lo gak mau ceeita gak papa sih," kata Radif yang sepertinya masih dalam keadaan mood buruk. Aku terkekeh kecil. "Canda kali, baper amat sih, Dif." Lagi-lagi ia tak banyak bicara hanya merengut kesal. Kalau Radif sudah seperti ini mau dibercandai kayak bagaimana pun susah. Aku yang tak ingin semakin membuat buruk suasana hatinya pun segera menuruti permintaannya saja. "Apa yang pengen lo tahu lagi?" tanyaku memintanya memberikanku saran memulai cerita. "Selama lo di rumah sakit dan juga saat momen lo bisa kembali melihat." Aku yang mengerti apa yang diminta Radif itu pun menarik napas panjang terlebih dahulu sebelum memulai. Aku perlu merelaks kan diri agar tak terjadi sesuatu yang tak diinginkan nantinya. Kalian masih ingat peristiwa di mana aku susah bernapas kan? Nah seperti itu, aku tak ingin mengulanginya lagi. "Lo gak masalah kan kalau cerita hal itu?" tanya Radif yang menghentikanku unruk memulai. "Insyaallah gue udah siap." Setelah Radif ikut mengangguk, aku pun akan memulai bercerita. "Gue cerita pake kata 'aku' ya." "Setelah aku mendengar vonis dokter bahwa aku buta, saat itu duniaku seperti hancur. Aku belum bisa menerima kalau aku harus hidup tanpa cahaya lagi. Masih gak kebayang gimana hidup aku besok lusa dan ke depannya." Aku menghela napas sejenak sebelum melanjutkan. Jujur saja agak berat untuk menceritakan kondisiku saat itu. Terlalu sakit jika dibayangkan. "Bodohnya waktu itu, sempat ada pikiran untuk mengakhiri hidup. Pikiranku kacau balau, terlalu gelap dan tak bisa berpikir jernih. Yah seperti yang aku pernah bilang. Butuh seminggu untuk aku bisa membuka diri untuk berbicara dengan keluargaku. Dan butuh dua minggu untuk aku bisa beradaptasi dengan gelapnya hari yang selalu aku lihat. Aku kadang tertawa sendiri menyadari bahwa bintang yang biasanya menemani bulan bersinar, kini malah redup tak bisa melihat setitik cahaya pun." Aku yang menatap Radif yang menatapku dengan tatapan iba. Huh ingin rasanya aku menampolnya sekarang ini karena berani-beraninya menatapku seperti itu. "Jangan gitu juga natepnya," sindirku membuatnya tersentak. "Ah, maap-maap terbawa suasana sih gue. Sorry lah," pekiknya terkejut kepergok menatapku iba. Aku lantas tersenyum. "Tapi wajar kok, gue kemarin memang pantes dikasihani, tapi enggak sekarang. Jadi stop tatap gue dengan tatapan iba," gertakku. Radif terkejut kemudian mengangguk cepat. Aku tersenyum kecil, kenapa Radif mendadak menjadi penurut seperti ini. Aku ingin mengabadikan momen ini di dalam memoriku. Sungguh ini itu kejadian yang langka. "Yok lanjut!" Aku kemudian melanjutkan ceritaku. "Mungkin udah cukup tentang masa kelam itu. Aku gak mau mengingat hal menakutkan seperti itu. Aku bakalan ceritain bagaimana aku bisa melihat cahaya ini lagi." "Sebenarnya aku masih tidak menyangka, Allah akan memberikanku kenikmatan melihat lagi. Dokter yang memeriksaku saja sudah pernah bilang kemungkinan aku akan buta permanen dan itu sebenarnya yang menjadi bebanku saat itu. Hampir—" Baru aku akan melanjutkan cerita, Radif menyela. "Dokter bukan Tuhan, Tang, dan tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini. Kamu hanya perlu percaya sama Allah.' Aku tersenyum mendengar ucapan Radif. "Iya kamu bener, Dif, bodohnya aku waktu itu menyalahkan Tuhan atas semua yang menimpaku. Kegelapan seolah menelan akal pikiranku waktu itu. Tapi aku sekarang sadar dan bersyukur atas semua yang menimpaku. Aku kini menjadi lebih kuat dan bisa lebih ikhlas menerima takdir." Kami saling pandang satu sama lain. Dua menit kira-kita kami terdiam dan kemudian tawa kami pecah. "Kayak drama banget dah ini, hahaha," ujarku memicu tawa yang semakin keras. "Gue gak percaya bisa ngomong kayak gitu ke lo, Tang," balas Radif tertawa lebar. Sore itu kami kembali bercerita mengenai kisah masing-masing. Kisah yang tak sempat disaksikan satu sama lain dan tanpa sadar kisah ini membawa kami menjadi lebih kuat dan dewasa menyikapi suatu permasalahan. Masalah memang tak akan ada habisnya selama kita masih bernapas naik turunnya kehidupan pasti akan terjadi. Kita hanya harus percaya bahwa rencana Allah itu adalah sebaik-baiknya rencana. Karena apa yang kita pikir baik belum tentu yang terbaik. Dan apa yang kita pikir buruk juga belum tentu bernilai buruk. *** Setelah menyelesaikan sesi cerita bersama Radif, kini aku sedang menanti jemputan. Kak Ken yang akan menjemput tentunya. Dia bilang ia akan pulang sebentar lagi, oleh karena itu aku harus sabar menunggu. Radif sudah pulang, dia tadi sempat akan menemaniku untuk menunggu jemputan. Namun karena aku merasa tak enak selalu merepotkannya, aku mengusirnya. Kami akhir-akhir ini terlalu sering bersama, untuk itu aku memintanya untuk segera pulang ssbelum berita yang tidak-tidak akan terdengar. "Lo Bintang kan?" Aku menoleh begitu ada yang menanyakan namaku. Dan tak aku duga ternyata di sana ada Era. Aku tak menyangka ia masih berada di sekolah. Aku pikir ia bergegas pulang setelah 'perbincangan' nya kepada Radif tadi. "Iya, gue Bintang. Kita kan pernah bertemu kan?" balasku berbasa-basi. Aku memang tak menyukai Era, namun bukan karena hubungannya dengan Radif, melainkan karena sikapnya yang sok itu. Ia mendekat ke arahku dan duduk di sampingku. Ia tak menjawab dan hanya terdiam duduk. Sebenarnya aku agak tidak nyaman, namun mau bagaimana lagi aku tak ingin membuat peemasalahan dengan Era. "Sejak kapan lo kenal Fauzan?" tanyanya dengan padangan menunduk. Mendengar nama Fauzan sejenak membuatku bingung. Dan aku baru mengerti usai menelisik ingatanku. "Sejak Kelas dua," balasku singkat. "Kok lo bisa deket banget sama Fauzan?" Suasana mendadak panas begitu pertanyaan itu keliar dari mulut Era. Aku takut jika salah jawab nanti akan menimbulkan perselisihan kembali. Sudah cukup bagiku untuk mendapat sinisan darinya, aku tak ingin menambah musuh. "Gue gak deket sama Radif. c*m—" "Cuma sering bareng aja?" sahut Era tersenyum sinis kembali. Aku terkejut tentu menatapnya sedekat ini. Bukannya takut, aku hanya tak nyaman jika ada orang yang tak menyukaiku. "Gue sebenernya gak suka lo deket-deket sama Fauzan apalagi sampai ngobrol akrab. Jujur gue iri sama lo, Tang. Entah mantera apa yang lo ucapkan ke Fauzan, gue pengen kayak lo yang bisa deket sama dia," ucap Era melemah. Alisku turun menandakan kesedihan mendalam. Entah mengapa ruara dan nada bicara Era terdengar parau dan menyediahkan. "Bukannya lo temen kecilnya Radif?" Era nampak terkejut kemudian terkekeh kecil. "Jadi lo tau ya?" Aku mengangguk tak menjawab apapun. "Lo mau tahu kisah gue?" tanya Era tiba-tiba. Aku merasa heran tentu, mengingat Era yang terlihat selalu sinis kepadaku. Bagaimana bisa ia tiba-tiba bertanya itu kepadaku? Apa ia sedang putus asa? "Lo gak jawab, berarti artinya lo mau dengerin kisah panjang gue," kata Era dengan mengangkat sebelah bibirnya. Tbc
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD