35-?Beautiful Eyes?

1727 Words
_***_ Percayalah Allah lebih tahu kapasitas kekuatanmu sehingga Dia tak akan memberikan ujian melampaui kemampuan hambanya -***- Radif's POV Udara dingin mulai terasa begitu langit yang perlahan menjadi hitam. Untung saja tak lama kemudian aku telah sampai tujuan. Motor yang aku kendarai memasuki area rumah sakit tepatnya di area parkir. Aku menghentikan motorku kemudian menunggu seseorang dibelakangku untuk turun. "Udah?" tanyaku memastikannya sudah turun atau belum. "Udah," sahut orang yang baru saja turun dari motorku. Kemudian aku menyetandarkan motorku dan bergegas berjalan. "Tang," panggilku kepada orang yang kini ssdang berjalan di depanku. Ia menoleh ke arahku. Aku melihat wajahnya menyiratkan rasa khawatir. Sepertinya perasaanmya kini sedang tak menentu. Kurasa ia selalu cemas jika mengetahui keadaan kesehatannya. "Apa?" jawabnya dengan berusaha santai. Walaupun ia berusaha menutupi rasa cemasmya, aku bisa mengetahuinya lewat sorot mata dan gerak-geriknya yang berbeda. "Lo kontrol berapa kali?" tanyaku mencoba membantunya mengalihkan perhatian agar ia tak merasa cemas. "Emm sebulan sekali sih. Sebenarnya ini kontrol terakhir jika keadaan mataku semakin membaik," balasnya. Ketika ia menjawab pertanyaam itu kembali guratan cemas terlihat. Ia ssperti ragu untuk memeriksanya kali ini. Sepertinya ia sedang merasakan sesuatu yang tidak beres dengan dirinya. Aku harap bukan sesuatu yang buruk. Aku sebenarnya juga merasa cemas untuk kontrol pertama kali aku temani dan semoga yang menjadi terakhir kalinya Bingang melakukan kontrol. Semoga keadaanmu semakin membaik. "Oh gitu, gak bosen gitu di tempat bau obat kayak gini?" tanyaku kembali sembari mencoba membuatnya merasa nyaman. Ia terlihat menghela napas panjang. "Mau dibilang gak bosen sih bohong ya, tapi mau gimana lagi, gue harus sebulan sekali kontrol." "Lo gak suka bau obat?" tanya Bintang kepadaku. Aku semoat terkejut mendengar perkataannya. Sebenarnya tempat ini adalah tempat yang aku benci. Lebih dari satu tahun mama dahulu dirawat di sini dan selama itu juga aku selalu menungguinya. Karena bagiku ketika memasuki tempat ini, hanya hawa kesedihan yang aku rasa. Bayang-banyang kepergian mama masih terekam jelas dan sulit untuk aku menghapus memori itu. Sebelum memutuskan untuk mengantarkan Bintang ke sini, aku terus berpikir keras. Rasa trauma membuatku terasa berat untuk mengunjungi tempat ini lagi. Namun semua bisa aku tekan mengingat aku tahu bagaimana perasaan seseorang yang sedang 'sakit' harus memeriksa diri sendiri ke rumah sakit. "Dif ... Radif ... lo kenapa dah?" Aku tersentak mendengar gertakan Bintang yang menyadarkanku. Aku mengerjapkan mataku mencoba memberikan kesadaran. Ingatan masa lalu terasa menyedot sdmua atensiku hingga aki tak fokus di dunia nyata. "Aaah enggak sih. Kalau dipikir siapa juga yang suka bau rumah sakit, Tang. Kalau nyium obat-obatan tu berasa sakit tau," tanggapku dengan sedikit gugup. Bintang menonjok lenganku pelan. "Bilang aja gak suka juga sih. Gengsi amat," ledeknya membuatku terkekeh geli. Aku sebenarnya tidak terlalu gengsian, namun jika sedang bersama Bintang entah mengapa otomatis rasa gengsi itu muncul. "Gue punya kenangan buru sama tempat ini tau," ceplosku yang mendadak membuatnya menatapku. "Apa?" pekikku menatap balik Bintang. Ia bergidik menggeleng mengisyaratkan bahwa tak ada sesuatu yang ingin ia sampaikan. Langkah kami sudah tiba di meja pendaftaran. Aku segera memintanya untuk mengurus segala macam agar bisa segera selesai mengikat sebentar lagi malam akan tiba. Bintang terlihat sibuk mengisi sesuatu di meja resepsionis atau apalah itu namanya. Nampaknya ia dan seseorang di sana sudah akrab. Yah wajar sih jika tiap bulan ia ke sini pasti ia sudah sering bertemu. Tak lama kemudian Bintang kembali mendekat ke arahku. Aku mengisyaratkannya untuk duduk terlebih dahulu karena harus menunggu yang lumayan lama. "Kayaknya bakalan lama deh, Dif, lo pulang duluan aja." Aku yang mendengar ucapan tiba-tiba dadi Bintang itu sontak menoleh. "Gak!" "Keburu malem, Dif," sahut Bintang kembali. Aku memutar bola mataku malas. "Gue cowok kali, Tang, gak bakalan gue dimarahin keluar malem," tanggapku menatap Bintang datar. "Ya bukan gitu, Dif, takutnya lo ada urusan gitu loh." Aku mematikan ponselku yang sedari tadi aku gunakan untuk bermain game, lantas menatap Bintang yang terlihat merasa bersalah. "Urusan gue ya nganterin lo pulang dengan selamat." Ia terlihat terdiam mendengar balasanku. Sepertinya ia terlupa kalau jika ia pulang sendiri belum pasti aman apalagi sudah malam begini. "Huh ... iya dah, Dif, terserah aja. Yang penting gue udah minta kalau lo mau pulang boleh pulang," balasnya lagi. *** Lima belas menit lamanya kami menunggu giliran untuk Bintang bisa memasuki ruangan pemeriksaan. Hingga akhirnya nama Bintang pun dipanggil. Aku melihat wajah Bintang namoak pucat tak tenang. Seperi ada beban yang ia pikirkan. Aku rasa ia ragu dengan hasil kontrol kali ini. Aku hanya bisa berharap ia mampu melewati masa-masa sulitnya yang belum berakhir ini. Rasanya melibatnya seperti ini membuatku ingin terus menghiburnya setiap saat. "Tang ... " panggilku sebelum ia memasuki ruangan. "Buktiin ke gue, lo bisa bersyukur atas nikmat yang telah Allah berikan. Gue tunggu di sini lo jangan khawatir," ucapku berusaha memberinya semangat. Ia lantas tersenyum. "Thanks." Kemudian ia memasuki ruangan itu dengan perlahan. Sebelum pintu benar-benar tertutup, aku sekilah melihat wajah Bintang yang tampak tak tenang. Semoga ini bukan pertanda buruk. "Gue tau lo bisa ngelewatin ini semua, Tang. Gue percaya lo kuat pokoknya. Lo harus bisa buktiin omongan lo tentang lo baik-baik aja," gumamku menatap pintu ruangan yang tertutup rapat. *** Cukup lama aku menunggu di depan ruangan pemeriksaan. Bukannya aku tak sabaran ingin pulang, namun rasa cemas yang membuatku begitu tak sabar mengetahui keadaan Bintang. Dengan harap-harap cemas aku memohon untuk kesembuhan Bintang. Sepertinya ini kedua kalinya aku menantikan hasil yang keluar dadi pemeriksaan. Aku harap hasil yang menggembirakan yang aku dengar. Cukup dahulu saja hasil mengecewakan yang aku dapatkan. Aku tak ingin merasakan rasa sakit lagi. Saat aku sedang berharap-harap cemas, pintu itu pun terbuka. Di sana Bintang keluar dengan senyuman misteriusnya. Ia lantas mengodeku untuk mengikutinya, aku yang mengerti pun segera menurut. Sepanjang karidor kami terdiam. Ia yang berada di depanku memimpin jalan nampak tak bereaksi. Ingin rasanya aku menanyakan hasilnya, namun biarlah ia yang akan memberitahunya sendiri. Aku tak yakin jika hasilnya kali ini sesuai dengan apa yang dia harapkan. Namun aku berharap ini bukan hasil yang buruk. Aku berjalan menyamai langkahnya. Pandangannya menatap lurus ke jalanan dengan senyum yang masih terpampang. "Ini kita langsung pulang?" tanyaku membuka pembicaraan. "Iya kita langsung pulang aja," jawabnya dengan suara serak. Sepertinya hasilnya memang tak sesuai dengan harapannya. Senyumannya memang terpampang, namun kembali sorot matanya tak bisa membohongi. Lagi-lagi hasilnya tak membuatku bahagia. Jujur saja aku ikut sedih melihat Bintang yang ingin teelihat kuat seperti ini. Namun apa daya sepertinya bukan waktu yang tepat untuk menceramahinya. Hingga akhirnya kami pun sampai di parkiran rumah sakit. Aku mengambil motorku dan memberikan sebuah helm kepada Bintang. "Lo gak ada jaket kah?" tanyaku menatap baju seragam tipis yang kini Bintang kenakan. "Enggak. Udah gak papa lagian cuma deket." Aku menghela napasku pelan. Hari sudah malam dan udara sedang tak bersahabat. Aku membuka jog sepeda motorku sebelum menaikinya untuk pulang. "Nih, pake." Aku memberikannya sebuah jaket yang biasanya memang aku simpam di jog untuk berjaga-jaga. "Padahal gue gak papa, Dif," tolak Bintang membuatku langsung menatapnya datar. "Iya-iya gue pake," lanjutnya yang akhirnya mau memakai jaket itu. Setelah itu akhirnya kami mulai melanjutkan perjalanan untuk pulang. Terlebih dahulu aku harus mengantarkan Bintang. Memang benar rumahnya tak terlalu jauh. Namun tetap saja aku tak bisa mengebut untuk bisa sampai rumahnya dengan cepat. *** Sepanjang perjalanan kami nikmati suasana malam dengan keheningan. Entahlah semenjak ia keluar dari ruangan pemeriksaan, mendadak ia jadi pendiam. Aku ingin mengajaknya bicara, namun aki takut malah membuat suasana hatinya kian memburuk. Lima belas menit berlalu, aku sudah mulai kebosanan dengan keadaan sepi. "Tang, lo masih di sana kan?" tanyaku mencoba mengecek keberadaan Bintang. Kan tidak lucu jika tenyata Bintang ketinggalan di rumah sakit. "Hemm apaan?" jawabnya dengan nada sensi. "Santai, Bos, gue cuma nanya. Takut-takut lo ketinggalan di jalan," balasku mencoba membuat lelucon. "Yakali, kan bagian belakang berat. Ya berarti ada orang dong." Aku terkekeh mendengar Bintang yang ternyata masih bisa di ajak bercanda. "Iya siapa tau kan bukan lo yang naik." "Lah? Terus kalau bukan gue siapa Radif," ucap Bintang yang mulai gemas menghadapiku. Aku tertawa lebih keras. "Siapa tau yang gue bonceng ini mbak kunti." "Kalau gue mbak kunti, udah gue bawa terbang sih lo, Dif," balas Bintang lagi. Aku terheran. "Kenapa tu?" "Emm enggak sih." "Idih apaan sih, Tang, lo ngantuk ya?" tanyaku lagi. "Enggak. Udah ah cepet ngebut gue pengen cepet-cepet pulang." Mendengar ucapan bintang, membuatku semakin yakin bahwa hasil kontrol kali ini mengibah mood baiknya menjadi murung. Aku tak mau memperkeruh suasana sehingga aku menambah kecepatan motorku untuk segera sampai rumah Bintang seperti permintaannya itu. *** "Thanks ya, Dif, gue ngerepotin lo. Lain kali gue traktir makan lo deh," ujar Bintang setelah menuruni motorku. Aku mengernyit. "Traktir gue makanan yang enak?" "Idih, udah di traktir gratis minta yang lebih lagi." Aku kemudian teetawa mendengat ejekan Bintang dan Binrang pun sama mengikutiku tertawa. "Ya udah, Dif, pulang gih. Bukannya gue ngusir lo ya, gue mau nawarin mampir tapi di rumah lagi gak ada orang." Aku mengangguk mengerti. "Santai, Tang, yang penting jangan lupa traktirannya." "Iya-iya elah. Ya udab gih," perintah Bintang memintaku cepat pulang. Aku menggeleng. "Lo masuk duluan gue baru pulang." Bintang berdecih dengan tersenyum. "Sok manis lo, Dif." Aku terkekeh. "Gapapa dong. Yang penting lo gak baper kan?" Bintang tertawa mendengar perkataanku yang mungkin ia anggap sebagai lelucon. Namun dihati kecilku ada suatu harapan kalau sikapku membuatnya teebawa perasaan. "Kagak lah." "Ya udah gue masuk ya, Dif," lanjut Bintang berpamitan memasuki rumahnya. Aku mengangguk dengan tersenyum. "Lo ati-ati bawa motornya." Aku mengangguk kembali. "Iya udah sana masuk." "Iya-iya, bawel. Gue masuk ya. Assalamu'alaikum." "Wa'alaikumussalam." Ia kemudian berbalik untuk memasuki gerbang, namun sebelum itu aku kembali memanggil namanya. "Tang ... jangan sungan buat ngeluh." Bintang terhenti melangkah. "Gue gak nyangka lo sadar sama keadaan gue, Dif." Jujur saja aku cukup terkejut dengan jawaban Bintang. Aku kira ia akan terus menyembunyikan sisi lemahnya. "Gue ternyata masih harus kontrol mata, Dif," ucap Bintang yang kini kembali berbalik menghadapku. Aku kembali terkejut dengan sikap Bintang hari ini. "Tak apa, ada waktunya lo bisa lepas dari semua rasa sakit itu, Tang. Yang perlu lo ingat, jangan pernah ngerasa sendiri." Bintang tersenyum kemudian mengangguk. "Makasih, Dif." Aku membalas senyumnya dan memberikan semangatnya dengan kepalan tangan. Aku harap ia bisa menghadapinya dengan sabar dan ikhlas. Aku selalu percaya bahwa Allah tak akan memberikan ujian melampaui kemampuan hambanya. Bintang kemudian berbalik kembali dan meneruskan langkahnya. Hingga ia pun hilang ditelan gerbang milik rumahnya. "Semoga Allah selalu melindungimu, Tang," gumamku. Aku kemudian ikut memakai helm dan melajukan motorku untuk pulang. Tbc
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD