18-(A)?Beautiful Eyes?

1133 Words
-***- Jika aku memang tidak bisa melihat, setidaknya aku masih memiliki hati untuk bisa melihat dan menerima semua yang terjadi kepadaku. Aku hanya perlu percaya dan berharap kepada Allah semata. _***_ Calista's POV Gelap. Dingin. Sunyi. Aku hanya bisa menangis tanpa air mata. Memandang kegelapan yang tiada ujung. Melihat kesepian yang tak terelakan. Aku kini terasa sendiri. Tak puna seseorang yang menemaniku. "Dimana aku?" ucapku menatap tempat kosong nan gelap ini. Aku yang tadinya tergeletak, hendak berdiri namun entah mengapa badanku terasa lemah. Mengangkat tangan saja terasa sulit. "Aku kenapa? Ini di mana?" ucapku gemetar ketakutan. Aku tak mampu melihat apa-apa, di sini gelap dan aku tak mendengar ada siapa pun di sini. Sebenarnya tempat aneh apa ini. Mengapa aku bisa terjebak di sini. "Bintang?" Sebuah suara mengejutkanku. Suara itu aku sangat mengenalinya. Dengan susah payah aku mencoba bangkit meski hanya bisa terduduk sekarang. "Radif! Lo di mana?" teriakku berharap mendapat sahutan dari orang tadi. Namun nahasnya tak ad jawaban lagi. Suasana kini sepi kembali. "Bintang ... " Suara itu kembali terdengar, namun samar. Jaraknya seperti semakin jauh di depanku. "Radif!" Tak lama kemudian terdengar suara alas kaki menuju ke tempatku. Aku melihat sepasang sepatu tak jauh dariku. "Radif?" panggilku berharap ia mampu mendengar dan mau mendekatiku. "Ini gue Bintang," lanjutku berusaha untuk berdiri mendekat kepada orang itu. Tiba-tiba saja cahaya terpancar dari belakang seseorang itu. Sontak saja aku menyipitkan mataku akibat sinar yang berlebih membuat silau. Benar saja itu seorang pria dan aku tak mampu melihat wajahnya siapa itu. Jika Radif, dari postur badannya pasti ketahuan namun ini sedikit berbeda. "Siapa kamu?" tanyaku kepada orang itu. Orang itu terdiam entah sedang melakukan apa. Ia nampak hanya berdiri saja di sana. Aku mencoba menggapai tubuhnya untuk menjadi tumpuanku berdiri. "Argh ... " rintihku karena tersungkur kembali. Anehnya saat tanganku hendak menggapai tubuhnya, tubuh laki-laki itu mendadak menjauh. Entah hanya perasaanku saja atau memang begitu, sesosok itu seolah menolak untuk membantuku. Siapa sebenarnya sosok ini. Apa yang ia lakukan di sini jika hanya diam seperti ini. "Lo siapa sih? Lo ngapain di sini?" tanyaku sudah kepalang sebal. Masa iya ia di sini hanya ingin melihatku tersiksa? Tidak manusia sekali orang seperti ini. Cukup lama kami saling terdiam dan ia tak berkutuk dari tempatnya sedikit pun. Aku yanh sudah lelah juga hanya bisa duduk bersender di dinding. Jujur saja dalam hatiku rasanya sesak. Aku terlalu takut di sini. Tak ada orang yang bisa aku mintai tolong selain orang ini. Namun lihatlah dia selalu saja mengabaikanku. "Bintang?" Kembali orang itu memanggil namaku. Aku terdiam menunggu apa yang ia katakan selanjutnya. "Hanya dirimu sendiri yang bisa menyelamatkanmu. Aku hanya hadir untuk menunggumu." Aku mrngkerutkan dahiku bingung dengan apa yang pria ini ucapkan. Apakah itu artinya ia di sini hanya akan melihatku tersiksa sendiri. "Apa sih maksud ucapan lo?" "Sampai waktunya kamu akan mengerti dengan sendirinya," balas pria bersuara berat itu. Aku menghela napas pelan mencoba untuk mencerna apa yang sebenarnya pria ini ingin sampaikan kepadaku. "Gue cuma ingin tanya, ini di mana? Kenapa gelap dan lembab sekali?" tanyaku menyerah untuk meminta tolong kepadanya. Aku hanya perlu tahu ini sedang ada di mana untuk berpikir kembali jalan keluarnya. Tak ada jawaban dari pria di depanku itu hingga langkah kaki pria itu terdengar menjauh dan cahaya perlahan meredup. "Hey! Lo mau ke mana?" teriakku panik karena ia semakin menjauh dan cahaya itu semakin menjauh. "Kamu sedang berada dialam bawah sadarmu. Sudah waktunya aku pergi. Semoga kamu segera sadar dan mampu melewati semua yang akan ada di depanmu. Aku akan selalu menunggu kehadiranmu," balas pria itu lantas menghilang seperti asap. Aku terkejut tentu saja. Makhluk macam apa itu. Dan apa maksudnya aku sekarang sedang bermimpi? Lalu siapa pria itu? Berbagai pertanyaan mendadak memenuhi isi kepalaku namun tak ada satu pun yang mau menjawab berbagai macam pertanyaanku itu. Hanya saja aku kini menyadari bahwa sebenarnya aku sedang bermimpi sekarang. "Huh ... sepertinya sekarang aku sedang bermimpi buruk. Aku harap aku bisa segera bangun dan keluar dari ruangan aneh ini," gumamku kemudian menekuk kakiku dan menangkupkan wajahku memeluk kedua lututku. Semoga saja jika aku tertidur di sini, mampu membuatku bangun di dunia nyata. Aku hanya bisa terus berharap, itu adalah satu-satunya cara. Dan akhirnya kesadaranku perlahan mulai menghilang dan kembali kegelapan menelanku. *** "Bintang?" Aku sontak langsung terbangun mendengar suara Umi yang begitu dekat. Namun anehnya kembali hanya kegelapan yanh aku lihat. Apakah aku masih bermimpi? "Umi? Umi di mana? Kok gelap?" ucapku sembari mencari-cari keberadaan Umi. Tak ada jawaban yang aku terima, namun sebuah tangan hangat terasa memegang tanganku dan merengkuh tubuhku. Hangat. Namun saat aku sedang dipeluj oleh umi, terasa beberapa tetes air menetes mengenai tanganku. Apa umi menangis? Tapi kenapa? Dan kenapa aku masih tidak bisa melihat keadaan sekitar dan masih tetap gelap? "Tapi, Dok, apakah mungkin putri saya bisa mrlihat lagi?" "Kita hanya bisa berharap yang terbaik kepada Allah, Pak. Semoga Allah masih memberi kesemoatan putri bapak untuk menikmati indahnya dunia ini." Mendengar samar suara itu, seketika aku tersadar. Aku memang tidak bisa melihat lagi. Aku tak bisa melihat Umi dan hanya sebuah kegelapan yang akan menemaniku setiap saat. "Ah iya, aku lupa kalau aku buta," ucapku lirih dengan senyum sendu. Sakit rasanya menyadari bahwa aku tak bisa terbangun dan seolah terus terjebak di dalam mimpiku sendiri. "Sabar sayang ya. Allah Maha Pendengar." Aku hanya bisa sesak menahan tangisku. Kemudian memeluk erat tubuh Umi yang hangat. Satu kenyataan yang membuatku sedikit tenang adalah aku tidak merasa kedinginan dan kesepian meskipun hanya kegelapan yang nampak di mataku. "Terima kasih, Umi." *** Udara kini terasa dingin dan udara terasa segar. Aku tak henti-hentinya menghirup dan membersihkan indera penciumanku. "Umi, apakah ini udah pagi?" tanyaku mencoba menebak. "Loh anak Umi pinter banget sih. Ini sudah pagi sayang. Pasti rasanya seger banget ya?" ucap Umiku yang berada dekat denganku. Aku tersenyum senang. "Iya dong, Umi, Lista harus segera bisa menerima semua ini dengan lapang d**a. Lista janji akan belajar semua yang Lista bisa." Pelukan hangat kembali aku rasakan. Tentu itu berasal dari pelukan Umi. "Terima kasih sayang sudah berusaha menjadi kuat," ucap Umi yang membuat hatiku menghangat. Aku terkekeh kecil menyadari Umi yang namoak susah menahan tangisnya. "Lista juga mau berterimakasih ke Umi karena udah selalu berusaha menguatkan Lista. Lista bahagia memiliki Umi," ucapku membalas rengkuhan pelukannya. Cukup lama kami berpelukan dan tubuh Umi terasa bergetar. Pastilah sebenarnya Umi sekarang sedang menangis. "Umi, jangan menangis. Lista aja gak nangis. Masa umi nangis. Kalau umi nangis, Lista malah sedih tau, Mi," ucapku mencoba menghibur Umi. "Hahaha kamu ni sepertinya semakin peka ya." Aku kemudian ikut tertawa. "Iya dong jangan harap umi bisa menyembunyikan sesuatu dari Lista ya. Walaupun Lista gak bisa melihat. Tapi Lista masih memiliki telinga untuk mendengar dan yang paling penting jangan lupa kalau Lista anak umi yang pasti tau apa yang sedang umi rasakan." "Umi bangga sama kamu, Sayang!" Tbc
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD