26-?Beautiful Eyes?

2351 Words
_***_ Hilangnya dirimu membuatku sadar bahwa sebenarnya ada rasa lain yang aku miliki terhadapmu. Namun aku harap ini tak akan mengubah rasamu kepadaku saat aku memperlakukanmu lebih dari teman _***_ Satu Bulan yang lalu Langit sore nampak memberikan rona sendu yang teramat dalam. Semburat merah mulai terlihat menghiasi ufuk barat bersamaan cahaya kuning yang perlahan tenggelam. Angin bertiup semakin kencang seiring sinar matahari yang menghilang. Seorang pria berhoodie hitam nampak berdiri di depan sebuah rumah yang memiliki pagar tinggi. Sebelum melangkah masuk, ia terlihat menghela napas seperti sedang menghilangkan kecemasannya terlebih dahulu. Ia lantas menekan tombol kotak yang berada di sisi gerbang. Wajahnya nampak dingin begitu gerbang itu terbuka. "Loh ada Den Fauzan. Silahkan masuk, Den," sambut satpam begitu melihat seseorang itu nampak familiar. "Terimakasih," jawab pemuda itu kemudian melangkah masuk dengan ragu. Radif's POV "Silahkan masuk, Den, kebetulan bapak sedang ada di rumah." Laki-laki paruhbaya berseragam itu membukakan pintu masuk rumah dengan sigap. Aku hanya mengangguk kemudian menghela napas kembali sebelum melangkah lebih dalam. Begitu masuk, rumah terasa sunyi dan tak ada siapapun di ruang tamu. Aku terdiam di sana mengingat sebuah memori masa kecil yang tersimpan jelas. Lamunku tergugah begitu terdengar suara laki-laki dan perempuan yang saling bercengkerama. Huh, lagi-lagi! Aku bergerak mendekati sumber suara yang ternyata berada di sebuah ruangan di dekat tangga. Dengan malas aku mendekat dan kembali mengetuk pintu ruangan tersebut. Cukup lama untuk mendapat tanggapan dari dalam, hingga akhirnya keluarlah sosok pria paruh baya yang masih mengenakan jas kantor. "Loh, Fauzan? Ini kamu, Nak? kenapa tidak menghubungi papa dulu sebelum ke sini?" pekik pria tersebut terkejut dan tak percaya. Aku hanya diam saja sembari menampakkan wajah dingin. Aku tak terkesan dengan binar bahagia di matanya yang menyambutku. Tujuan aku kemari bukan untuk itu. "Ada yang ingin Fauzan bicarakan sama papa." "Tentang apa, Nak?" tanya Papaku penasaran. "Papa lagi sibuk kah? Apa tidak boleh seorang anak berbicara kepada papanya?" sindirku halus kepada seorang wanita yang sedang mengintip dibalik pintu. "Boleh, kamu ke ruang tengah duluan. Nanti papa nyusul," putus Papa kemudian masuk kembali ke ruangannya. Aku hanya bisa tersenyum miris menyadari kebiasaan papa yang belum sama sekali berubah. "Cih ... " Karena tak ingin mengotori hatiku, aku bergegas pergi dari tempat itu menunggu papaku yang masih mengurus wanita'nya' itu. Kalian mungkin bertanya-tanya siapakah wanita itu. Apakah rekan kerjanya? Mungkin saja, namun apakah etis sesama rekan kerja bercengkerama heboh seperti tadi dan lagi ini sudah malam. Ah, sudahlah memikirkannya saja sudah membuatku sakit. Ingatan masa lalu kembali bangkit. Aku tak ingin memendam dendam lagi. Lima menit aku duduk di ruang tengah. Tak lama kemudian papa mendekatiku dan duduk di sofa depanku. Aku yang tadinya masih memainkan ponselku pun memasukkannya kembali ke saku. "Kamu mau minum apa dulu, Nak, biar papa bilang ke bibi," tawar papaku mencoba membuatku merasa nyaman di dekatnya. "Tidak, Pah, terimakasih. Fauzan ke sini cuma mau kasih kabar kalau Fauzan mau pindah sekolah," ucapku to the point dengan apa tujuanku kemari. Papah nampak terkejut dengan pernyataanku, namun tak lama kemudian kembali seperti biasa lagi. "Kenapa, Zan? Kamu gak boleh pindah lagi!" tolak Papa mentah-mentah. Aku sudah menduga keputusan Papa, namun itu bukanlah yang ingin aku dapatkan. Aku ke sini hanya memberi kabar bukan meminta izin. "Keputusan Fauzan udah bulat, Pah, Fauzan tidak mau kejadian lalu terulang kembali. Fauzan ingin hidup tenang, Pah, bahagia dengan cara Fauzan sendiri." "Tidak, Zan, Papah gak akan ngizinin. Lagian kenapa? Bukannya hebat jika kamu memiliki papah seorang kepala sekolah?" sanggah Papa yang terlihat mulai emosi. "Tidak, Pah, apa yang Fauzan alami beda dengan apa yang papah bilang. Papah tidak tau apa-apa tentang Fauzan. Fauzan tidak mau dijadikan robot lagi," tungkasku mencoba bersabar. "Tapi ini semua demi masa depan kamu, Zan." Sudah membicarakan masa depan lagi. Aku tak habis pikir dengan apa yang papa pikirkan. Jikapun masa depanku sudah terjamin, belum tentu aku bahagia. Justru ekspektasi tinggi yang papa lontarkan kepadaku, membuatku semakin tertekan untuk hidup. Jika saja ia mau mengerti apa yang aku mau dan aku pikirkan, mungkin tak akan ada jarak di antara kita, mungkin aku akan dengan senang hati tinggal dan mengakui siapa papaku. Sering kali semua hal yang aku pikirkan dan impikan jika tak sejalan dengan rencana papa, ia pasti akan menganggap omong kosong. Sulit untukku berkembang jika terus tertekan oleh kemauan papaku sendiri. "Maaf, Pah, mungkin bukan masa depan Fauzan yang papa maksud, tapi masa depan papa sendiri." Papaku sudah terlihat marah. Ia berdiri dan memakiku sekali lagi. Ya Allah, maafkan hamba yang justru menentang apa yang diperintahkan papa. Hamba sudah tidak kuat menerima tekanan ini, Ya Allah. Hamba ingin menata dan mengatur masa depan hamba sendiri tentu atas bantuan-Mu, Ya Rabb. "Kamu udah berani menentang papa, Fauzan?" gertak papa yang sudah sangat kesal. Aku kemudian ikut berdiri dengan pandangan menunduk. Aku tahu ini perbuatan tercela, namun jika sudah memaksakan kehendakku dengan ancaman, apakah masih bisa disebut perintah? Bukankah itu artinya papa sudah mendzolimi anaknya sendiri? "Fauzan susah cukup sampai di sini menuruti semua perintah papa. Fauzan ingin melakukan sesuatu yang sesuai dengan keinginan Fauzan. Cukup 17 tahun ini Fauzan merasakan tekanan hebat atas ekspektasi dan perintah yang papa berikan. Fauzan sudah tidak kuat, Pa. Apakah papa tau selama ini Fauzan tidak bahagia? Apakah papa selama ini tau apa yang Fauzan rasakan? Fauzan ingin bahagia, Pah, dengan cara Fauzan sendiri. Fauzan—" "Cukup!!! Jika kamu masih kekeh untuk pindah dan menjauh lagi dari papah, papah gak akan tinggal diam. Papah akan membongkar bahwa kamu itu anak papah. Namun bukan papah yang akan melakukan, melainkan papah akan meminta Era untuk melakukannya untuk papa," potong Papa dengan emosi yang sudah tersulut. Aku menatap papaku tak percaya. Sebegitu keraskah hati papa, hingga tak mengidahkan apa yang anaknya rasakan demi kepentingannya semata? "Pah, cukup! Papah egois, Fauzan sudah lelah, lakukanlah semau papah, karena mulai hari ini Fauzan akan menjalankan kehidupan Fauzan sendiri sesuai apa yang Fauzan inginkan. Fauzan tidak mau tertekan lagi. Fauzan ingin bahagia dengan cara Fauzan." Papa terlihat membelalakkan matanya yang mulai memerah. Karena tak ingin memperumit lagi, aku bergegas memberikan salam pamit sebelum aku meninggalkannya. "Fauzan pamit. Assalamu'alaikum." Suara teriakan marah terdengar di belakangku seiring langkah kakiku mendekati pintu rumah. Jika boleh jujur, aku merasakan sakit karena harus benar-bener meninggalkan semuanya. Maafkan Fauzan, Pah. Fauzan sudah memutuskan baik-baik pilihan ini. Semoga Allah senantiasa menjaga Papah. *** Sepulangnya dari rumah papa, aku segera membating tubuhku di kasur empukku. Oh iya aku memang tidak tinggal bersama ayah. Semenjak kepergian ibu, aku memutuskan untuk tinggal sendiri di sebuah apartemen peninggalan ibu. Awalnya memang tak mudah karena semua harus aku lakukan seorang diri, namun seiring berjalannya waktu aku akhirnya bisa menangani semuanya sendiri. "Huh! Akhirnya aku bisa bernapas seorang diri." Aku memejamkan mataku sejenak menikmati awal kebebasan yang aku miliki. Aku harap ini bukan mimpi. Dan akan lebih baik untuk ke depannya tentuny Tanpa sadar aku terlelap dengan kondisi masih seperti tadi. Padahal saat itu baru menunjukkan pukul 18.30 Saat aku tengah berkelana di alam mimpi, dering ponselku menarikku kembali ke dunia nyata. Aku meraba-rabu saku celanaku untuk mengambil benda persegi panjang yang berbunyi tadi. Dan terpampang nama Era di sana. Aku menggeser panggilan itu ke arah telepon berwarna hijau kemudian menempelkannya di telingaku. "Hallo?" "Wa'alaikumussalam." "Fauzan, kamu gak lagi berantem kan sama papamu?" "Hemm." "Papa kamu minta aku buat kasih tau ke anak-anak tentang kamu yang anaknya kepala sekolah." Aku yang tadinya sedang tiduran, mendadak terbangun. Aku terduduk sembari mengumpulkan nyawa karena sehabis bangun tidur. "Terus?" Suara di seberang terdiam sejenak. Mungkin ia sedang memikirkan sesuatu. "Aku harus gimana, Zan?" Aku sekarang yang bergantian terdiam. Sejatinya aku sudah tak peduli apabila dibongkar, toh aku sudah tak akan datang di sekolah itu lagi. "Terserah," jawabku singkat. "Apa kamu takut kejadian lama terulang lagi?" "Terserah apa keputusanmu, Ra. Kalau mau nurut sama papa ya silahkan, tapi harus terima risiko kalau gue gak mau ketemu lo lagi," ucapku bersikap tenang. Sebenarnya tidak sepenuhnya tenang, masih ada rasa takut jika nanti terjadi. "Iya, Zan gue paham perasaan lo," jawabnya terdengar parau. "Udah selesai kan? Gue masih ada urusan." Suara di seberang tak menjawab. Mungkin ia sedang berpikir apa yang aku katakan tadi. Tapi biarlah itu hak dia untuk menentukan. "Iya, Zan. Sampai jumpa." Aku segera menutup sambungan telepon itu kemudian meletakkan ponselku kembali. "Huh ternyata mencari kebebasan tidak semudah itu membalikkan telapak tangan." *** Bulan telah selesai bekerja dan kini sudah digantikan oleh sang mentari. Udara dingin masih menyeruak karena hujan yang turun semenjak semalam. "Emmm," ucapku terbangun sembali meluruskan punggungku. Hari ini terasa sangat dingin membuatku malas untuk beranjak dari kasur. Oh iya aku baru teringat kalau mulai sekarang aku tak perlu berangkat sekolah. Tapi ntah kenapa tiba-tiba aku kepikiran dengan Bintang. Apa yang akan Bintang pikirkan jika ia tahu aku sebenarnya benar-benar akan pindah sekolah? Kini waktu telah menunjukkan pukul 13.54. Aku sedari pagi sudah mencoba menghabiskan waktuku dengan bersenang-senang. Mulai dari bermain PS, melukis hingga berjalan-jalan. Semuanya telah aku lakukan. Namun entah mengapa rasanya masih saja ada yang kurang. Atau aku merindukan teman-temanku? "Huh, ternyata keputusan untuk tetap bersekolah tidak buruk juga. Sekarang aku bosan dan bingung harus berbuat apa di rumah." Aku memutuskan untuk tidur sejenak sembari menenangkan pikiranku. Sepertinya ide bagus jika nanti aku bertemu dengan Dito. Saat aku hendak terlelap, dering ponsel membangunkanku. "Dito?" Aneh rasanya pada waktu jam pelajaran, mengapa ia menelponku? Apa dia bolos? "Hallo, Dit?" "...." "Lah kok mendadak?" "...." "Iya-iya gue ke bawah." Setelah aku mematikan telepon, aku bergegas mengganti pakaianku. Oh iya itu tadi Dito ternyata memang membolos sekolah dan kalian tu sekarang ia bahkan telah ada di gedung apartemenku. Aku pun terkejut mengapa ia bisa sampai mengetahui apartemenku. Tanoa babibu, aku bergegas keluar kamar untuk menjemput Dito. Dan benar saja ia sudah ada di lobi dengan masih mengenakan seragam sekolah. Sungguh ia sangat berniat membolos. "Woy, Dit!" panggilku kepadanya yang terlihat masih memandangi lobi apartemenku yang memang terlihat mewah. "Yooo whatsup, Bro!" jawab Dito. "Wkwkwk lo niat banget mau bolos. Kangen gue lo ya?" ucapku yang memang penasaran dengan Dito yang berani membolos. "Iya deh kayaknya, Dif. Gak seru gak ada lo di sekolah." Aku terkekeh geli. Karena tak enak dilihat oleh banyak orang, akhirnya aku memutuskan untuk membawa Dito ke apartemenku. "Ke atas yok. Gue malu diliatin orang-orang." Sesampainya di apartemenku, Dito masih terperangah dengan penampilan apartemenku. Memang tergolong rapi untuk ukuran penghuni laki-laki, selain itu apartemenku juga terasa sejuh dan luas. "Gilak gue baru pertama masuk apartemen. Termyata kayak gini," pekik Dito. Aku terkekeh geli. "Norak lo ah," ejekku sembari memberinya segelas air putih. "Yeee apartemen lo aja yang bagus, masa minuman cuma ada air putih doang," sindir Dito mmembuatku kembali tertawa. "Lo mau apaan? Es doger? Cari di pasar sono banyak," jawabku membuatnya ikut tertawa. Aku mengganti pakaianku dengan kaus biasa kemudian duduk di sofa. Dito masih saja berkeliling mengecek tiap sudut apartemenku. "Btw, kenapa lo bisa bolos dah? Ke apartemen gue lagi," teriakku bertanya kepada Dito yang sedang memeriksa kamarku. "Gue kan udah bilang kangen sama lo, Dif." "Idih najis, Dit." Terdengar tawa keras yang berasal dari kamarku siapa lagi kalau bukan Dito. Ia kemudian keluar dari kamarku. "Lagian lo kenapa dah gak berangkat hari ini? Sakit juga kagak lo sekarang," tanya Dito yang ikut duduk di seberangku. "Gue mau pindah." Dito mendadak berdiri. "Serius lo? Kenawhy?" "Ada-lah alasannya. Belum waktunya lo tau," jawabku singkat padat dan jelas. "Radif mah, masa rahasia-rahasiaan sama gue," rajuknya. "Lo ember, Dit. Ogah nanti kalau kebongkar gara-gara lo." "Idih jahat bener lo dah," kata Dito yang merasa tersakiti hatinya. Aku tertawa puas mendapatinya yang semakin merajuk. "Lo sampe bela-belain bolos cuma mau tanya kayak gitu?" tanyaku lagi menanyai tujuannya mendatangiku. "Iya gue cuma mau tanya tentang itu. Gue tadi malah mikir lo sama Lista gak berangkat sekolah tu janjian yang notabennya pak ketua sama bu wakil," jelas Dito yang membuatku mengerutkan dahi. "Bintang gak masuk sekolah juga?" tanyaku penasaran. "Iya sumpah gak bohong gue. Anak-anak aja pada heran kenapa lo sama Bintang kompakan." "Alasannya Bintang kenapa?" Dito menggeleng. "Kalau dia gak berangkat ada alasan, anak-anak gak akan bingung kali dan gue juga gak ngira kalian bolos janjian." Aneh sekali bagaimana bisa Bintang tidak berangkat sekolah tanpa keterangan. Apakah ia sakit? Atau kenapa? "Ntar coba gue hubungin Bintang deh." "Muka lo kenapa dah sedih gitu? Perasaan tadi seneng banget ngecengin gue. Apa karena kabar Lista ini?" tanya Dito yang membuatku terkejut. "Heh apa? Gak eh siapa bilang?" sangkalku yang mendadak gagap. "Ah elah kenapa salting? Hayo Radif suka ya sama Lista?" "Apa ah ngaco lo ah. Udah sono pulang aja nanti gue laporin wali kelas baru tau rasa lo," ancamku masih merasa aneh dengan diriku sendiri. Dito yang aku ancam bukannya takut, ia malah tersenyum menggodaku. "Lagian lo di datengin temen sendiri bukannya seneng dan terharu gitu malah ngusir," gerutu Dito. "Gue seneng, cuma lo nya rese jadi lebih baik lo pulang aja." "Idih bilang aja kalau omongan gue tu sebenernya bener. Lo suka kan sama Lista?" Lagi-lagi ia mencoba menggodaku. "Gue sama Bintang udah kayak tom and jerry. Gimana ceritanya gue suka sama dia? Lo ngaco sih," ucapku mencoba membela diri dan sebisa mungkin tak menunjukkan salting dan rasa gugupku. "Bisa aja loh, Dif. Di sinetron banyak." "Apaan ini dunia nyata ya. Dunia nyata tak seindah kisah cinta sinetron." Aku bergegas berdiri dan menuju dapur untuk minum. Karena bisa mati kutu di sana apabila Dito terus saja menggodaku. Memang teman gak ada akhlak dia. *** Selepas kepergian Dito dari apartemenku, aku bergegas mencari ponselku. Kucari kontak bernama ☆ kemudian aku menelponnya. Panggilannya tersambung namun tidak ada seorang pun yang mengangkatnya. Aku mencoba beberapa kali, namun sama saja jawabnnya nihil. Aku semakin gusar dan cemas, apakah terjadi sesuatu dengan Bintang? Tak biasanya ia mengabaikan panggilanku. Apa dia masuk marah? Tapi marah kenapa? Puluhan pertanyaan bersarang pada kepalaku. Rasanya sulit ditemukan jawabannya jika tidak ada jawaban seperti ini. "Ya ampun, Tang. Perasaan kemarin yang pamitan gue deh. Kenapa yang ngilang malah lo," gerutuku yang mondar-mandir. Aku mengacak rambutku asal. Sedari tadi otakku terasa buntu. Entah mengapa menghilangnya Bintang sehari saja membuatku seperti ini. Ada apa denganku ini. "Argh .... Gue chat aja deh," kataku pasrah mengirimkannya pesan. Aku harap ia bisa membalasnya nanti. Semoga tidak ada hal buruk yang menimpa Bintang. TBC
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD