27-?Beautiful Eyes?

2338 Words
_***_ Saat tak ada seorang pun yang mampu mendengar isi hatimu dan tak mengerti perasaanmu, hanya ada dua kemungkinan yang kamu rasakan. Kesepian atau kehampaan yang menyiksa batinmu _***_ Lanjutan .... (Satu Bulan yang Lalu) Aku terdiam menatap layar ponsel yang sedari tadi tak menyala. Sudah lima jam aku menunggu balasan pesan Bintang, namun tak kunjung juga datang. Aku melihat profilnya, ia terakhir aktif di hari yang sama saat aku mengucap salam perpisahan. "Ya Allah, kamu kemana sih, Tang?" tanyaku kepada diriku sendiri. Sekarang sudah menunjukkan pukul 11 malam. Aku belum bisa tertidur dan mataku masih terjaga dan selalu tertuju kepada ponsel di depanku. "Aihhh." Tanpa aku sadari sedari tadi aku mengacak rambutku berulang kali hingga terlihat kusut. "Kenapa dah lo, Dif, besok juga dia bakalan masuk sekolah pasti," ucapku mencoba menenangkan diri sendiri. Aku terus saja menggaungkan kalimat itu mencoba membuat jauh-jauh perasaan anehku itu. Akhirnya karena tak ingin membuat spekulasi tak jelas, aku pun memilih berbaring dan mencoba tidur. Semoga esok hari Bintang sudah berangkat sekolah. *** Kumandang adzan mengalun merdu di telingaku. Walaupun rasanya masih mengantuk, aku memaksakan diri untuk bangun. Tak etis jika kita mendengar adzan shubuh malah semakin mencari posisi nyaman untuk tidur kembali. “Seusai shalat fajar (subuh), janganlah kamu tidur sehingga melalaikan kamu untuk mencari rizki.” (HR Thabrani) Aku mengecek ponsel yang ada di meja di samping tempat tidurku. Sudah menujukkan pukul 04.23, aku bergegas bangkit dan bersiap untuk turun ke mushola apartemen yang memang menyelenggarakan sholat berjamaah. Sebagai seorang pria, sudah sepatutnya melaksanakan sholat berjamaah di mushola/masjid. Banyak keutamaan sholat berjamaah yang dapat kita peroleh. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan keutamaan shalat berjama’ah, sebagaimana hadits dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Shalat seorang laki-laki dengan berjama’ah akan dilipat-gandakan 25 (dua puluh lima) kali lipat daripada shalat yang dilakukan di rumah dan di pasarnya. Yang demikian itu, apabila seseorang berwudhu’, lalu ia menyempurnakan wudhu’nya, kemudian keluar menuju ke masjid, tidak ada yang mendorongnya untuk keluar menuju masjid kecuali untuk melakukan shalat. Tidaklah ia melangkahkan kakinya, kecuali dengan satu langkah itu derajatnya diangkat, dan dengan langkah itu dihapuskan kesalahannya. Apabila ia shalat dengan berjama’ah, maka Malaikat akan senantiasa bershalawat (berdoa) atasnya, selama ia tetap di tempat shalatnya (dan belum batal). Malaikat akan bershalawat untuknya, ‘Ya Allâh! Berikanlah shalawat kepadanya. Ya Allâh, berikanlah rahmat kepadanya.’ Salah seorang di antara kalian tetap dalam keadaan shalat (mendapatkan pahala shalat) selama ia menunggu datangnya waktu shalat.’” Seusai aku melaksanakan sholat shubuh, aku bergegas kembali ke apartemenku. Kemudian membereskan tempat tidur. Seperti biasa, selepas sholat aku selalu membereskan apartemenku. Karena takut tidak selesai apabila aku harus berangkat sekolah. Ah iya, aku baru ingat, aku tidak harus berangkat sekolah lagi. Aku sudah memutuskan untuk berhenti sekolah di sana, kenapa aku mesti bergegas membereskan apartemen saat nantinya tak ada lagi tanggungjawab yang mesti aku lakukan. Aku kembali terduduk di kasur empukku memandangi papan di sebelah meja belajarku. Jadwal Mata Pelajaran Jadwal Piket Kelas Nampaknya aku sudah terbiasa dengan sekolah, hingga sekarang yang aku memutuskan untuk berhenti, masih terbayang-bayang untuk berangkat sekolah. "Huh, payah. Move on dong, Dif." Aku kembali bangkit menuju ruang tamu sekaligus ruangku bersantai. Aku menyalakan televisiku mencoba membunuh waktu. Tak ada yang aku bisa lakukan selain menonton televisi sekarang. Berulang kali aku mengubah saluran dan tak ada yang menarik di pandanganku. Bosan rasanya baru sehari kemarin aku tak menjalankan rutinitas seperti biasanya. "Sepertinya aku harus segera mengurus berkas pindahan segera supaya aku bisa segera bersekolah di sekolah barulu," ucapku dengan melamunkan kebosananku. Waktu telah menunjukkan pukul 9 dan aku masih saja terdiam di sofa dengan layar televisi menyala. Ini merupakan suatu pemborosan yang tak patut di contoh. Namun sebuah dering ponsel membuatku terperanjat kaget. Hampir saja aku meloncat dari sofa akibat keterkejutanku. "Astaghfirulah!!" Aku hanya mengelus d**a karena jantungku telah berdetak tak terkendali. Aku kembali bangkit dan mengambil ponselku yang berdering tadi. "Dito? Kenapa lagi?" Aku bergegas mengangkat panggilan itu. Takut apabila ada sesuatu yang penting dan mendesak. "Halo, Dif?" sahut seseorang di seberang sana. "Iya, Dit, kenapa?" tanyaku merasa heran dengan suara Dito yang terkesan berbisik-bisik. "Pak Al nyariin lo. Lo ada berbuat salah apa deh? Kelihatan nahan amarah tadi." Mendengar nama papaku disebut, membuatku terkejut. Apalagi yang katanya papaku mendatangi kelasku. Aihh ... Cukup lama aku terdiam memikirkan jawaban yang pas untuk membuat Dito tak curiga. "Aemm gak tau gue. Mana berani gue cari masalah sama kepala sekolah," jawabku berusaha setenang mungkin. "Tapi kok bisa Pak Al cariin lo? Pak Al kan biasanya sering ke kelas siswa berprestasi atau enggak ya siswa bermasalah. Yakali lo berprestasi?" Aku tertawa garing mencoba mencairkan rasa gugupku. "Ngaco lo ah. Paling juga urusan ketua kelas." "Iya juga sih. Ya udah deh kalau gitu. Gue tutup ya keburu ketahuan guru," jawab Dito lagi. Ah pantas saja ia berbisik, ternyata ia menelponku sewaktu jam pelajaran. Aku tertawa sebelum menjawab. "Nyali lo gede juga, Dit." "Yee, udah ah lo jangan ngejek gue ya. Oh iya si Lista masih gak masuk sekolah tu. Udah ada kabar belum lo?" Perkataan Dito yang terakhir membuatku terkejut. Semalam pesanku tak dibalas sampe sekarang, aku pikir ia sudah berangkat sekolah, namun ternyata belum. "Ada info lain gak? Keterangan masih alpha?" tanyaku sekali lagi. "Gue—" Belum juga selesai menjawab, tiba-tiba teleponnya di tutup. "Halo, Dit?" Ah, sepertinya ia ketahuan menggunakan ponsel di jam pelajaran. Aku menghela napas berat, kabar dari Bintang masih menjadi misteri. Apakah aku harus ke rumahnya sekarang? Tak beberapa lama sebuah keputusan muncul di kepalaku, Yap, aku harus memastikannya. Aku bergegas ke kamar untuk mandi dan bersiap pergi. Tak ada pilihan lain, mengingat aku adalah partnernya di sekolah walaupun mungkin tidak akan lagi nantinya aku harus mencari tau keberadaannya. *** Laju sepeda motor yang aku kendarai terhenti di depan sebuah rumah dengan pagar berwarna hitam. Keadaannya sangat sepi, wajar sih karena biasanya Kak Ken sudah berangkat kerja dan mungkin saja ayahnya Bintang pergi bekerja. Aku turun dari motorku untuk mengecek situasi di sana. Pagarnya ternyata tergembok. Apa benar tidak ada siapa pun dirumah? Sesekali aku memanggil nama Bintang, namun tidak ada jawaban. Sepertinya memang tidak ada orang di rumah itu. Lantas ke manakah Bintang? Apa ia keluar kota? Akhirnya aku pun memutuskan untuk pulang dengan kekecewaan karena tak mwndapatkan informasi apapun. Sepertinya tak ada pilihan lain, aku harus kembali ke sekolah untuk memastikan keberadaan Bintang. *** Pagi hari yang dingin ditemani rintik hujan membuat suasana sedih sangat terasa. Seminggu sudah aku terus termagu menatap jendela sekolah. "Woy! Lo bengong aja." Lamunku tergugah oleh sosok siswa yang selalu mengikutiku ke mana saja. "Masih mikirin Lista lo?" ucapnya sembari mencolek bahuku. Aku menoleh ke arahnya, "apaan sih." Dito bergeser mendekatiku. Membuatku otomatis bergeser memberikan jarak. Ia ikut termagu di depan jendela. "Lo beneran suka ya sama Lista?" tanya Dito dengan santainya. Aku yang sudah malas meladeni pun hanya terdiam. Biarkan dia mengoceh sendiri sampai lelah. "Emang sih kalau dilihat-lihat Lista lumayan juga," lanjut Dito yang semakin membuatku geram. "Dit, mending lo ke kantin aja deh. Males banget gue dengerin ocehan lo." Dito mencembikkan bibirnya. "Sensi banget deh. Ya udah gue ke kantin aja deh." Akhirnya ia pun pergi menuju kantin yang ia maksud. Seminggu ini entah mengapa pikiranku masih tertuju kepada alasan Bintang tak berangkat sekolah. Mustahil jika ia akan terus membolos. Aku harap hari ini akan ada titik terang keberadaan Bintang. Saat aku melihat lapangan yang basah akibat guyuran hujan, sebuah siluet wanita menarik perhatianku. Siswi dengan rok panjang dan khimar putih mengingatkanku kepada Bintang. "Bintang?" Aku yang sudah kepalang senang, berlari keluar kelas mendekat kepada sosok itu. Saat aku berhenti di karidor tempat siswi itu berteduh, aku baru sadar ternyata ia bukanlah Bintang. Jika dipikir-pikir mengapa aku bisa sampai sebodoh ini mengira sosok itu adalah Bintang. Aku hanya terdiam lesuh menatap tetesan hujan yang tak kunjung berhenti. "Ah sepertinya pengaruh Bintang sudah menyebar ke seluruh otakku." Aku pun berbalik dengan malas menuju kelas. Namun saat aku hampir sampai kelas, aku melihat Wendya sedang menerima telepon. Aku tak memedulikannya, namun ia menyebutkan nama yang sedang aku pikirkan. Iyap, Bintang. Sontak saja aku berhenti melangkah dan mencoba mencuri dengar pembicaraan Wendya di telepon dengan seseorang. Walaupun suaranya kurang jelas, namun aku tahu pasti ia sedang membicaraan Bintang sekarang. "Iya tante ini Wendya." "Apa, Tante? Bintang kecelakaan? Innalilahi wainailaihi raji'un." "Lalu keadaannya sekarang bagaimana, Tante?" Baru saja aku akan mendengar kelanjutan pembicaraan itu, Dito malah mengagetkanku. Aku sontak saja marah dan emosi dengan Dito. Bisa-bisanya ia mengganggu di waktu yang sama sekali tidak tepat. "Woy! Dit jangan ngagetin dong! Ganggu banget lo ah!" Aku menoleh ke arah di mana Wendya berbicara tadi, namun kini sudah tak ada di posisinya. "Astaga, Dif, lo hari ini sensi banget sih," gerutu Dito yang merasa kaget karena aku mulai emosi. Aku menghela napas panjang mencoba menenangkan emosiku. "Ah, udah deh." Aku kemudian melengang pergi meninggalkan Dito yang bingung dengan sikapku. Aku tak peduli jika ia akan bagaimana, yang jelas sekarang moodku tidak baik-baik saja. Apalagi aku harus mendengar kabar bahwa Bintang kecelakaan.a "Maafin gue, Dif. Jangan marah lah ya. Sorry deh gue gak akan ngagetin lo lagi," ucap Dito dengan penyesalan yang terlihat jelas. Aku yang terduduk di bangkuku kemudian melihat ke arahnya. "Iya iya, udah dah lo cepet duduk. Bentar lagi bel bunyi." "Maafin gue loh ya," ucap Dito lagi dengan memelas. "Iya, Anandito Fransiskus," jawabku yany sudah gemas sendiri dengan Dito yang terlalu merasa bersalah. Setelah aku mengucapkan itu, ia pun tersenyum sumringah dan bergegas duduk di bangkunya yang ada di sebelahku. "Kalau lo marah sama gue, gak ada yang bisa gue contekin sih," celetuk Dito yang hanya mampu aku geleng-gelengi. Ya Allah, aku memang berharap hari ini ada kabar mengenai menghilangnya,namun mengapa justru kabar buruk yang menjadi alasan menghilangnya Bintang? Ya Rabb, jika kesulitan sedang menimpanya, tolong berikanlah kelapangan di hatinya dan berikanlah kesabaran dan keikhlasan dalam menerima semua yang sedang terjadi padanya. *** Esok hari telah tiba. Seusai aku mengetahui kabar kecelakaan yng dialami Bintang dari pembicaraan telepon Wendya, akhirnya aku hari ini bertekad untuk mencari tahunya. Aku ingin bertanya secara langsung kepadanya. Yang aku tahu ia memang berteman dekat dengan Bintang, tak heran jika tante yang dimaksud di dalam telepon adalah mamanya Bintang. Aku sengaja untuk berangkat lebih pagi, berniat untuk menyesuaikan jam berangkat Wendya yang biasanya pagi sehingga aku bisa dengan leluasa bertanya kepadanya tanpa ada ganguan dari Dito atau yang lainnya. Saat aku memasuki gerbang, aku terkejut mendapati papaku yang telah berdiri di depan lobi menatapku. Aku yang tak ingin ada orang yang curiga dan bertanya-tanya mengenai kedekatanku dengan kepala sekolah pun berusaha untuk terlihat tak menatapnya. Namun saat laju sepedaku melewati lobi sekolah, suara papaku terdengar memanggil namaku. Aku serba salah di sana, jika aku tak menoleh, mungkin saja akan ada anggapan bahwa aku tidak sopan dengan orang yang notabenenya kepala sekolah di sini. Namun jika aku menoleh dan mendekat, aku lebih khawatir lagi jika ia memperlakukanku layaknya anak dan papa. Bukannya aku tak mau, tapi pada saat ini aku sedang berusaha untuk menyembunyikan hubungan itu. "Fauzan," panggilnya lagi. Aku tidak punya waktu untuk berpikir lagi, akhirnya aku memutuskan untu mendekat kepadanya. "Iya, Pak, ada apa ya?" jawabku berusaha sebisa mungkin memperlakukan papaku layaknya siswa kepada kepala sekolahnya. "Ini kan masih sepi, Nak. Tidak bisakah santai saja?" jawab Papaku lagi dengan nada santai. Aku kemudian menghela napas sejenak dan menoleh kanan-kiri sebelum melanjutkan pembicaraan. Setelah kupastikan aman, aku pun baru menjawabnya. "Kalau ingin berbicara santai. Bisakah kita bicarakan di ruangan Bapak?" Akhirnya papaku pun menyerah dan memintaku untuk pergi ke kantornya seusai aku memarkirkan sepedaku. Sepertinya hari ini akan gagal jika aku bertanya dengan Wendya mengenai Bintang. Huh, ya sudah lah semoga besok masih sempat. Aku pun bergegas memarkirkan sepedaku dan menuju ruangan papaku. *** Aku berjalan cepat menuju ruangan yang terletak di dekat ruang guru. Sesampainya di sana, aku berhenti sejenak memastikan situasi baru kemudian aku melangkah masuk. "Permisi," ucapku setelah masuk dan menutup pintunya. Wajah papaku terlihat senang. Mungkin karena aku mau diajak ke ruangannya lagi. Perlu kalian tahu, bisa dihitung jari aku memasuki ruangan ini. "Apa yang ingin papa bicarakan?" tanyaku to the point. "Duduklah dulu," pintanya. Aku yang sedang tak ingin berlama-lama pun hanya menurut saja. Aku duduk dihadapan papaku. "Papa senang kamu mau menuruti perintah papa lagi. Jangan sekali-kali kamu menentang papa lagi. Oke?" Ucapan Papaku sontak saja menyulut emosiku. Mungkin jika dipandang orang awam yang tak tau alasanku kembali, mungkin aku kembali karena ancaman papa, namun siapa sangka aku kembali bukan untuk itu, melainlan ada seseorang yang harus aku cari keberadaannya. Setelahnya aku benar-benar akam pergi dari sekolah ini bahkan kota ini. "Terserah apa kata papa. Yang pasti Fauzan di sini karena ada urusan yang mesti Fauzan selesaikan," jawabku dingin. "Apa itu?" tanya papaku lagi. "Ini bukan urusan papa. Cuma ini kan yang ingin papa bicarakan, Fauzan mau pamit." Papaku berdiri begitu melihatku berdiri dan hendak pergi. "Jelaskan mengapa kamu tak mau mengakui Pak Al ini sebagai papamu?" Aku berhenti bergerak begitu pertanyaan itu akhirnya muncul dari mulut papaku. Aku tak menoleh dan hanya tersenyum miris. "Dari kesekian kalinya Fauzan menyembunyikan identitas Fauzan, kenapa papa baru bertanya sekarang?" Jawabku berbalik bertanya kepada papaku. Tak ada pergerakan sedikitpun dan tak ada suara yang terdengar sedikitpun. Aku pun berbalik menatap papa yang mematung. Aku tersenyum sendu. "Fauzan rasa papa sudah menemukan jawabannya. Fauzan mohon untuk bantu Fauzan jika papa mau melihat Fauzan lulus di sekolah ini," ucapku mengakhiri pembicaraan kemudian meninggalkan ruangan itu dengan papaku yang masih mematung. Aku menutup pintu itu dengan kasar dan tanpa aku sadari setetes air mata ternyata telah tumpah di sana. "Kumohon jangan menangis sekarang," gumamku lirih. Aku tak memedulikan sekitar yang sudah lumayan ramai siswa yang berangkat. Aku bergegas berlari menaiki tangga demi tangga untuk sekadar menenangkan pikiranku di tempat favoritku. Iya, rooftop. Hanya di sanalah aku bisa mencurahlan isi hatiku tanpa ada seorang pun yang tahu. Kecuali seseorang yang kini telah menghilang entah kemana. Bintang, kurasa aku sekarang membutuhkanmu. Kumohon kembalilah sampingku. Aku berharap kamu segera pulih dan bisa bersekolah kembali denganku Tbc
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD