25-?Beautiful Eyes?

2408 Words
_***_ Cintai dan sayangi manusia sewajarnya. Karena itu sangat berpotensi nanti yang membuatmu terluka. _***_ Author's POV Pagi ini terasa berbeda, cuaca pagi hari yang tadinya cerah, mendadak mendung. Sinar mentari yang tadinya memancar dengan kuatnya, kini harus terhalang oleh awan hitam yang semakin menyebar luas. Udara dingin mulai terasa oleh sebagian orang yang sedang berada di luar ruangan. Salah satunya siswa bertas merah yang dari tadi menggosok-gosok telapak tangannya memberi sensasi hangat untuk tangannya. "Ahh dinginnya. Untung udah sampai sekolah," ujarnya sembari memasuki kelas yang memiliki papan nama bertuliskan 'XII MIPA2'. Baru saja ia menjangkah satu langkah, ia langsung bertindak heboh ketika melihat sesuatu yang entah apa itu. Ia berlari bak mengejar harta karun yang dibawa kabar maling. Lalu tibalah ia di depan meja sebuah gadis yang sedang melakukan sesuatu. "Eh Wendya, lo temennya Lista kan?" tanya siswa itu tanpa aba-aba Sang empu yang dipanggil Wendya yang tadinya tengah fokus dengan n****+ di tangannya, mendadak menengok ke sumber suara. "Iya, Lista sahabatku, kenapa?" tanyanya dengan raut penasaran. Dito cepat-cepat duduk di bangku depan Wendya. Karena tingkah mendadak yang Dito lakukan, spontan Wendya memundurkan badannya menjauhi Dito. "Lista beneran udah sekolah? Kok mendadak banget? Lista sakit yang berbau pernapasan kah?" bisik siswa itu yang kini telah ada tepat di depannya. "Heh?!" Wendya yang mendengar pertanyaan cepat yang Dito lontarkan dengan nada cepat hanya bisa merespon dengan kata 'Hah' "Yang ngomong pelan-pelan," tegur Wendya yang tak paham dengan apa yang Dito maksud. "Oke ya satu-satu. Lista beneran udah berangkat sekolah kah?" tanya Dito sekali lagi namun dengan nada yang lebih santai. "Iya bener, alhamdulillah Lista udah berangkat sekolah mulai hari ini. Kok bisa tau?" tanya gadis itu mengerutkan dahinya. Dito celingukan terlebih dahulu sebelum menjawab pertanyaan Wendya. Kebetulan di kelas itu sudah ada tujuh orang yang berangkat. Mungkin Dito tak mau orang-orang itu mendengar pembicaraan mereka. "Gue ketemu Lista di depan perpustakaan. Dia lagi kayak kesusahan napas gitu—" Belum selesai Dito menjelaskan kronologinya, Wendya sudah memotong dan berdiri dengan keterkejutannya. "Astaghfirullah. Ini beneran? Sekarang Lista di mana? Kok gak kamu tolongin?!" pekik Wendya yang sontak membuat para siswa menatap ke arahnya. "Shutttt." Dito menempelkan jari telunjukknya ke mulutnya sendiri memberi isyarat untuk diam. Wendya yang sudah kepalang panik sudah tidak menggubris ucapan pria itu. "Jelasin cepet," pekik Wendya lagi. Orang-orang yang di sekitar mereka mulai berbisik dengan satu sama lain. Sepertinya mereka sedang memikirkan yang tidak-tidak akibat ucapan Wendya. "Shuttt hey jangan teriak-teriak. Lo gak lihat semua orang jadi berpikir lain?" bisik Dito kembali menyuruh Wendya duduk dengan tenang. Wendya pun hanya bisa menengok kanan kiri untuk memastikan ucapan Dito benar. Dan kini ia tersenyum dan meminta maaf karena sudah membuat keributan. "Jelasin cepet! Lista sekarang gimana?" bisik Wendya yang sudah duduk dengan gusar. "Lista sekarang udah baik-baik aja. Tadi gue udah panggil petugas kesehatan. Dia disuruh ke UKS tapi malah gak mau. Kekeh banget dia. Ya udah deh gak bisa maksa," lanjut Dito menjelaskan. "Terus sekarang dia ke mana?" Dito bergeleng kepala. "Dia bilang lagi ada urusan. Terus gue gak tau dia kemana. Btw dia sebulan ini absen karena sakit yang berhubungan sama pernapasan kah?" ucap Dito yang masih penasaran dengan yang terjadi dengan Lista. Wendya tidak menjawab. Justru ia terlihat terdiam seperti sedang berpikir dengan apa yang barusan terjadi. Kenapa Lista bisa kesusahan napas? Bukannya kemarin dia sakit bukan karena itu. Justru pengelihatannya yang bermasalah. "Aneh." Kata singkat yang Wendya ucapkan membuat Dito semakin penasaran. "Iya kan aneh. Apa lo tau sesuatu?" tanya Dito lagi. Cukup lama Wendya tak menjawab, hingga suara keributan di pintu kelas mengalihkan perhatian mereka. Di sana terlihat siswa dengan pakaian yang agak berantakan tengah tergesa-gesa memasuki kelas. Matanya langsung tertuju kepada sosok siswi yang di ajak Dito berbicara tadi. "Wen, lo tau di mana Bintang?" tanyanya dengan napas terengah-engah. Sosok yang ditanya langsung berdiri. "Lista belum balik dari tadi. Kenapa? Kok kayak darurat banget? Apa ada sesuatu yang—" Tak sempat Wendya menyelesaikan tanyanya, pria tadi langsung keluar kelas lagi entah kemana. Wendya sontak panik dan hendak keluar mengejar siswa itu, namun langkahnya terhenti akibat tarikan Dito yang menarik lengan baju panjang Wendya. Dito memberi isyarat menggeleng. "Gue percaya Lista gak akan kenapa-kenapa." "Hey gimana gak panik. Dia sahabatku yang baru aja sembuh dari sakitnya!" pekik Wendya yang sudah tak bisa mengendalikan dirinya. "Ada Radif, Wen. Lo percaya deh dia gak akan nyakitin Lista." Wendya yang diyakinkan Dito seperti itu pun akhirnya terpaksa diam walaupun hati dan pikirannya tak tenang sama sekali. Ya Allah, lindungilah Lista dari segala hal buruk. *** Radif's POV Setiap karidor aku telusuri untuk menemukan sosok siswi yang baru saja aku kecewakan. Tak ada sedikit pun niat untuk mengecewakannya, aku hanya masih membutuhkan waktu untuk berpikir tentang apa yang sebenarnya terjadi. Rasa bersalahku mengatakan bahwa aku harus membiarkannya pergi jauh dariku. Jika ia tetap di dekatku mungkin saja aku akan menyakitinya lagi. Apalagi semua orang telah mengetahui bahwa aku adalah anak dari kepala sekolah. Bukannya apa, mungkin kalian sudah tau aku telah nerubah menjadi Radif yang lain. Iya itu memang benar. Aku telah trauma dengan yang namanya fake friends lebih baik menjauh dari mereka dari pada kejadian itu terulang kembali. Tak apa jika dikucilkan toh aku masih bisa melakukan semuanya sendiri. Tapi entah mengapa, tekadku untuk menjauh dari semua orang seketika sirna begitu sosok partner yang biasanya aku jahili kini telah kembali. Dulu sebelum ia 'menghilang', hari-hariku yang berat terasa lebih ringan. Namun begitu ia pergi, hariku mendadak kelabu. Apakah kini aku sudah menjadikannya sandaran? Oh iya satu hal yang menjadi pertanyaan terbesarku. "Apakah sebenarnya ia telah menjadi seseorang yang berharga di hidupku?" Aku terus mencari keberadaan Bintang. Melihat ia menangis membuatku terasa sakit. Mengingat kejadian tadi, sepertinya aku memang sudah kelewatan. Entah ada apa dengan perasaanku, rasanya sangat bersalah membuatnya kecewa hingga mengeluarkan air mata seperti itu. Sepertinya ini bukan hanya perasaan sebatas teman, kurasa aku sudah mulai menyayanginya melebihi seorang teman. Ya Allah .... "Bintang .... " Aku terus meneriakkan nama Bintang tak peduli dengan apa anggapan siswa-siswi yang ada di sekelilingku. "Fauzan ... " Saat aku sedang melihat kekanan kekiri, sebuah suara seseorang memanggil namaku terdengar di depanku. Suara itu tak asing di telingaku dan suara itu adalah suara yang selalu aku hindari. Dan benar saja di sana telah ada Era. Lagi dan lagi aku muak melihatnya. Semenjak kejadian di UKS dahulu, aku semakin muak dengan tingkah Era. Kurasa aku memang telah membencinya. Apalagi kini ia berusaha untuk mencari perhatianku melalui Papaku. Dan selama kepergian Bintang, Era semakin gencar mendekatiku. Padahal aku terus saja mengabaikannya, namun ia seperti tiada bosannya menggangguku. Seminggu yang lalu bahkan aku sempat mempermalukannya di depan banyak orang. Biarkan aku bercerita. Saat itu pelajaran olahraga sedang berlangsung. Kelasku XII MIPA2 secara kebetulan melaksanakan olahraga bersamaan dengan kelas XII IPS1 yang merupakan kelas Era. Karena sakit yang di derita Era, ia diizinkan untuk tidak mengikuti pelajaran olahraga. Namun anehnya pada saat itu Era berada di tengah lapangan melakukan pemanasan di sebelahku. Aku tak bertanya alasannya, karena aku sudah masa bodoh dengannya. Saat pendinginan sedang berlangsung, tiba-tiba Era mengerang kesakitan pada kakinya. Sontak saja aku dan teman-temanku panik mendapati Era yang kesakitan. "Apaan sih lo ah. Udah tau gak bisa olahraga. Masih aja batu. Ngerepotin aja deh," kataku kepadanya yang terlihat kesakitan. "Era, Kamu kenapa?" tanya Pak Herga—guru olahragaku. "Kaki saya sakit, Pak, sepertinya saya salah gerakan tadi," jawab Era dengan masih meringis kesakitan. "Kamu bisa jalan enggak?" tanya Pak Herga lagi. "Sakit, Pak. Kayaknya gak bisa deh," tanggap Era. "Ya udah Radif tolong bawa dia ke UKS," titah guru olahragaku kepadku Aku sebenarnya sangat malas, ingin rasanya menolak, namun karena desakan guruku mau tak mau aku harus melakukannya. Kemudian aku mulai mengangkat tubuhnya ala bridal style. Ia nampak tersenyum sumringah berada di gendonganku. Setelah itu bukannya berjalan ke UKS, justru aku malah kembali menurunkannya dari gendonganku secara tiba-tiba. Dengan spontan pun ia menurunkan kakinya menahan agar dia tidak terjatuh. Dan benar saja dengan apa yang aku pikirkan, ia hanya berpura-pura kesakitan tadi. Terbukti darinya yang kini dapat berdiri tegak tanpa kesakitan. "Fauzan, kok diturunin sih?" pekik Era tanpa sadar terlupa dengan aktingnya yang kesakitan tadi. "Liat, Pak, dia gak kenapa-kenapa," ucapku dingin. Sebenarnya ini bukan kali pertama Era berbohong seperti ini. Sewaktu SMP pun ia pernah pura-pura pingsan saat keluargaku dan keluarganya melakukan pertemuan. Waktu itu aku memang terkejut dan panik sampai tak menyadari ia hanya akting. "Loh?" Seketika siswa siswi yang ada di sana langsung berbisik-bisik. Sedangkan Pak Herga hanya menggelengkan kepalanya tak percaya. Dan akhirnya ia merasa malu sendiri dan berlari menepi ke pinggir lapangan. Oleh karena itu tak ada alasan untukku tidak menyukainya. Dia juga selalu memanfaatkan dan menggunakan segala cara sekalipun itu keliru untuk mendapatkan sesuatu. "Kamu cari apa?" tanya Era mendekat dengan berlenggang lenggok. "Kamu cari aku ya?" Aku tak menjawab dan hanya menghela napas kasar. Sungguh aku muak dan dia itu seperti tidak memiliki rasa malu. Dan apa dia bilang? Mencari dia? yang benar saja. "Kamu kangen sama aku?" Karena pertanyaannya semakin ngawur, aku pun bergegas pergi meninggalkannya. Aku terlalu malas menghadapi kehaluan cewek itu. Dan juga masih ada hal yang lebih penting yang harus segera aku temukan. "Fauzan!" pekiknya menahan tanganku. Aku dengan spontan menyentak tangannya. "Lepas!" Bukannya dilepas, justru ia semakin mencengkeram pergelangan tanganku. Sungguh aku tak sanggup lagi melihat tingkah menyebalkannya ini. "Cewek itu udah kembali lagi ya?" tanyanya dengan nada sedih. Aku mengerti apa yang dimaksud Era. Era memang terlihat tidak menyukai Bintang. Jelas saja, ia menyukaiku dan pasti ia membenci wanita yang dekat denganku. "Cewek itu belum mati kah?" Mataku terbelalak mendengar ucapan Era yang kurang ajar itu. "Jaga ucapan kamu, Era!" "Tuhkan bener. Pantesan kamu sekarang sering marah-marah sama aku," ucapnya merajuk. Hiiii jika kalian melihatnya merajuk, dapat kupastikan kalian akan jijik sendiri. Aku melepas tangan Era yang masih menahan tanganku. Tapi ia malah menahan tanganku kembali. Ia memang wanita namun tenaganya tidak bisa diremehkan. Bersamaan dengan itu, aku melihat sosok yang aku cari tadi. Ia terlihat melihat ke arahku dan Era sekejap kemudian melenggang cepat. Dengan kasar aku menyentak tangan Era yang masih menahan tanganku. "Argh .... " erang Era yang pasti kesakitan. Aku tak peduli toh itu salahnya sendiri menahanku dan aku harus bergegas mengejar Bintang yang berjalan cepat menuju ke arah kelas. "Fauzan!" Aku teeus saja berjalan dan abai dengan teriakan atau bahkan rengekan Era. Habis sudah kesabaranku untuk menghadapinya hari ini, aku sudah muak. Aku berlari cepat mengejar Bintang yang semakin menjauh. *** Aku sudah berhasil mencegat Bintang sebelum memasuki kelas. Matanya masih terlihat merah dan kini hanya raut dingin yang ia tunjukkan. Sepertinya matanya merah karena ia menangis tadi. Melihatnya seperti ini membuatku semakin merasa bersalah. "Bintang." Ia memang berhenti melangkah, namun ia terkesan membuang muka kepadaku. Aku hanya bisa pasrah dan memaklumi sikap Bintang, karena ini semua juga diakibatkan karenaku. "Maafin gue, Tang. Bukan maksud gue nyuekin lo. Dan lo gak ada salah apa-apa kok sama gue. Gue udah gak marah sama lo, gue minta maaf," ujarku meminta maaf walaupun Bintang masih saja mengabaikan keberadaanku. Cukup lama kami terdiam. Dan Bintang pun sama sekali tak mengucapkan sepatah kata pun. Sepertinya aku memiliki firasat buruk tentang ini. Kring .... Bel pun berbunyi dan aku masih menanti jawaban dari Bintang yang masih terdiam. Tak lama kemudian, ia memutar bola matanya malas. "Udah kan? Kalau udab, lo mending minggir, gue mau ke kelas," jawab Bintang dengan cuek kemudian ia bergeser untuk berjalan memasuki kelas. Aku hanya bisa menunduk melihatnya melewatiku begitu saja. Aku sepertinya pantas mendapatkan ini. *** Wendya's POV Sudah hampir pukul tujuh yang artinya sebentar lagi bel akan berbunyi, namun aku tak kunjung melihat sosok Lista memasuki kelas. "Ya Allah, Lista, kemana dah bikin khawatir aja," gumamku kepada diriku sendiri. Setelah mendengar kabar tentang Lista dari Dito, aku semakin cemas. Aku ingin mencarinya namun waktunya sudah mempet dan aku pun tak tau di mana sebenarnya ia pergi. Nanti kalau sampai bel berbunyi ia tidak muncul, sepertinya aku memang harus mengambil tindakan. Kring .... Yap, aku harus mencarinya karena ia sedari tadi tak muncul juga batang hidungnya. "Mau kemana?" tanya Dito yang duduk di belakangku. "Cari Lista." Usai menjawab pertanyaannya, aku bergegas pergi untuk mencari Lista. Namun saat aku akan keluar pintu, sosok Lista pun akhirnya muncul. "Alhamdulillah. Ya Allah, Lis, kamu dari mana aja? jam segini baru balik," tanyaku begitu mendapati Lista sudah memasuki kelas. Wajahnya tampak lesuh dan matanya memerah. "Lis, kamu masih sakit yah? Ayo ke UKS aja," putusku begitu cemas dengan kondisi Lista kali ini. "Tapi—" Aku segera memotong kalimat penolakan yang akan ia katakan. "Aku gak terima penolakan, Lis, ayo." Aku segera menggandeng tangan Lista untuk menuntunnya ke UKS. Saat keluar kelas, hampir saja menabrak Radif yang berdiri mematung di depan pintu. "Permisi." *** "Assalamu'alaikum," kataku mengucap salam begitu memasuki UKS. "Wa'alaikumussalam," sahut seseorang di dalam. Aku dan Lista bergegas mendekat kepada meja dokter yang bertugas di UKS. "Ibu, ini teman saya sedang tidak enak badan. Apakah boleh beristirahat di sini?" Belum juga dijawab sang dokter, muncullah seseorang lagi yang keluar dari bilik kamar UKS. "Loh, kamu yang tadi di depan perpus kan?" tanya kakak kelas petugas UKS. Lista lantas tersenyum dan mengiyakan kakak itu. "Iya, Kak." "Ini, Dok, orang yang tadi saya ceritakan." Kakak itu terlihat menjelaskan sesuatu yang tak aku mengerti kepada dokter UKS itu. Dan mereka tampak sedang berdiskusi. "Lis, tadi pasti ada kejadian kan?" bisikku kepada Lista. Bukannya menjawab, ia hanya meringis seperti orang tak berdosa. "Kamu hutang cerita loh sama aku. Nanti jam istirahat aku bakal ke sini lagi. Jangan lupa cerita," kataku merajuk. "Iya-iya, Wen. Lagian sebenernya gue gak papa loh ini tu." "Gak ada ihh mata kamu merah tau. Aku takut kamu kenapa-kenapa," bisikku memarahinya yang masih kekeh tak mau beristirahat di UKS. "Uww sosweetnya bestie gue satu ini," tanggap Lista tersenyum senang. Aku memang seperti ini jika telah menyayangi seseorang, aku akan sangat khawatir jika ada sesuatu yang menimpa orang itu. Iyah sepertinya wajar asalkam kita tidak sampai mengekang dan terlalu mengatur hidupnya. Kupikir itu namanya bukan menyayangi namun sudah terobsesi. Lamunku tergugah oleh suara orang di sebelah dokter. "Kamu bisa baringan di bilik no tiga, Dek. Ayo tak antar," ujar kakak kelas bernama Friska. Lista mulai dituntun mendekati bilik tiga yang di maksud. "Dadah, Lis. Inget loh istirahat," ujarku mengingatkannya untuk tidak berulah. "Iya-iya. Nanti jangan lupa ke sini loh ya," kata Lista memperingatkanku. Aku tersenyum senang. "Siap, Captain!" Akhirnya aku pun bisa kembali ke kelas untuk mengikuti kegiatan pembelajaran. Aku berharap Calista segera membaik dan tidak ada lagi hal buruk yang terjadi padanya. TBC
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD