34-?Beautiful Eyes?

2074 Words
-***- Ketakutan terbesar itu sejatinya berasal dari diri sendiri. Lantas jika aku merasa takut akan suatu hal yang buruk menimpanya, apakah itu juga berasal dari diriku? -***- Calista's POV Sesampainya aku di rumah, aku bergegas memasuki rumah karena hujan di luar semakin deras. "Kak Ken Calista duluan ya," pamitku kemudian meninggalkan Kak Ken yang masih memarkirkan mobilnya. Saat aku melihat ke arah garasi, ternyata tidak ada mobil abi di sana kemungkinan abi belum pulang. Apa mungkin lembur? "Assalamu'alaikum," ucapku kemudian memasuki rumah yang terasa masih sepi. Sebelum memasuki rumah lebih dalam, aku melepas alas kakiku dahuku kemudian meletakannya di rak sepatu yang telah di sediakan Selama aku melepas sepatu, tak ada sahutan di sana, namun ada suara kerubutan dari arah dapur. Aku yang terkejut sekaligus merasa cemas pun bergegas mendekat ke arah dapur. Saat aku mendekat suara itu menghilang. "Umiii ... " panggilku memasuki dapur yang cukup berantakan. Aku kembali menyerukan nama Umi, namun tetap tak ada jawaban. Dari peralatan dapur yang aku lihat, sepertinya Umi baru saja selesai memasak namun belum diberesi. Dan lagi Umi malah menghilang. Heran karena tadi sepertinya ada suara keributan dari panci dan wajan di sini, namun sekarang tidak ada orang. "Horror banget," bisikku bergidik ngeri Saat aku akan berbalik, aku di kejutkan oleh suara Umi yang tiba-tiba hadir. "Loh udah pulang, Sayang?" tanya umi. Ia terlihat keluar dari kamar mandi dapur. Pantas saja aku tak menemukan keberadaan umi, ternyata sedang ke kamar mandi. "Alhamdulillah udah, Mi. Tadi waktu Lista masuk kayak gak ada orang tau, Mi. Terus tiba-tiba ada suara ribut-ribut di dapur. Ya udah Lista langsung ke sini takut ada apa-apa, lah terus waktu Lista ke sini malah enggak ada orang," jelasku menceritakan kejadian baru saja. Umi tertawa mendengar ceritaku. "Tadi itu Umi baru selesai masak, terus mau beresin ini tapi malah Umi kebelet mau ke kamar mandi. Karena udah gak tahan, Umi langsung lempar yang ada di tangan Umi eh taunya malah jadi kayak ribut di dapur." Aku yang mendengar cerita sebenadnya dari Umi pun ikut tertawa. Aku tak habis pikir ternyata Umi bisa melakukan hal selucu itu. "Ya udah kalau gitu alhamdulillah, Mi. Lista kira ada apaan," ucapku lagi. "Iya tenang aja, Sayang. Udah gih sana kamu bersihin diri dulu. Langsung mandi ya, kamu basah ke hujanan gitu takutnya nanti malah masuk angin." Umi mulai menunjukkan rasa sayangnya kepadaku. Seperti biasa pasti akan menunjukkan kebawelannya ketika mendapatiku terkena air hujan. Tapi tak apa, aku senang mendengar kebawelan Umi. "Iya, Mi, ini Lista langsung mandi habis ini. Tapi nanti kita makan apa nih, Mi? Dari baunya tadi enak banget dah." Umi tersenyum misterius. "Ada deh, nanti juga kamu tau, Sayang. Udah sana kamu bersih-bersih. Nanti habis maghrib turun bantuin umi siapin makan malam," perintah Umi. Aku kemudian berdiri tegak. "Siap komandan akan segera dilakukan," ucapku sembari memberi hormat bagai pasukan militer menjawab perintah komandannya. Setelah itu aku kembali ke kamar untuk bersih-bersih seperti yang diperintah umi tadi. *** Selepas membereskan semuanya dan menyelesaikan sholat maghribku, aku bergegas kembali turun. Ternyata di dapur telah ada Umi yang sedang mengelap piring untuk digunakan makan malam kali ini. Begitu aku memasuki area dapur, mataku langsung tertuju kepada sesuatu di atas meja dapur. "Aaaa ikan bakar kecap!" Umi yang tadinya sedang fokus mengelap piring, terkejut mendengar pekikanku. "Kau ni, Lis, ngagetin umi aja. Untung piringnya gak jatuh." Aku kemudian meyengir dan meminta maaf. "Lista lupa mau panggil umi gara-gara liat ikan bakar. Hehe maaf, Mi." Umi kemudian terkekeh. "Selalu aja ya yang paling pertama pasti makanan." Aku ikut menyengir dan tertawa menyadari ucapan umi yang memang benar. Aku untuk urusan makan harus nomer satu. "Ya udah sana kamu tata di meja makan dulu. Nanti kamu ambil nasinya di rice cooker itu ya." "Siap, Umi sayang." Selepas itu aku segera mengeluarkan lauk pauk yang akan dinikmati makan malam ini. Cukup banyak di sini ada ikam bakar kecap, lalapan, tahu tempe goreng, sayur kangkung dan juga tak lupa buah-buahan pun ada di sana. Setelah semua siap, aku membantu umi mengelap peralatan makan kemudian membawanya ke meja makan lagi. Tak berapa lama kemudian Abi dan Kak Ken datang. "Masyaallah bidadari abi rajinnya." Aku yang merasa dipuji pun tersenyum bangga. "Iya dong, Bi, kan harus selalu bantuin umi." Setelah semuanya di siapkan, aku bergegas duduk disusul umi. Akhirnya lengkap sudah penghuni kursi makan kali ini. Sebelum memulai ritual makan malam, Kak Ken memimpin berdoa terlebih dahulu baru kemudian kamu mulai makan bersama. Sekitar lima belas menit kami makan dalam keheningan. Seusai semua telah selesai menyantap makan malam kali ini, kami berbincang sejenak. Abi menanyakan keadaan sekolahku dan menanyakan kerjaan Kak Ken. Sesekali si melontarkan candaan satu sama lain. Tentu suasana kali ini terasa hangat menyelimuti kumpul keluarga kali ini. "Eh iya, Calista Sayang besok jadwalnya kamu kontrol kan?" tanya Abi kepadaku. Aku mengangguk, "iya, Abi, besok Lista harus kontrol masalah mata." "Gimana ada keluhan gak, Sayang?" tanya Abi lebih lanjut. Aku mengingat-ingat kembali adakah kelihan yang aku alami belakangan ini. Jika di pikir-pikir sepertinya ada beberapa waktu mataku terasa sakit jika berada diwaktu lama di tempat yang terang. "Belakangan ini sih beberapa waktu kadang sakit, Bi, kalau liat di tempat terlalu terang gitu. Tapi enggak lama sih, Bi." "Sering gak kayak gitunya?" tanya Kak Ken ikit penasaran. Aku menggeleng kepala. "Enggak sih, Kak, mungkin baru dua kali seminggu ini." "Kamu besok harus kasih tahu ke dokter tentang itu ya, Sayang, takutnya nanti makin sakit," ucap Umi memberiku nasihat. "Iya, Siap, Mi. Semoga sih itu hal yang wajar." Abi yang sedari tadi terdiam kini pun bersuara kembali. "Ken, besok kamu bisa anterin adik kamu le rumah sakit? Besok itu Umi sama Abi harus ke rumah nenek nganterin uang." "Aduh, Bi, maaf banget besok Ken malah harus ke luar kota buat memantau proyek. Terus gimana, Bi?" Aku baru ingat besok bertepatan dengan hari biasanya umi dan abi berkunjung ke rumah nenek. Sebenarnya aku tak apa jika harus ke rumah sakit sendirian. "Abi, Lista bisa kok besok habis sekolah ke rumah sakit sendiri. Atau besok Lista juga bisa minta ditemenin sama Wendya aja." Ada raut merasa bersalah di wajah umi dan abi. Aku kemudian kembali meyakinkan bahwa aku baik-baik saja jika harus kontrol sendirian. Toh dari sekolah ke rumah sakit pun tidak teelalu jauh. Dan pasti Wendya dengan senang hati mau mengantarku. Aku harap ia besok memiliki waktu luang *** Keesokan harinya, aku pun seperi biasa harus berangkar sekolah untuk menjalani kehidupan rutin seorang siswa. Setibanya aku di sekolah, aku bergegas menghampiri Radif yang teenyata sudah duduk di bangkunya. Mengenai janji yang Radif buat kemarin, ternyata aku baru ingat hari ini sepulang sekolah harus ke rumah sakit untuk kontrol. "Shutt, Dif," panggilku dari kursi sebelah Radif. Radif yang tadinya sibuk bermain game pun menoleh. "Apa?" balasnya masih memandang layar ponselnya. "Sorry banget nanti habis sekolah gue gak bisa lanjut cerita. Gue ada jadwal kontrol sepulang sekolah," ucapku memberitahunya dan berharap ia memaklumi. "Eh ya gak papa dong. Bisa dilanjut besok kok. Btw lo ke sana bareng siapa? Kak Ken?" tanya Radif yang sudah mulai mengarahkan atensinya kepadaku. "Biasanya sih gue ditemenin sama Abi, umi gitu, tapi ternyata lagi ada acara. Mau dianterin Kak Ken tapi Kak Ken mau keluar kota. Kayaknya nantu gue minta duruh ditemenin Wendya sih," jawabku panjang lebar. Radif mengangguk-angguk mengerti apa yang baru saja aku jelaskan. "Oke deh gak papa selagi lo gak sendirian." Aku mengernyitkan dahiku. "Kenapa dah, gue udah gede juga. Sendiri pun berani." "Ya bukan gitu, Tang, tapi kan tetep harus ada yang mendampingi. Kalau ada apa-apa gimana coba," tungkas Radif nampak khawatir. Dalam hariku rasanya teramat bahagia terasa seperti ada sesuatu yang menggelitik di sana. Apakah aku sedang terbawa perasaan atas apa yang Radif ucapkan? Ahhh sudahlah aku tak ingin membuat hatiku berdebar lagi. "Lo khawatir ya sama gue?" tanyaku mencoba menjaihili. Mendengar pertanyaanku gerak-gerik Radif nampak berbeda. Sepertinya ia salah tingkah sendiri sekarang. "Ya khawatir lah, lo kan kawan gue yang paling asyik kalau gue jahilin." Seketika rasa bahagiaku menguap entah kemana. Rasanya seperti dibawa terbang lalu di hemoaskan begitu saja. "Yeee jahat banget lo mah, Dif." Radif tertawa puas, aku yang awalnya ingin menjahilinya malah termakan kejahilan Radif. Tentu itu membuatku dongkol. "Seriusan gue, Tang, kalau gak ada lo rasanya sepi banget hidup gue gak ada yang bisa dijaihin." Aku memberengut kesal. "Tau ah ngomong sama Radif gak ada gunanya," gerutuku. Radif masih terus menertawakanku yang merajik akibat kejahilannya. Namun sebelum aku semakin sebal dengan Radif, sosok Wendya pun memasuki kelas. Ia terkejut karena sudah ada aku dan Radif di kelas. Sepertinya ia terkejut karena aku berangkat sekolah cukup pagi. Aku kemudian berdiri untuk menyambut Wendya dan tak memedulikan sosok Radif lagi. "Assalamu'alaikum, Wendya!" "Wa'alaikumussalam, Lista! Tumben banget jam segini udah berangkat. Kayak sebuah keajaiban tau kamu berangkat sepagi ini," jawab Wendya membuatku kesal kembali. Sepertinya Radif dan juga Wendya janjian membuatku kesal hari ini. Terdengar kekehan lumayan keras yang berasal dari belakangku. Iya siapa lagi kalau bukan si Radif. Entahlah ia kurang kerjaan sekali menguping pembicaraan kami. "Gak ada salahnya kali, Wen, gue jadi orang rajin," ucapku membela diri dengan memberenggut kesal. "Eh eh jangan ngambek. Kan aku bercanda, Lista cantik." Aku tak memedulikan bujukan Wendya. Dengan berpura-pura ngambek sepertinya bukan ide buruk. Aku terus cemberut dan tak menjawab ucapan Wendya. "Gue beliin eskrim mau gak ni?" ujar Wendya mencoba menyogok dengan sebuah eskrim. Bagaimana aku bisa menolak jika harus disuap dengan eskrim. "Ah lo mah tau aja gimana bujuk gue, Wen. Inget loh eskrim coklat sama strawberry." "Ye kamu ni, Lis. Untung sahabatku," kata Wendya membuatku nyengir tak bersalah. Aku yang baru ingat tujuan awalku berangkat pagi pun segera menanyakan ke Wendya. "Wen, sepulang sekolah ada kegiatan enggak?" tanyaku berbasa-basi. Takutnya jika hari ini sebenarnya ia ada kegiatan, jika aku memintanya untuk menemaniku rasanya tak enak jika ia harus membatalkan acaranya. Wendya nampak mengingat-inget. "Emmm ada, Lis, aku harus nemenin kakakku ketemu sama calonnya." Aku yang mendengar Wendya ternyata sudah ada kegiatan pun hanya bisa menghela napas. Sepertinya aku hari ini memang harus pergi ke runah sakit seorang diri. "Ada apa, Lis? Apa kamu mau ngajak aku ke suatu acara?" tanya Wendya yang sepertinya menyadari bahwa aku sebenarnya ada perlu dengannya. "Iya sih, Wen, gue cuma mau ngajak ke suatu tempat. Tapi kalau gak bisa gak papa kok, santai aja," ujarku. "Maaf ya, Lis, kalau besok insyaallah bisa." Aku terkekeh kecil. "Gak papa, Wen, jangan ngerasa bersalah gitu." Akhirnya Wendya pun tersenyum lega. Aku ikut terkekeh kemudian. Setelah itu kami mulai mengobrol lagi bercerita macam-macam hingga tanpa sadar hari semakin siang dan pembelajaran sebentar lagi akan dimulai. *** Setelah bel sekolah pertanya oulang berbunyi, aku bergegas keluar sekolah untuk menuju halte bus. Aku memutuskan untuk menaiki bus saja karena lebih cepat dan tentunya lebih murah. Biasanya bus berhenti pukul 15.00 dan kini maish menunjukkan 14.35 aku masih harus menunggu beberapa saat untuk bisa pergi. Selama menunggu kedatangan bus, aku sibuk dengan ponsel di tanganku hingga tak menyadari ada seseorang yang memperhatikanku sedari tadi. "Oy!" Aku mendongak dan terkejut mendapati Radif di sana. "Loh ngapain di sini?" Radif terlihat berpikir sebelum menjawab pertanyaanku. "Emmm nungguin lo kayaknya?" Aku semakin dibuat bingung. "Ngapain dah? Gue kan udah bilang cerita kelanjutkannya gak bisa hari ini,"ucapku memastikan Radif tak melupakan pembicaraan tadi pagi. Bukannya menjawab, Radif malah melemparkan sebuah helm ke padaku. Dengan susab payah aku menangkap. "Woy, Dif, apaan lo malah ngelempar helm ke gue sih," omelku setengah tak sadar akibat terkejut. "Gue anterin lo ke rumah sakit." Sepersekian detik aku mencerna ucapan Radif. Apakah aku tidak salah dengar dengan apa yang Radif ucapkan tadi? Aku mengucek mataku beberapa kali memastikan bahwa apa yang aku alami ini nyata adanya. Aneh rasanya Radif melakukan semua ini, rasanya tidak mungkin. "Malah bengong sih, ayo." Demi apapun aku masih tak mengerti apa arti tingkah Radif yang seperti ini. Rasanya campur aduk jika kalian tahu. "Gue gak tega lo ke rumah sakit sendiri." Lihatlah lagi-lagi aku dibuat terkejut oleh tingkah Radif yang super seram ini. Entah dorongan dari mana, aku kemudian berdiri dan mendekat ke motor milik Radif. Siapapun tolong beri tahu aku bahwa ini hanyalah mimpi. Aku tak ingin menyalah artikan sikap Radif yang seperti ini. Aku harap tak ada sesuatu yang membuat hatiku meminta lebih di masa depan. "Jangan lupa pegangan tas aja. Gue bakalan hati-hati kok. Gue bukan cowok yang suka modus," ucap Radif menyalakan sepeda motornya. "Kalau lo modus bakal gue gampar sih," sahutku ikut bengis. Walaupun aku terlihat santai, yang pasti aku sekarang sangat tegang. Sepertinya karena aku baru pertama kalinya menaiki dengan laki-laki selain keluargaku. Tbc
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD