24-?Beautiful Eyes?

2317 Words
_***_ Menghargai hati orang yang kamu sayangi adalah jurus terjitu untuk menghindari terjadinya kehilangan. _***_ Calista's POV Setelah aku mendengar sebuah kabar mengejutkan dari Wendya, kini pikiranku hanya tertuju kepada Radif. Sosok yang baru tadi aku temui dan terkesan berbeda dengan Radif yang aku kenal. Apakah sikapnya berubah demikian akibat dari peristiwa itu? Entah mengapa aku khawatir apabila terjadi sesuatu kepada Radif. Sepertinya aku harus memastikannya sendiri. Aku terus saja menyusuri karidor sekolah untuk menemukan sosok Radif, karidor memang ramai tetapi tak aku dapati sosok Radif yang memonjol sekali di mataku. Aku kemudian mencoba melihat ke arah lapangan di mana murid-murid sedang bermain bola basket, ternyata pun nihil. Aku terus mencari ke tiap sudut sekolah, namun tak aku temukan juga. Satu ide konyol tiba-tiba saja muncul. Aku berjalan cepat dan berhenti kemudian berjinjit sejenak dengan mendongak melihat kepada jendela transparan yang ada di ruang kepala sekolah. "Gak ada juga," gumamku. "Kamu cari apa?" Sebuah suara bariton mengagetkanku. Aku sangat kenal dengan suara itu. Sejenak aku membeku emndengarnya, namun dengan cepat aku berdiri tegak dengan menundukkan pandanganku. Mampuslah aku ketahuan Pak Al. Semoga ia tak berpikir macam-macam dan semoga ia tak mengenaliku. "Tidak ada, Pak." "Pasti ada yang kamu cari, kan? Mau cari siapa?" tanya sosok pria dewasa di depanku ini. Aku kemudian mendongak. "Saya tidak menemukan yang saya cari, Pak, mohon maaf sekali lagi karena tidak sopan mengintip ruangan bapak," ujarku kembali memberi jawaban penjelas yang aku harap mampu diterima oleh akal. "Sepertinya bapak pernah ketemu kamu sebelumnya ya?" kata pria paruh baya yang ada di depanku. Entah mengapa tanganku tiba-tiba saja bergetar. Perasaan takut menyeruak menyadari bahwa ternyata ia masih diingat oleh pria ini. "Mohon maaf, Pak. Saya Calista Bintang dari kelas XII MIPA 2." Pria itu tampak memikirkan sesuatu terbukti dari dahinya yang berkedut. Apa Pak Al akan mengingat kejadian lalu? "Ah tapi mungkin cuma perasaan bapak saja. Ya sudah silahkan kalau mau kembali ke kelas," ucap Pak Al mempersilakan aku untuk pergi. Mendengar ucapannya itu spontan aku menghela napas lega. Alhamdulillah jika ia tak mengingatku atas masalah itu. Aku kemudian tersenyum dan mengangguk. "Baik, Pak, permisi." Saat aku sudah berjalan beberapa langkah, suara pria paruhbaya itu kembali terdengar. "Eh sebentar, jadi kamu temannya Fauzan kan?" Mendengar nama Fauzan, membuatku sontak menghentikan langkahku. Entah mengapa tanganku menjadi gemetar kembali. Sekelebat kejadian yang hampir membuatku terpuruk kembali terlintas. Aku berbalik dengan menundukkan kepala. "Maksud bapak, Radif?" tanyaku dengan suara lirih. "Iya, Radif itu anak saya. Tolong jaga baik-baik ya." Aku hanya mengangguk kemudian pamit untuk pergi dari tempat itu. Selama aku berjalan, bayang bayang kejadian di mana kecelakaan yang menyebabkan mataku bermasalah itu kembali terlintas. Napasku terengah-engah dan rasanya tubuhku sangat ringan. Aku mengangkat tanganku dan terlihat jelas tanganku bergetar hebat. Napasku tiba-tiba saja memburu dan aku dengan cepat berusaha mengatur napasku. Tapi sungguh aku tidak bisa tenang. Rasanya seperti aku terpojok oleh sesuatu. Sejujurnya ini pertama kalinya aku merasakan ketakutan yang begitu hebat seperti ini. Aku tak menyangka kejadian itu amat membekas di ingatanku. Apakah ini yang dinamakan trauma? Aku terus menepuk dadaku yang kian sakit. Aku kemudian memutuskan untuk duduk di bangku depan perpustakaan. Mencoba menenangkan diri dan menyetabilkan napasku yang masih tak beraturan. Ya Allah kenapa jadi seperti ini. Suasana sekolah di sini masih sepi jadi tidak ada siswa yang dapat aku mintai tolongi. Oleh karena itu aku pun berusaha sendiri untuk tenang dan melupakan kejadian itu sejenak. Memang tak mudah untuk membuatku tenang karena sekelebatan kejadian masih bersliweran. Walaupun begitu aku harus bisa menenangkan diri. Di dalam hatiku aku terus berdoa semoga hal buruk tidak menimpaku lagi. Aku mencoba merelakskan tubuhku dengan ber-sender pada dinding perpustakaa. Saat aku mulai bisa mengendalikan diriku untuk tenang, terdengar teriakan dari ujung karidor. Aku tak bisa melihat jelas karena aku tak memakai kacamata. Namun yang pasti dia laki-laki. "LISTA?!" Derap langkah berlari terdengar mendekat. Aku semakin bisa jelas melihat wajahnya. Dan ternyata dia adalah Dito, teman dekat Radif. "Lis, lo kenapa?" Ia nampak panik melihatku yang terlihat bernapas memburu. Bagaimana tidak panik, keringatku sudah bercucuran dan wajahku pasti juga memerah. "Astaga, Lis, kok lo bisa gini sih! lo punya asma?" "Lis, lo ke UKS aja ya. Lo bisa jalan gak?" tanyanya masih bertanya akan kondisiku. Aku tak bisa menjawab akibat napasku yang masih terengah sehingga hanya gelengan kepala yang menjadi responku. Aku belum yakin untuk bisa berjalan karena napasku masih belum beraturan. Ia terlihat bertambah bingung menghadapiku. "Lo tunggu di sini bentar ya. Gue mau panggil petugas UKS, semoga udah ada," ucap Dito tergesa-gesa Selepas ia mengucapkan kata-kata tadi, ia bergegas berlari terbirit-b***t. Aku tak terlalu memperhatikannya karena napasku masih terengah-engah seperti orang yang baru saja selesai lari maraton. Akhirnya setelah dua menit aku berusaha menanganinya sendiri, napasku bisa kembali normal walaupun rasa tubuhku masih lemas. Bebarengan dengan itu, datanglah Dito bersama Mbak Friska, petugas UKS. "Dek, kamu udah gak papa?" tanya Mbak Friska melihat kondisiku yang terlihat sudah seperti sedia kala. Aku mengangguk dengan keletihan yang sangat ketara. "Mending lo istirahat di UKS dulu deh, Lis," sambung Dito dengan raut kelelahan akibat berlari ke sana ke mari. "Iya, Dek. Mari ikut Mbak. Kamu kuat jalan gak?" tanya Mbak Friska kembali. Aku tersenyum sembari menjawab, "maaf sepertinya tidak perlu, Mbak. Ini saya sudah lebih baik kok." "Heh, Lis, beneran?" tanya Dito dengan matanya yang melotot tak percaya. "Iya, Dit. Maaf yah ngerepotin," jawabku menyinggungkan senyum penyesalan. "Iya udah gak papa, Dek, tapi kalau kamu mau ke UKS jangan sungkan ya. Mbak ada di sana nanti," tanggap Mbk Friska membuatku tersenyum sumringah. "Siap, Mbak. Terima kasih." "Ya udah kalau gitu Mbak pergi dulu ya. Sehat-sehat, Lista," ujar Mbak Friska sebelum melengang pergi. "Aamiin, terima kasih, Mbak. Mbak Friska juga sehat-sehat ya." Akhirnya kini hanya tersisa diriku dengan Dito. Ia masih mengamatiku heran. "Kenapa?" tanyaku "Lo beneran udah sehat, Lis. Gue panik banget liat lo yang kayak tadi," jawabnya memjelaskan yang sedang ia pikirkan. Dengan perlahan aku pun berdiri berniat membuktikan bahwa aku sudah baik-baik saja. "See. I'm okay, Dito." "Oke deh gue percaya. Lagian tadi tu lo keliatan banget susah napas. Kan gue takut lo kenapa-napa nanti," cerocos Dito menjelaskan rasa paniknya. Aku yang mendengarnya serius bercerita hanya bisa terkekeh geli. "Aduh, Dit. Makasih banyak loh," kataku masih tertawa melihat Dito seperti itu. "Yeee malah ketawa. Gue takut nanti gue yang disalahin. Apalagi kalau Radif tau, bisa metong gue," ujar Dito yang semakin membuatku tertawa. "Yakali, emangnya Radif bisa makan orang," candaku dengan tawa yang semakin tergelak. "Kayak gak tau Radif aja, Lis. Kalau ada sesuatu yang berhubungan sama lo tu kayak kesetanan dia. Kayaknya dia suka lo sih," ujar Dito ceplas-ceplos. Aku yang mendengar pemuturan Dito pun mematung sejenak untuk mencerna tiap kata yang diucapkannya. "Ah lo mah bercanda aja. Mana mungkin. Tau sendiri gue sama Radif udah kayak tom and jerry." "Eh justru yang kayak gitu bakalan sering terjadi friendzone tau," ujar Dito kembali berniat menggodaku. Aku kemudian tertawa kembali. "Aihh ngaco lo ah. Udah ya gue masih ada urusan.." "Iya dah iya yang baru debut sekolah lagi. Tapi ati-ati loh, Lis. Gue mau ke kelas juga ni biasa cari temoat wkwk." Aku kemudian terkekeh geli kembali. "Kayak idol aja debut. Oke, Dit sekali lagi makasih ya." "Santuy, Lis. Dah gue pamit ke kelas ya, Baybay." Aku hanya menggeleng melihat tingkah Dito yang sangat aktif. Kurasa Dito dan Radif jika terus menjadi teman dekat akan menciptakan suatu pertemanan yang kuat. Ngomong-ngomong tentang Radif, aku harus mencarinya segera mungkin sebelum bel masuk terdengar. Satu tempat yang masih belum aku datangi adalah rooftop. "Kayaknya dia di sana sih. Gak mungkin keluar sekolah soalnya," gumamku. Sebelum pergi rooftop, aku menyempatkan diri mampir ke kantin. Namun bukan untuk jajan atau sarapan, aku ingin membeli brownies. Makanan kesukaan Radif. Aku berniat memberinya ini supaya ia mau menjelaskan semuanya sewaktu aku tak ada. Semoga ia termakan suapku ini, hehe. "Bu, ada brownies?" Ibu kantin yang tadinya sibuk menggoreng gorengan pun menghampiriku. "Ada, Mbak. Mau berapa?" "Aemm, 1 box deh, Bu." "Oke, tunggu ya." Setelah 2 menit menunggu, akhirnya aku mendapatkan brownies kesukaan Radif itu. "Makasih ya, Bu. Assalamu'alaikum." Aku bergegas keluar dari kantin dan menuju ke rooftop. Senyum sumringah selalu aku tebarkan sepanjang perjalanan. Aku harap Radif bisa bersikap biasa terhadapku. Dan aku bisa menampik semua pernyataan Wendya yang berkata bahwa Radif sekarang adalah orang dingin. Kulirik arloji yang melingkar di pergelangan tanganku. Sudah menunjukkan pukul 07.40 yang artinya sebentar lagi bel akan berbunyi. "Ah harus cepet ini mah," ujarku kemudian berlari menaiki anak tangga hingga mencapai rooftop meskipun sebenarnya aku masih belum kuat berlari kencang. Saat aku telah sampai di atas, aku melihat seorang pria dengan seragamnya tengah terbengong menatap gedung-gedung di depannya. Aku berniat mengagetkannya, namun aku urungkan begitu raut wajahnya menyiratkan kesedihan. Sehingga mau tak mau aku memutuskan untuk menunggunya saja hingga ia menyadari kehadiranku. Aku menunggunya dengan berdiri di belakangnya. Ia nampak maaih tak menyadari derap kaki langkahku. Mungkin karena ia terlalu fokus dengan sesuatu yang ia pikirkan. Aku lihat-lihat dari penampilannya sekarang sangat berbeda dengan terakhir kali aku bertemu. Mungkin semenjak peristiwa yang menimpa Radif menurut cerita Wendya tadi menjadikannya seperti ini. Raut wajahnya yang biasanya ceria dan terlihat kocak, kini justru terlihat dingin dan tak tersentuh. Huh, andai aja aku ada di sisinya kala itu. Sudah cukup lama aku menunggu. Aku melihat jam tanganku kembali dan ternyata sudah lima menit berlalu. Karena tak mau membuang waktu lagi, aku pun berniat menepuk bahunya. Namun sebuah perkataan yang meluncur dari mulutnya membuat aku membeku. "Padahal ada banyak pertanyaan yang perlu gue tanyain ke Bintang. Bodoh banget lo, Dif!!" Aku mematung mencerna ucapannya dan melihatnya mengacak rambutnya frustrasi ketika mengucapkan kalimat itu. Sejujurnya aku bingung dengan Radif. Jika ia ingin bertanya banyak, mengapa ia tak menanyakan waktu aku sapa tadi? "Lo boleh tanya sekarang, Dif," jawabku spontan sekaligus penasaran. Ia nampak terkejut mendengar suaraku. Sepertinya benar ia terlalu fokus pada lamunnya hingga tak menyadari kedatanganku. Aku berjalan mendekat ke arahnya yang mematung. "Lo tadi kenapa kabur gitu dah. Kayak liat gue bangkit dari kematian aja," candaku mengandung sindiran halus terkait kejadian tadi. Ia masih terus terdiam. Bedanya kini ia mengalihkan pandangannya ke arah lain. Tentu itu membuatku bertambah heran. Pasti ada banyak misteri dibalik bungkamnya itu. Aku kemudian bergerak duduk di bangku sebelah Radif namun masih berjarak. Aku menghela napas sejenak sebelum berbicara lanjut. "Lo kenapa, Dif?" tanyaku kembali. Bukannya menjawab pertanyaanku, ia justru menghela napas kasar. Apakah pertanyaanku membutuhkan tenaga yang berat untuk menjawab? "Nih gue beliin brownies kesukaan lo," kataku menyodorkan sekotak brownies yang aku beli dari kantin tadi. Biasanya ia tak akan menolak untuk menerima makanan ini. "Gue udah gak suka brownies lagi." Jawaban singkatnya membuatku kembali terheran. Sebenarnya apa yang pria ini mau. Sungguh kini ia telah menjadi sosok yang berbeda yang tak aku kenal. "Masa sih. Dulu aja kalau gue beli ginian lo rebut dan makan semua. Yakali lo sekarang gak suka. Mustahillah," jawabku mencoba mengajak bercanda untuk mencairkan suasana. Bukannya menanggapi leluconku, ia lagi-lagi malah menghela napas. Seolah ia lelah menghadapi pertanyaan-pertanyaanku. "Dif, ngomong napa. Masa gue baru balik malah lo cuekin." "Bentar lagi bel, gue mau ke kelas," ucapnya dingin dan tak menjawab pertanyaanku sama sekali. Aku hanya menatap Radif yang kini berdiri dengan padangan tak percaya. Bisa-bisanya ia mengabaikanku dan tak menghargaiku sama sekali. Sebenarnya apa sih salahku dan apa sih yang menyebabkannya seperti ini? Sungguh aku tak mengerti lagi dengan Radif yang sekarang ini. Sebelum Radif melangkah pergi, aku menahan langkahnya terlebih dahulu. Kutarik lengan bajunya untuk berhenti. Akhirnya mau tak mau Radif pun berhenti melangkah. Aku juga berdiri di sampingnya. Aku sudah geram dengan tingkahnya kali ini. Aku sudah berusaha sabar menghadapinya sedari tadi, namun bukannya luluh ia malah semakin membuatku kesal. "Dif, lo kenapa sih?" tanyaku dengan mata yang sudah belinang. Lagi-lagi tak ada jawaban dari mulutnya itu. Ingin rasanya aku memukul pria menjengkelkan ini. "Jawab, Dif!" Cukup lama keheningan terjadi dan pelupuk mataku semakin penuh dengan air mata. Aku sudah tak tahan untuk mengeluarkan semua yang ada di hatiku. "Dif, kok lo sekarang jahat sih sama gue?" "Lo masih marah sama gue? Lo masih marah karena gue nyakitin temen cewek lo itu?" "Oh atau lo itu gak suka ya gue sekolah lagi?" "Lo seneng kan kalau gue gak ada di sini?" "Jawab gue, Radif Fauzan Alvar!" Aku menghentikan perkataanku tadi karena sakit di dadaku kembali muncul dan napasku kembali memburu. Bahkan air mataku sudah beberapa kali menetes. Lihatlah aku sudah bertanya banyak pertanyaan, kini ia masih terdiam membisu. Sungguh ia bukanlah Radif yang aku kenal. Tidak ada lagi tingkah jail yang selalu ia tujukan kepadaku. "Lo kekanakkanakan banget sih, Dif. Lo sekarang bukan Radif yang gue kenal." "Gue gak kenal lo, Dif." "Gue kecewa sama lo!" Setelah aku mencurahkan semua kekesalan dan rasa sedih yang merangsuk hatiku, aku bergegas berlari meninggalkan tempat itu. Aku tak kuat jika harus terus menangis dihadapan Radif. Aku tak peduli dengan teriakan Radif yang memanggil namaku. Aku sudah sangat kecewa terhadapnya. Hiks ... hiks ... Sepanjang perjalananku menuruni rooftop, aku berusaha sekuat tenaga menahan isakanku walaupun sesekali masih lolos isakan kecil dari mulutku. Aku hanya tak percaya Radif bisa bertingkah sedemikian jahatnya kepadaku. Aku segera menuju toilet yang ada di dasar tangga. Apa setidakbegitu berharganya aku di hadapanmu, Dif? Hiks ... "Tega banget sih lo, Dif." Setelah aku pikir-pikir lagi. Sepertinya kehadiranku hanya angin lalu dan sekarang ia sudah tak menganggapku ada. Aku baru sadar, aku memang tak berhak tau apapun yang terjadi padanya. *** Author's POV Derap langkah cepat mengalun memenuhi karidor. Dan nampaklah seorang siswi berhijab tengah berjalan menunduk dengan isakan kecil yang sesekali terdengar. Iyap dia adalah Calista. Ia terlihat memasuki sebuah toilet di bawah tangga itu. Sepertinya ia baru saja menghadapi sesuatu yang membuatnya sesedih itu. Sedangkan tak lama kemudian, turun pula dari tangga yang sama seorang siswa yang berteriak memanggil nama "Bintang" Wajahnya nampak panik dan terdapat guratan kesedihan di sana juga. Ia berjalan cepat dan celingukan mencari sesosok yang bernama Bintang. "Maafin gue, Tang. Bukan maksud gue untuk cuekin lo," ujarnya lirih penuh penyesalan. TBC
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD