12. Mengungkap kejahatan Edzard.

2088 Words
Edward mengikuti langkah Felicia yang kini memasuki rumah besarnya. Tak ada percakapan antara keduanya, Edward terlampau malas. Jika boleh memilih dia ingin bersama Callista saja setiap waktu tanpa ada pergantian jiwa. Felicia memberhentikan langkahnya dia menoleh ke arah Edward. Membuat pria itu memicing aneh ke arahnya. Namun Edward enggan bertanya. "Tuan, jika boleh ... aku ingin ke kamarku sendiri." "Tidak." Hanya satu kata yang keluar dari bibir Edward, pria itu kembali bersikap dingin. Merasa begitu asing dengan wanita yang ada di dekatnya ini. Felicia meluruhkan tubuhnya dan kembali berjalan masuk ke dalam ruang kamar mereka. Dia bingung harus melakukan apa di sini, tidak ada yang ingin dia bicarakan dengan pria yang merangkak sebagai suaminya ini. Edward mendudukkan tubuhnya di kursi kebesarannya, dia kembali sibuk dengan laptop di hadapannya. Sesekali dia tersenyum tipis saat mengingat harinya yang berbunga-bunga sejak kedatangan Callista, ah ... kenapa Edward sudah merindukan jiwa wanita itu? Sesekali Edward melirik ke arah Felicia. Dia berharap Callista bisa menggantikan Felicia secepatnya. Felicia yang peka dengan lirikan Edward merasa risih. Dia memalingkan wajahnya. Edward menahan senyum, hah ... kenapa dia seperti orang gila saja rasanya. "Tuan." panggil, sosok sekretaris Edward yang baru saja masuk. Memperlihatkan layar tablet yang ada di tangan kanannya. Edward mengangguk dan mengibaskan telapak tangannya pelan, mengusir sang sekretaris pergi. "Felicia." Panggi Edward. Felicia membalikkan badannya dan berdiri lalu membungkuk ke arah sang suami. "Apa ada yang bisa aku bantu, Tuan?" Edward mengangguk dan meminta Felicia mendekat. Dia memperlihatkan layar laptopnya yang menampakkan permata biru milik Edward. Felicia terkejut sesaat namun dengan cepat kembali menetralkan ekspresinya. Edward menarik sudut bibirnya kecil, dia peka terhadap perubahan sikap Felicia. "Aku menyimpan benda ini di dalam brangkas, aku merasa kau harus mengetahui perihal ini. Karena kau adalah istriku." ucap Edward. Felicia menatap gugub ke arah Edward. Ini benda yang selama ini dia cari, dia menikah dengan Edward hanya karena ingin mengambil benda tersebut untuk ia berikan pada kekasihnya. Dan sekarang tanpa diduga Edward memperlihatkan letak persembunyian benda itu, Felicia tidak akan membuang kesempatan ini. "Aku harap kau bisa ku percaya. Malam ini aku ada pertemuan penting dengan rekan bisnis ku." ujar Edward selanjutnya. Felicia mengangguk paham sembari tersenyum. Edward rasanya ingin berteriak laknat di sini. Ck, kenapa wanita ini sangat memuakkan? Batinnya. Namun kembali teringat jika kekasihnya juga ada di dalam tubuh wanita tersebut. . Malam pun tiba, sesuai dengan ucapan Edward pria itu pergi meninggalkan Felicia sendirian. Tanpa membuang banyak waktu Felicia menuju ke arah tempat benda itu di simpan. Di sini Felicia berada, di sebuah ruang rahasia milik Edward. Jantungnya berdegup kencang menatap benda kotak berbahan emas yang ada di atas meja mewah di hadapannya. Ada ketakutan tersendiri di dalam hatinya saat ingin mencuri benda tersebut. Tapi dia kembali mengingat janji Edzard, kekasihnya itu mengatakan jika dia bisa mendapatkan permata tersebut maka Edzard akan menceraikan Elois dan menikah dengannya. Felicia mengangguk yakin lalu membuka kode brangkas tersebut dan segera mengambil benda itu lalu pergi dari sana. Di sisi lain Edward tengah tertawa menatap layar laptopnya, yang kini menampakkan sosok Felicia yang tengah mencuri permata palsu miliknya. Dia menjentikkan jarinya memanggil sang sekretaris agar mendekat ke arahnya. "Lakukan tugasmu selanjutnya!" Perintah Edward, dan diangguki paham oleh sang sekretaris. Terlihat sekretaris Edward tengah menghubungi seseorang entah siapa. Setelah sambungan telepon terputus sosok pria itu kembali menemui sang atasan. "Tuan, semua sudah berjalan sesuai rencana." Edward mengangguk puas. Felicia memakai penutup wajah agar tidak ada yang mengenal dirinya, malam itu juga dia pergi menuju ke tempat sang kekasih. Edzard mendapat laporan dari orang kepercayaannya, dia bilang jika ada tamu penting akan datang menemui dirinya. Tanpa ragu Edzard menyanggupi pertemuan itu, dia meminta bertemu di salah satu ruang pertemuan di tempat tinggalnya. Edzard memicing tajam menatap sosok wanita cantik yang ada di hadapannya sekarang ini. "Meca?" Satu nama yang terucap dari bibir Edzard. Yah, wanita ini adalah mantan kekasih Edzard, entah yang keberapa. Katakan jika Edzard adalah seorang b******n. "Kau masih mengingatku dengan baik." Meca mendekat ke arah Edzard dan meraba rahang tegas pria tersebut. Menatap penuh nafsu ke arah bibirnya. Edzard menelan ludahnya berat, tatapan Meca sungguh menggoda. Jadi dia hanya bisa diam menunggu apa yang akan wanita itu lakukan. "Apa kau tidak merindukan mu?" bisik sexy Meca, di samping telinga Edzard. "Aku sudah menikah." lirih Edzard, terdengar keraguan di nada bicara pria tersebut. "Ck, aku tahu jika kau tidak mencintai istrimu." Edzard diam tanpa kata, tubuhnya membeku karena apa yang diucapkan Meca memang benar adanya. "Aku datang untuk melakukan penawaran untukmu." Edzard melirik ke arah Meca menunggu kelanjutan ucapan wanita tersebut. Meca mengecup singkat bilah bibir hangat Edzard. Lalu melanjutkan ucapannya. "Aku bisa memberikan separuh perusahaan milikku, jika kau mau menjadi milikku. Tapi ..--" Ucapan Meca terhenti. "Apa?" tanya Edzard tak sabaran, dia sangat tertarik dengan penawaran Meca pasalnya perusahaan wanita itu terbilang sangat besar dan begitu berpengaruh. Mungkin menempati urutan ke-3 setelah perusahaan Lukas. "Aku mendengar jika kau mencintai adik istrimu." Meca mendorong malas tubuh Edzard. Edzard gelagapan dia segera memeluk tubuh Meca dari belakang, mode rayuan buaya Edzard kembali aktif. "Ternyata selama ini ada yang diam-diam memantau ku, hm?" Percaya diri Edzard. Meca tersenyum mengelus punggung telapak tangan pria yang kini memeluk tubuhnya. "Jadi katakan, kau memilihku atau memilih wanita itu?" "Tentu saja aku memilihmu, asal kau tahu .. aku mendekati Felicia hanya sebagai alat." Meca membalik tubuhnya dan mengalungkan kedua lengannya di belakang leher pria di hadapannya, menatapnya dengan tatapan penuh kelembutan. "Alat?" Edward mendekatkan wajahnya dan mengecup bibir ranum Meca. "Yah, aku menggunakan Felicia untuk mendapatkan permata milik kakak ku. Setelah dia mendapatkan benda itu dan memberikan padaku, maka aku akan membuangnya." "Benarkah? Kau sangat jenius, Sayang." Meca meraih tengkuk Edzard dan mengajaknya bermain panas malam ini. Tanpa mengetahui jika Felicia sudah mendengar semuanya dari balik jendela. Felicia awalnya ingin masuk ke dalam ruangan itu setelah salah satu pelayan memberitahu nya jika Edzard ada di dalam sana. Namun diluar dugaan Felicia ternyata Edzard sedang bersama dengan seorang wanita. Alhasil Felicia merasa penasaran dengan apa yang terjadi di dalam sana. "Hik, kenapa kau jahat padaku?" batin Felicia sembari membekap mulutnya sendiri agar tidak bersuara. Air mata mengalir deras membasahi kedua pipinya. Dia meremas erat benda yang ada di tangannya melampiaskan rasa sakit yang kini terasa ingin membunuh nya secara perlahan. Felicia tak sanggup berada di sana lebih lama, terlebih dia mendengar suara desahan wanita yang entah siapa itu, membuat hari Felicia semakin perih. Felicia berlari kembali ke kediamannya dengan tangisan pilu. "Kenapa?! Kenapa semua ini terjadi padaku?! Aku hanya ingin merasakan kebahagiaan, tapi justru penderitaan yang aku rasakan selama ini!" Sesampainya di kediamannya, Felicia langsung menuju ke tempat penyimpanan permata tadi. Mengembalikan benda tersebut ke dalam brangkas dan dia menuju ke kamar pribadinya. Menemui Lily untuk bercerita tentang apa yang terjadi kepadanya saat ini. . . PROK! PROK! PROK! Edward bertepuk tangan bangga. Menatap sosok wanita yang kini terlihat cemberut di hadapannya. "Ck, asal kau tahu. Jika bukan karena sahabat gila sepertimu aku tidak sudi melakukan semua ini!" Kesal wanita itu. "Ayolah .. kau sudah biasa melakukan semua ini. Kenapa kau harus marah, hm?" Kekeh Edward. Mendudukkan tubuhnya di samping wanita itu dan memberikan segelas anggur mahal kepadanya. "Adikmu itu bukan manusia! Dia iblis jika kau lupa. Dan kau seenaknya saja membuat diriku sebagai umpan! Dasar." Yah, wanita itu adalah Meca. Dia sudah bersahabat lama dengan Edward dan malam ini dia mendapatkan tugas dari sahabatnya itu untuk mendekati mantan kekasihnya, siapa lagi jika bukan Edzard. "Aku akan memberikan dua saham perusahaan ku untuk bayarnmu." bisik Edward, dia paham betul dengan apa yang disukai sahabatnya ini. Meca dan harta adalah hal yang tak dapat terpisahkan. "Benarkah?!! Jika begitu, aku bisa menjalankan tugas seperti ini sesuai apa yang kau perintahkan." Girangnya. "Ck, tidak. Cukup hari ini saja gadis nakal." Edward menjitak kecil kening sang sahabat. Edward sudah merencanakan semua itu, dia meminta Meca untuk mendekati Edzard di saat Felicia datang menemui pria tersebut. Dia hanya ingin Felicia membuka kedua matanya, jika orang yang selama ini ia kejar nyatanya hanya menggunakan dirinya sebagai alat. "Edward, apa kau benar-benar mencintai Felicia? Hingga kau sampai melakukan hal ini?" Edward menggelengkan kepalanya pelan. "Aku tidak bisa menceritakan semuanya kepada mu." Felicia menangis sesenggukan di dalam pelukan Lily, dia menceritakan semua apa yang telah terjadi padanya. Lily ikut menangis tanpa bisa berbuat apa-apa. Sampai-sampai Felicia tertidur karena terlalu lelah menangis berjam-jam. Lily berusaha terjaga, menunggu sang nona yang kini terlelap di sampingnya. Meski kepalanya sesekali terkantuk-kantuk menahan berat di kedua matanya. "Apa dia sudah tidur?" ucapan seorang pria membuat Lily membelalak lebar. Dan segera berdiri lalu memberi hormat kepada pria tersebut. "Sudah, Tuan." Pria yang tak lain adalah Edward itu mengangguk dan tersenyum, mendekat ke arah Felicia lalu menggendong tubuh sang wanita dengan entengnya. Edward membawa Felicia pergi ke kediamannya, sepanjang jalan dia tersenyum karena tahu sebentar lagi akan bertemu dengan istri cantiknya. "Baby, bangunlah." Edward mengecup pelan pipi sembab wanita di dekatnya. Namun tetap saja tak kunjung bangun, berakhir pria itu membawa tubuh sang istri ke dalam kamarnya. Merebahkan tubuh Felicia pelan di atas ranjang sedang dirinya bergegas membersihkan diri. Beberapa menit setelah Edward selesai, dia melihat sang istri sudah bangun sembari mengucek kedua matanya. "Edward, kenapa dengan mataku? Aku tidak dapat melihat. Mataku sangat berat." Sudah dapat dipastikan jika sosok wanita itu adalah Callista. "Tanya saja pada dirimu, yang menangis berjam-jam hanya karena seorang lelaki. Kau tahu? Aku sangat cemburu." Edward bersikap seolah dirinya kesal pada Callista. "Aku? Menangisi siapa? Astaga!" "Kau berselingkuh dariku." "Hah? Kau jangan membuatku bingung. Bagaimana bisa aku selingkuh darimu!" Kesal Callista tak terima dikatakan seperti itu oleh sang suami. "Kau diam-diam menemui Edzard." Callista mengangguk, sudah pasti Felicia menggantikan jiwanya. Dia menunduk lesu. "Jadi kau cemburu pada Felicia? Sebenarnya kau mencintaiku apa mencintai Felicia?" Edward gugub, dia hanya bercanda dan istrinya menganggap serius ucapannya. Dengan sigap Edward mendekati tubuh sang istri, merangkulnya mesra sembari membubuhkan kecupan sayang di pipi gembil wanita tersebut. "Aku hanya mencintaimu. Jangan marah, aku hanya bercanda. Kenapa kau menggemaskan sekali, hm?" Edward menguyel kedua pipi merah Callista. "Lepaskan, pipiku terasa ngilu. Hah, apa-apaan dengan Felicia yang penuh drama ini. Aku merasa tubuhku sangat lelah, gara-gara dia bersedih." Keluh Callista. "Butuh pijatan?" tawar Edward, sembari menaik turunkan kedua alisnya. Callista sudah menebak jika suaminya ini tidak hanya menawarkan pijatan pasti akan ada tambahan plus-plus nya. "Aku sangat lelah, Sayang ..." Lesu Callista. Edward mengangguk dengan senyuman geli. "Aku hanya menawarkan pijatan, apa yang kau pikirkan sebenarnya? Lucu sekali." Edward meminta Felicia merebahkan tubuhnya dan mulai memijit punggung wanita tersebut. "Sayang," Panggil Callista. "Iya, apa kau butuh sesuatu?" "Aku hanya memikirkan, bagaiamana jika nanti aku kembali ke duniaku? Aku tidak akan bertemu dengan mu lagi. Apa aku siap dengan semua itu?" Edward menghentikan aktivitasnya dan tersenyum pahit, tak dapat di pungkiri jika dirinya juga memikirkan hal yang sama seperti apa yang istrinya ini pikirkan. Edward juga takut akan hal itu. "Percayalah .. cinta kita akan selalu mempertemukan kita selamanya." Callista tersenyum dan mendudukkan tubuhnya, menatap wajah tampan sang suami. "Boleh aku menatap mu lima menit saja? Aku ingin merekam lekuk wajahmu di dalam otakku. Aku ingin selalu mengingat wajahmu sampai kapanpun." "Lakukan semaumu, Sayang." Callista tersenyum, air mata bahagia menitik di sudut matanya. Dengan cepat dia memeluk erat tubuh sang suami, seakan tak ingin melepaskan pria itu barang sedetikpun. "Aku mencintaimu, sangat mencintaimu." "Aku lebih mencintaimu, jika saja aku bisa menukarkan kekayaanku demi bersanding denganmu maka aku akan melakukannya." Callista mendorong kasar tubuh sang suami. Menatap nyalang kedua iris hazel pria di hadapannya. "Jika kau menukarkan hartamu, maka kau akan menjadi orang miskin dan aku tidak ingin menjadi pengemis, jika kau tahu!" Edward tertawa lucu, dia lupa jika istrinya ini mata duitan. Callista terjatuh di dunia ini karena keserakahannya sendiri akan uang bukan? Namun Edward sangat menyukai kepribadian Callista, nyatanya hidup itu butuh uang. Dirinya pun juga gila akan uang, jadi bukankah pantas jika jodohnya juga menggilai harta sama hal dirinya? "Dasar. Baby, bagaiamana jika besok kita jalan-jalan. Kau bisa membeli perhiasan yang kau inginkan." Callista berbinar dia tidak akan menolak ajakan sang suami. "Tapi, jika Felicia muncul di dalam tubuh ini bagaimana?" "Aku akan memberikan obat tidur agar dia tertidur dan berganti dirimu." "Bagaimana bisa segitu?!!" Jerit Callista memukul tubuh sang suami. Edward hanya bisa tertawa terbahak-bahak mendapat pukulan dari istrinya ini. "Aduh." Callista merintih sembari memegang telapak kakinya yang terlihat lecet. "Ada apa?" tanya Edward ikut memeriksa kaki sang istri. "Kenapa bisa ada luka di sini?" tanya Callista. "Ck, tadi Lily bilang jika kau berjalan tanpa alas kaki pergi ke kediamanmu." "Ck, Felicia memang sangat bodoh." Kesal Callista. "Aku juga akan melakukan hal yang sama jika ada di posisi Felicia, Sayang."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD