11. Tumbuh Benih-benih Cinta

2025 Words
Callista meringsut ketakutan di dalam mobil sedang Edward sudah keluar. "Siapa yang menyuruh kalian?!" tanya Edward dengan nada datarnya. "Ck, kau tidak perlu tahu." Salah satu dari mereka menggerakkan dagunya tanda meminta para temannya yang lain untuk menyerang Edward. Edward segera menangkis serangan mereka. Namun karena jumlah mereka yang terlampau banyak membuat Edward kewalahan dibuatnya. Callista bingung harus berbuat apa, dia tidak tega melihat Edward kelelahan melawan para penjahat di luar sana. Akhirnya Callista keluar dari mobil. "Kenapa kau keluar, hah?! Masuk ke dalam mobil!" Perintah Edward. Callista membolakan matanya saat melihat salah satu dari penjahat itu mengayunkan tongkat besinya tepat di atas kepala Edward. "Tidak!! Hentikan!!!" Teriak Callista sembari menutup mata dan telinganya. Sedetik kemudian suasana mendadak beku. Callista membuka kedua matanya sontak ia sangat terkejut saat melihat semua makhluk di sekitarnya berhenti bergerak. Yah! Semuanya termasuk udara. Edward beserta panjahat tadi membeku, hanya Callista sendiri yang bisa bergerak dan menyadari semuanya. "A-apa yang terjadi?" bingung wanita itu, dia menetap ke sekeliling yang terasa begitu hampa. Sayup-sayup ia mendengar suara seseorang. 'Hanya kau yang mampu menghentikan pergerakan waktu. Tugasmu menyelamatkan edward.' Callista melirik jam tangan yang ada di pergelangan tangannya. Dia tersentak saat melihat jarum jam bergerak begitu cepat, berlanjut udara mulai terhembus. Apa artinya semua akan kembali? Gumam Callista. Dengan cepat dia menarik tubuh beku Edward lalu mendorong nya masuk ke dalam mobil. Callista siap menguasai kemudi mobilnya. Satu detik, dua detik, dan-- Wushh!!! Keadaan kembali seperti semula dengan segenap keberanian Callista menginjak gas mobilnya menabrak para penjahat di hadapannya. Edward yang baru saja sadar tersentak nyaris berteriak. "A-apa yang kau lakukan? Ba-bagaimana bisa? Bukankah tadi?" Edward kebingungan dengan keadaan yang begitu aneh. Baru saja dia bertarung dengan para penjahat di sana lalu dalam sekejap mata dirinya sudah ada di dalam mobil dengan posisi Callista mengemudi serta menabrak para panjahat itu. Callista menghentikan mobilnya seketika merasa keadaan sudah sedikit aman. Dia membanting punggungnya di kursi kemudi, sembari memejamkan kedua matanya. Hah! Callista berusaha menetralkan napasnya yang terasa sangat berat. "Callista." Ucapan Edward mampu membuat Callista berhenti bernapas. Ini kali pertama pria di sampingnya itu menyebutkan namanya. Dengan cepat Callista menolehkan kepalanya ke arah Edward. Membuat pria itu gugub, ah .. kenapa dia bisa memanggil nama Callista? Bingungnya. "Akhirnya, kau percaya denganku, Tuan?" "Baiklah, sekarang ceritakan padaku. Bagaimana semua bisa terjadi? Aku mulai merasa takut berada di dekatmu. Kau seperti malaikat yang sengaja dikirim untuk melindungi ku." Callista menunduk sembari meremas kedua tangannya. Seperti ada sejuta kupu-kupu yang menggelitik di dalam perutnya. Membuat Callista selalu ingin tertawa. Dia sangat malu mendapat sebutan malaikat dari pria yang dikaguminya ini. "Aku memang malaikat yang dikirim untuk melindungi, Tuan. Apa sekarang Tuan sudah percaya padaku?" tanya Callista memastikan. Edward mengangguk, dari semua kejadian yang sudah terjadi menandakan jika Callista memang tahu kejadian yang akan terjadi di masa depan. "Apa yang selanjutnya akan terjadi padaku?" tanya Edward kemudian. Callista mencoba berpikir tentang alur yang akan terjadi di dunia halusinasi itu. "Eum ... Felicia akan merayumu dan menanyakan tentang permata milikmu." ucap Callista. Edward menarik sudut bibirnya. "Bisakah kau tetap berada di dalam tubuh ini, aku tidak ingin bertemu dengan kepribadian Felicia." ucap Edward. Callista tersenyum lebar sembari mengangguk antusias. "Jika begitu jaga aku agar tetap terjaga. Dengan begitu tidak ada kesempatan bagi Felicia untuk menggantikan posisiku." Edward mengangguk lalu menggantikan Callista mengemudi. "Kita mau kemana?" tanya Callista karena arah jalan yang mereka lalu berbeda dari biasanya saat pulang. "Ke suatu tempat. Coba tebak, jika kau tahu di mana tempat itu." tantang Edward. Callista berpikir sejenak lalu tersenyum dan menatap ke arah Edward. "Edward memiliki dua tempat istimewa. Dia sangat menyukai kebun teh dan satu lagi--dia memiliki peliharaan hewan buas. Aku harap kau tidak membawaku ke tempat dimana peliharaan mu berada." Callista bergidik ngeri menyebutkan tempat kedua yang di sukai Edward. Edward membuka mulutnya tak percaya, dia tidak pernah mengatakan tempat persembunyiannya pada siapapun, namun Callista sudah mengetahui semuanya. Sekarang Edward benar-benar yakin jika Callista memang malaikat yang dikirim untuknya. "Aku tidak bisa mempercayai semua ini tapi aku harus mempercayainya." Kekeh Edward. Callista ikut tertawa mendengar gumaman pria di dekatnya ini. "Aku suka jika kau banyak tersenyum seperti ini." sahut Callista. "Em .. kenapa kau harus melindungi ku? Apa yang akan terjadi padaku memangnya?" tanya Edward penasaran. Callista tersenyum kecut, dia tidak ingin mengatakan akhir dari drama kisah keluarga Lukas. Tugasnya di sini untuk mengubah alur agar Edward tidak berkahir menyedihkan. "Maaf, aku tidak bisa mengatakannya padamu. Cukup aku yang tahu akhir dari perjalanan mu dan aku akan mengubahnya untuk mu. Percaya padaku, aku tidak akan berbuat jahat padamu. Karena aku sangat menyukai mu." jujur Callista. "Uhuk!" Edward salah tingkah sampai-sampai tersedak air liurnya sendiri. Astaga, kenapa Edward bisa seperti ini? Dimana jiwa dingin seorang Edward Lukas? "Kau baik-baik saja?" tanya Callista dengan polosnya. Dia mengakui jika sangat mengagumi Edward, dan dia harus tahu batasan bagaimana rasa kagum itu agar tidak berubah menjadi cinta. Callista sadar, jika dirinya berbeda dunia, tidak mungkin dia menaruh hati lebih dalam pada pria fiksi seperti Edward meski sekarang semua terlihat nyata. Namun Callista tidak tahu kedepannya akan bagaimana. Mereka sampai di sebuah tempat yang terlihat sangat indah. Yah, perkebunan teh milik keluarga Lukas. Callista segera turun dan berlari ke pinggiran bukit, melihat hamparan luas daun teh hijau di hadapannya. Dia merentangkan kedua tangannya dan menghirup aroma segar khas daerah perkebunan. "Aku sudah lama ingin pergi ke tempat seperti ini. Saat aku membaca n****+ mengenai tempat ini, aku selalu berhayal untuk bisa masuk ke dalamnya dan sekarang semua menjadi nyata. Aku sangat bahagia!" girang Callista, senyuman indah tak luntur dari bibir wanita itu. Edward ikut tersenyum, hatinya menghangat melihat keceriaan Callista. Selama hidupnya dia tidak pernah merasakan kedamaian seperti saat bersama Callista. Wanita ini benar-benar mengubah kehidupannya, Edward yang dulu dingin sekarang terlihat semakin hidup. "Ingin ke sana?" tanya Edward, menunjuk ke arah hamparan kebun teh di hadapannya. "Em, ayo!" Callista menarik lengan Edward dan mengajaknya berlari kecil menuju ke tengah perkebunan. Mereka tertawa bahagia dengan tangan saling tertaut. "Aku tidak akan melupakan kenangan ini selama hidupku!!" Teriak Callista, kelewat bahagia. Edward menghentikan langkahnya dan sontak hal itu membuat Callista ikut berhenti. "Ada apa?" "Apa kau tidak lelah, hm? Kita sudah sangat jauh dan kau masih saja mengajakku berlari. Aku heran dengan kekuatan kaki mu yang seperti kuda." "Kau! Beraninya mengataiku seperti kuda!" geram Callista memukul pundak Edward dengan sekuat tenaga. Edward hanya bisa tertawa sembari melindungi tubuhnya dari serangan Callista. "Haha .. hentikan, aku hanya bercanda." tawa Edward. Callista merengut kesal sembari bersedekap d**a. "Aku lelah, ingin istirahat." Edward menoleh ke segala arah dan tatapan matanya berhenti pada pondok kecil yang biasanya menjadi tempat peristirahatan para pekerja di kebun tersebut. Namun sekarang tidak ada karena belum saatnya panen. "Bagaimana kalau kita ke sana!" Callista menoleh ke arah yang ditunjukkan sang suami lalu mengangguk setuju dan berjalan terlebih dahulu ke tempat tersebut. "Kenapa sangat sepi? Tempat ini lebih luas daripada rumahku yang ada di dunia nyata." Kagum Callista, pasalnya pondok ini lebih mirip di sebut sebagai rumah mewah. Edward menggelengkan kepalanya dengan senyuman geli. "Bisa kau ceritakan bagaimana keluargamu?" Callista duduk di samping Edward, dia merebahkan kepalanya di pundak pria tersebut lagipula tidak ada larangan untuk dirinya berbuat seperti ini. "Aku hidup di keluarga yang sederhana. Ayahku hanya pekerja pabrik namun mereka sangat menyayangiku. Mereka kerja banting tulang hanya untuk membiayai sekolahku. Tapi aku selalu saja menghabiskan uang yang mereka berikan untuk membeli n****+. Bukankah aku sangat tidak berguna? Mungkin mereka sekarang sudah bahagia karena aku sudah tidak ada di rumah. Aku hanya bisa mengusahakan mereka saja." Sedih Callista. "Tidak ada orang tua yang membenci anaknya sendiri. Aku yakin mereka pasti mencarimu." Ucap Edward. Callista mengangguk pelan dia menatap wajah sang suami yang terlihat sangat tampan. "Tuan, bolehkah aku bertanya sesuatu padamu?" tanyanya, sembari meraba rahang tegas sang suami yang terasa sedikit menggelikan karena mulai tumbuh bulu-bulu halus. "Apa? Katakan?" "Apa kau mencintaiku?" Entah setan apa yang merasuki Callista hingga dirinya terlena dalam gelora asmara. Bahkan dirinya lupa jika harus menjauhi perkara perasaan cinta tersebut. Edward merendahkan wajahnya hingga hidungnya menyentuh hidung sang istri. "Jika aku mengatakan iya, apa kau akan membalas perasaanku?" bisiknya, hembusan napas hangat menyapu wajah Callista membuat wanita itu memejamkan mata. Menahan detak jantung yang rasanya sudah ingin keluar dari dalam tempatnya. "Bukankah tanpa berkata pun kau sudah tahu perasaanku?" balas Callista. Edward tersenyum lalu menyatukan bibir mereka, perlahan ia merebahkan tubuh sang istri dan dirinya berada di atas tubuh wanita tersebut tanpa memutuskan penyatuan bibir keduanya. Callista mendorong kecil tubuh Edward agar melepaskan pagutannya. Menatap dalam kedua iris coklat yang begitu tajam di atasnya. "Ijinkan aku mencintaimu, sebelum aku kembali ke dunia nyata. Aku ingin merasakan indahnya kisah cintaku bersamamu, walau hanya sesaat." "Sttt ... aku tidak ingin mendengar hal itu. Yang aku inginkan hanya Callista, istriku, belahan jiwaku, separuh hidupku, dan malaikat ku." Callista tersenyum menarik leher Edward untuk kembali menyatukan bibir mereka. Kedua tangan Callista tak ingin berhenti, masuk ke dalam jas yang di kenakan sang suami lalu perlahan melepaskan lain yang menutup tubuh atletis suaminya itu. Edward tak ingin kalah dia juga melakukan hal yang sama seperti apa yang dilakukan sang istri. Dalam posisi masih saling melumat kasar bibro keduanya. Diiringi deru napas yang semakin berat pertanda jika jiwa panas mereka sudah membara. "Panggil aku dengan sebutan Daddy, agar aku bisa membedakan mana kekasihku dan mana yang bukan." pinta Edward. Callista mengangguk dia mendekatkan bibirnya di samping telinga sang suami sembari berbisik menggoda. "Daddyhh ..." Lidah lembut Callista membelai daun telinga sang suami. Membuat tubuh pria itu semakin menegang. "Aku ingin memiliki keturunan dari mu, Baby." Callista tersenyum dan mengangguk pasrah. Tak peduli apa yang akan terjadi, baginya apa yang diinginkan suaminya adalah perintah. Siang itu menjadi saksi akan pergumulan manis antara Edward dan Callista. Tempat itu akan menjadi pengingat keduanya, jika mereka telah menciptakan cinta dua dunia yang berbeda. Callista membersihkan dirinya, menatap pantulan cermin yang ada di hadapannya. Dia tersenyum meraba area tubuhnya yang penuh dengan tanda merah. Ucapan Edward masih terngiang di dalam benaknya. "Dia ingin mempunyai anak denganku?" batinnya tersenyum, sembari meraba perut sexynya. Namun seketika pikiran absurd kembali menyapa benaknya. "Apa itu artinya aku akan mempunyai keturunan gepeng?" "Tidak! Aku tidak bisa!" teriak histeris Callista. Membuat Edward yang sedang sibuk dengan ponselnya terkejut, berlari menuju ke kamar mandi. "Ada apa, Baby?!" Callista keluar dari dalam kamar mandi dengan memakai piyama. Dia menatap takut ke arah sang suami. "Apa aku akan mengandung anak gepeng?" "Hah? Apa yang kau katakan?" Callista mengusap wajahnya kasar. "Jika kau saja pria gepeng, maka keturunanmu juga pasti gepeng." Edward menatap tubuhnya. "Apa aku harus gemuk? Agar kau tidak mengatakan jika aku gepeng?" Callista sulit menjelaskan dia menarik lengan sang suami mengajaknya duduk lalu dirinya pergi mengambil buku dan bolpoin. Edward hanya diam menatap apa yang akan istrinya itu lakukan. Callista menggambar sebuah cartoon berbentuk lelaki. Lalu menyobek kertas tersebut. Mengangkatnya di depan wajah Edward. "Kau adalah ini!" Edward mengambil kertas bergambar cartoon tersebut dari tangan Callista. "Aku?" "Iya. Kau adalah gambar fiksi yang ada di dalam buku. Dan aku sekarang terjebak di dalam buku itu bersamamu. Jika sampai aku mengandung bukankah aku akan mengandung anak fiksi juga?" Edward menggaruk kepalanya yang terasa berputar. Wanita ini terlalu pintar, hingga membuat otak Edward tidak bisa menjangkau. "Sekarang kau ada di duniaku, dan artinya kau berubah menjadi manusia gepeng seperti ku. Maka, jika kita mempunyai anak akan sama seperti keadaan kita saat ini." jelas Edward, meski rasanya ingin tertawa. Dia seakan sedang menghalu dan bercerita di depan anak kecil. "Benar juga, ya." Calista mengangguk yakin. Setelah perdebatan perkara manusia gepeng akhirnya mereka memutuskan untuk segera pulang. Di tengah perjalanan Callista tertidur karena kelelahan. Edward menatap sedih ke arah sang istri. "Apa jiwamu akan pergi, Baby?" batinnya tak rela. Dia ingin bersama dengan istrinya sepanjang waktu. Dia juga penasaran andai saja Callista itu nyata, bagaimana paras wanita itu? Apa dia sama persis dengan Felicia? Beberapa menit kemudian mereka sampai. Edward mengangkat tubuh sang istri membuat wanita itu terganggu dan bangun. Dia segera mendorong kasar tubuh Edward, lalu turun dari dalam mobil dan mendudukkan tubuhnya memberi hormat krbaeah Edward sebelum masuk ke dalam rumahnya. "Maafkan aku, Tuan. Aku bisa berjalan sendiri." ucap wanita itu, sudah dapat Edward tebak jika dia adalah Felicia.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD