13. Rencana jahat Elena.

1992 Words
Jam dinding baru menunjukkan pukul 03:00 pagi, tetapi Edward sudah bangun. Hanya karena terlalu bersemangat ingin melihat siapa yang akan muncul di diri sang istri. Kekuatan cinta mampu membuat seorang tuan muda Edward gila ternyata. Sesekali Edward melihat ke arah jam dinding, seakan jarum jam itu tak berputar sama sekali. Ck, lama sekali. Batin Edward, tak sabar ingin segera berkencan dengan sang istri tercintanya. Edward sampai ketiduran lagi karena bangun terlalu pagi, hingga tak melihat jika wanita di sampingnya sudah bangun. Wanita itu, Callista tersenyum cantik ke arah sang suami. Dia bahagia karena hadir kembali di tubuh Felicia. Apa karena wanita itu sedang bersedih? Hingga membuatnya tak ingin hadir di dalam tubuhnya. "Tuan, bangunlah." Callista berpura-pura menjadi Felicia. Dia ingin melihat raut wajah dingin suaminya ini. Seperti pertama kali dia hadir di sini. Edward terkejut dan menatap wajah Callista. Raut wajah pria itu mendadak datar saat melihat Callista tengah menunduk seperti apa yang Felicia lakukan jika bersama Edward. "Air hangat sudah siap, Tuan. Sudah waktunya Tuan mandi." Sungguh, Callista mati-matian menahan tawanya. "Hm." hanya gumaman yang keluar dari bilah bibir pria tersebut. Edward beranjak dari ranjangnya menuju ke kamar mandi. Callista penasaran, apa benar di saat dirinya tidak hadir di tubuh Felicia maka Edward tidak akan tergoda? Dengan cepat dia ikut masuk ke dalam kamar mandi. Sontak Edward yang tengah melepaskan bajunya terkejut dan langsung meraih handuk di sampingnya. Menutup separuh tubuhnya. "Apa yang kau lakukan?!" bentaknya. "Tuan, aku istrimu. Sudah waktunya aku memanjakan dirimu. Apa aku salah jika aku melakukan hal itu?" tanya Callista, dengan suara lembutnya. "Keluarlah. Aku tidak akan melakukan hal itu. Aku tahu jika kau sedang tidak baik-baik saja hingga kau melampiaskan padaku. Pergilah ..." Edward mendorong kecil tubuh Callista hingga wanita itu sedikit mundur. Callista tersenyum dalam hati dan langsung menubrukkan tubuhnya di tubuh Edward. "Tuan, aku akan melayani mu." Edward meronta dan melepaskan kasar tubuh wanita yang memeluknya. "Aku tidak akan melakukan apapun padamu. Pergi! Sebelum aku bersikap kasar." Edward terlihat menahan amarah. Callista tertawa terbahak-bahak. Dia sangat puas mengerjai sang suami. "Hahaha ... astaga, kenapa kau lucu sekali." tawa puas Callista. Edward mengernyitkan keningnya namun setelahnya berseringai, menarik pinggang sang istri hingga menempel dengan tubuhnya. "Sudah pandai berbohong, hm? Mau dapat hukuman?" bisik sensual Edward. Callista menelan ludahnya berat, jemari lentiknya meraba d**a bidang sang suami. Hingga menuruni perut sixpack nya. "Apapun hukuman yang akan kau berikan, aku akan menerimanya Tuan ..." Callista menggigit bibir bawahnya menggoda. "Jangan pernah memohon ampun, karena aku tidak akan mengampuni mu, Sayang." Edward melepaskan baju yang di kenakan sang istri. Mengangkat tubuh wanita itu dalam sekali hentak, menggendongnya ala bridal style. Lalu membawa nya ke dalam kolam yang berisikan air hangat di sana. "Edward menarik lembut dagu sang istri, menyatukan bibir mereka. Tangan besar Edward mengelus lekuk tubuh Callista hingga berhenti di area buah kembarnya. "Emh," Callista membuka bibirnya dan Edward tak menyia-nyiakan kesempatan tersebut. Dengan cepat dia melesatkan lidahnya mengajak sang istri bermain. "Aku tidak akan berhenti sebelum little Edward hadir di sini." Edward mengelus perut mulus sang istri. Callista mengangguk pasrah dengan tatapan sayu. . . . Elena merasa geram saat mengetahui jika menantu nya ketahuan selingkuh dan membuat putrinya menangis. Dia tidak tahu pasti namun dia sudah menduga jika wanita selingkuhan menantunya itu adalah Felicia. Tanpa mencari kebenaran terlebih dahulu dia merencanakan hal buruk untuk memberikan pelajaran pada Felicia. Felicia yang sedang merias diri di kamarnya di kejutkan dengan sosok pelayan yang tiba-tiba memberitahukan jika ada seseorang mencari dirinya. Tanpa merasa curiga Felicia yang memang kelewat polos akhirnya menemui sosok tersebut. "Dia ada di mana?" tanya Felicia, karena di luar rumahnya tidak ada siapapun. "Di luar gerbang, Nona." Sahut pelayan itu, mengantarkan Felicia sampai ke depan gerbang. Felicia merasa aneh karena tak ada siapapun di sana, ia membalik badan hendak bertanya pada pelayanan di belakangnya. "Tidak-- emmph!" Tiba-tiba saja pelayanan itu membekap mulut Felicia dan datang beberapa orang ikut menyergap wanita tersebut. Hingga beberapa saat kemudian Felicia merasa pening, tubuhnya terasa melayang dan terlempar entah dimana. Edward mendapatkan kabar dari pelayannya, dia memberitahukan jika Felicia tidak ada di rumah. Edward geram, dia tahu jika yang menempati tubuh istrinya saat ini adalah Felicia. Apa wanita itu menemui Edzard? Gumam Edward kesal. Tanpa membuang banyak waktu Edward langsung pergi ke tempat kerja adiknya. Tak butuh waktu lama Edward sampai di perusahaan sang adik, dia masuk ke dalam gedung tinggi itu dengan langkah tergesa. Brak! Edward mendobrak kasar pintu ruang pribadi Edzard, dia pikir Felicia ada di sana namun nyatanya tidak. "Ada apa?" Tanya Edzard dengan raut wajah bingung nya. "Di mana kau menyembunyikan istriku?!" bentak Edward. "Kak, aku memang mencintai Felicia tapi aku tidak akan melakukan hal bodoh itu. Aku tidak mungkin menyembunyikan istrimu." "Ck, jangan bertele-tele! Cepat katakan di mana Felicia?!" "Kakak bisa mencarinya sendiri jika tidak percaya." Edzard mempersilahkan sang kakak memeriksa ruang pribadinya. Edward segera memeriksa ruangan Edzard, namun ternyata tidak ada siapa-siapa di sana. Lalu dimana Felicia? "Sebenarnya apa yang terjadi pada Felicia?" Edzard terlihat khawatir. "Dia menghilang dari rumah." Jawab Edward, tidak ada waktu untuk bermusuhan dengan adiknya di saat seperti ini. "Kau sudah memeriksa cctv di rumahmu?" tanya Edzard. Edward menatap tajam ke arah sang adik. Kenapa dia tidak kepikiran hal itu? Panik membuat Edward mendadak bodoh. Edward langsung berlari keluar dari ruangan Edzard. "Aku ikut denganmu." Edzard berlari di belakang sang kakak. Dia benar-benar merasa khawatir pada wanita tercintanya itu. Edward tak menghiraukan ucapan sang adik yang ada di dalam otaknya saat ini hanyalah Felicia, ah lebih tepatnya Callista. Mereka berdua sampai di rumah dan langsung menuju ke ruangan rahasia, di mana tempat itu hanya ada orang kepercayaan Edward. Edward melirik tajam ke arah Edzard. Tanpa bicara pun Edzard sudah tahu jika kakaknya tak ingin dirinya ikut masuk. "Baiklah, aku akan menunggu di sini." lanjut Edzard. Edward pun masuk dan meninggalkan Edzard di ruang tamunya. Setengah jam lamanya akhirnya Edward keluar dari dalam ruangan tersebut. Dari raut wajah sedihnya sudah tertebak jika pria itu tidak menemukan petunjuk apapun. "Bagaimana?" Tanya Edzard. "Tidak ada, rekaman hari ini tiba-tiba lenyap. Aku yakin jika ada orang dalam ikut dalam rencana ini." Edzard meraup wajahnya frimustasi, dia teringat sesuatu. "Kak, sepertinya aku tahu siapa pelakunya." "Siapa? Cepat katakan!" Tak sabaran Edward. "Ikut denganku!" Edzard berlari keluar dan menuju ke mobilnya terparkir. Edward tak mengerti apa yang dimaksud adiknya, tak ada salahnya jika dia mengikuti pria itu untuk kali ini. Edward tahu jika Edzard sangat mencintai Felicia, tak mungkin dia mempermainkan dirinya. Edzard memberhentikan mobilnya di depan rumahnya namun dia meminta Edward untuk tetap di dalam mobil sedang dirinya masuk ke dalam rumah entah apa yang akan pria itu lakukan. Beberapa menit kemudian Edzard kembali ke dalam mobilnya. "Sesuai dugaan ku. Pasti ibu mertua ku yang melakukan ini." Ucap Edzard kembali melajukan mobilnya. "Kita mau kemana?" Tanya Edward. "Ke suatu tempat, aku yakin dia pasti ada di sana." . . . "Lepaskan aku!" Teriak Felicia berusaha memberontak dan melepas ikatan tangan dan kakinya. Dia tidak tahu apa yang terjadi hingga dirinya tiba-tiba sampai di tempat aneh seperti ini. Seingatnya dia bersama seorang pelayan dan berkahir ada yang membekapnya setelah itu dia tidak tahu apa yang terjadi. Samar-samar Felicia mendengar suara langkah kaki mendekat ke arahnya. Perlahan cahaya terang mulai masuk, menusuk kedua Indra penglihatannya. Satu sosok yang Felicia kenal. "Mama?" "Ck, kau sudah bangun ternyata." Kekehnya. "Apa yang Mama lakukan padaku?" tanya Felicia. PLAKK!! Sosok wanita yang tak lain adalah Elena itu menampar wajah Felicia dengan sekuat tenaga. Hingga membuat wanita itu tersungkur di atas lantai yang begitu kotor. "Kau masih bertanya?! Apa kau tidak merasa bersalah sedikitpun setelah merebut suami adikmu sendiri, hah?!" Felicia menggeleng cepat dia benar-benar tidak tahu apa yang dituduhkan ibunya ini. "Aku tidak. Aku tidak melakukan itu." tangis Felicia. "Kau dan ibu kandung mu sama saja! Sama-sama w************n!" teriak Elena, sembari menjambak rambut Felicia kasar. Felicia hanya bisa menangis dengan wajah penuh luka lebab. Sepertinya dia sudah disiksa sebelum sadar. "Jangan menghina ibuku!" Bentak Felicia, tak apa jika dirinya dihina sampai titik terendah, namun jika sudah menyangkut tentang mendiang sang ibu rasanya Felicia tidak lagi bisa menahan diri. "Berani melawan, eh?" Duag!! Bug! Elena menendang kasar tubuh Felicia. Hingga membentur benda rusak di sekitarnya. Felicia benar-benar tidak kuat dengan rasa sakit di sekujur tubuhnya. Ingin rasanya Felicia pergi menyusul ibunya di surga. "Beri pelajaran padanya!" Perintah Elena ada sosok wanita yang ternyata itu adalah pelayan di rumah Edward. Jadi wanita ini sengaja masuk dalam lingkup keluarga Edward hanya untuk mengetahui seluk beluk rumah itu, lalu melancarkan aksinya bersama Elena. Felicia tak mampu berkata-kata, kesadarannya sudah diambang batas. Berkali-kali wanita itu menginjak tubuhnya, menendang perutnya, hingga Felicia muntah darah. BRAKK! "Hentikan!" teriak sosok pria yang tak lain dalam Edward dan Edzard. Edzard sudah meringkus ibu mertuanya dan kini dia mencekal wanita yang menyiksa Felicia. Sedang Edward menolong istrinya yang sudah tak sadarkan diri. "Edward, ku harap kau memberikan hukuman setimpal pada mereka berdua." Geram Edward. Edzard mengangguk baginya siapapun yang menyakiti Felicia akan menjadi musuhnya juga. "Edzard, aku ibumu! Bagaimana bisa kau memberikan hukuman padaku, hah?!" Teriak Elena tak terima. "Lalu aku harus peduli padamu begitu? Ck, kau tak ada gunanya bagiku, wanita tua." Edzard tertawa nista. Tak peduli dengan tangisan dan emosi wanita di hadapannya. Edzard segera menghubungi pihak berwajib dan menyerahkan mereka berdua. Edward begitu panik melihat tubuh mengenaskan sang istri. Dia mengemudikan mobilnya dengan kecepatan tinggi, berharap akan segera sampai ke rumah sakit. "Cepat tolong istriku!!" Teriak Edward sembari membopong tubuh sang istri. Para dokter dan oerawayoun segera menghampiri Edward dan menolong Felicia. Edward tak menangis, namun tatapan mata tajam itu tak bisa berbohong. Ada ketakutan yang begitu mendalam di dalam nya. Edward hanya bisa berdoa di depan ruang rawat sang istri. Berharap jika wanita itu baik-baik saja, baru beberapa bulan dia merasakan kehidupan yang sesungguhnya dan sekarang Tuhan sudah mengujinya dengan keadaan Felicia yang seperti demikian. Tak berapa lama dokter keluar dari ruangan tersebut, berlari tergesa-gesa menuju ke arah Edward. "Pasien kehilangan banyak darah. Apa ada dari keluarga pasien yang mempunyai golongan darah A?" tanya dokter tersebut. "Ambil darahku saja, Dok!" Kebetulan darah Edward sama dengan golongan darah Felicia. Tanpa menunggu lama Edward segera dibawa masuk ke dalam ruangan Felicia, Edward menatap sedih wajah sang istri yang kini nampak begitu pucat di ranjang sebelahnya. 'Tuhan .. berilah kesempatan untuk ku dan Callista untuk merasakan kebahagiaan.' doa Edward dalam hati. Edward diminta istirahat di ruang sebelah paska mendonorkan darahnya untuk Felicia. Tak berapa lama dokter datang memeriksa keadaan nya. "Apa Tuan sudah jauh lebih baik?" "Hm." gumam Edward terlampau dingin. "Apa istriku baik-baik saja?" Lanjut Edward. "Iya, istri anda sudah melewati masa kritisnya. Dan sekarang sudah dalam keadaan jauh lebih baik. Anda bisa menjenguknya." ujar sang dokter. Edward mengangguk dan langsung beranjak menuju ke ruang rawat sang istri. Edward terdiam di ambang pintu saat melihat Edzard sudah ada di dalam sana. Bahkan dia terlihat tengah memeluk tubuh Felicia. Edward tidak bisa egois karena memang Felicia dan Callista memang dua orang yang berbeda yang sayangnya menempati satu tubuh. "Sayang, maafkan aku. Maafkan aku." Edward terdengar menangis lirih. Felicia hanya bisa terisak, melawan rasa sakit di dalam dadanya. Bayangan penghianatan Edzard masih terekam jelas di dalam kepalanya. Dia tidak bisa memaafkan pria itu. "Pergilah, jangan temui aku lagi." lirih Felicia tanpa bisa menggerakkan badannya. Dia baru saja bangun dari ketidak sadarannya. "Tidak, aku tidak akan pergi sebelum kau memaafkan aku." "Pergi .. hik .. pergi." Felicia semakin terisak. "Edzard, apa kau tidak mendengar ucapan Felicia?" Edward menatap datar sosok sang adik. Dia benci keegoisan pria di depannya ini. "Dia istriku jika kau lupa." Edzard berdecak seraya merepalkan kedua tangannya erat. Lalu dia pergi dari sana, menabrak bahu sang kakak dengan kasar. Edward mengibaskan tangannya di bahu yang baru saja ditabrak adiknya. Seakan tengah membersihkan debu. "Apa kau butuh sesuatu?" tanya Edward. "Tidak, aku hanya ingin sendiri, Tuan." pinta Felicia. "Jika kau butuh sesuatu, panggil aku. Aku akan menunggumu di luar." ucap Edward. Dia baru saja membalik badan namun Felicia memanggilnya. Hingga membuat Edward berhenti dari langkahnya. "Tuan, tetaplah di sini."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD