Edward membalikkan badannya, menatap aneh ke arah Felicia di belakangnya.
"Aku ingin kau tetap di sini." Felicia berucap lirih.
Edward mengangguk bagaimana pun Felicia adalah Callista dalam jiwa yang berbeda. Felicia menarik kecil lengan Edward agar duduk di sebelahnya lalu wanita itu menyenderkan kepalanya di paha pria tersebut. Membuat Edward tertegun dan merasa tak enak. Dia tidak nyaman melakukan hal ini dengan Felicia rasanya seperti tengah berselingkuh dari Callista.
"Maafkan aku. Aku ... aku telah salah memilihmu." Felicia berucap.
"Apa maksudmu?" tanya Edward.
"Tuan, bisakah kita memulai kehidupan baru? Aku ingin menjadi istrimu seutuhnya."
Edward reflek mendorong kecil kepala Felicia dan berdiri sembari menatap tajam wanita di hadapannya. "Maafkan aku, aku tidak bisa melakukan semua itu." Edward pergi meninggalkan Felicia yang kini menatap sayu ke arahnya.
Felicia mencengkram erat selimut tebal yang ada di bawahnya. "Bagaimana pun caranya aku akan mendekati Edward, untuk mendapatkan apa yang Edzard mau." Entah mantra apa yang Edzard berikan pada Felicia hingga wanita itu mampu kembali bertekuk lutut di hadapannya.
Edzard yang sedari tadi mengintip percakapan Edward dengan Felicia tersenyum puas. Dia menatap benda di tangan kanannya dan kenyamanan mengangguk lalu pergi meninggalkan tempat tersebut sebelum ada yang mengetahui keberadaannya.
Edzard menuju ke suatu tempat, sebuah kuil tua yang terlihat begitu sepi. Sepertinya tempat itu jarang di jamah manusia. Edward mendudukkan tubuhnya sembari memejamkan kedua mata, dia mengecup benda yang ada di tangan kanannya. Benda berbentuk permata hitam yang ia dapat dari seorang wanita tua yang entah siapa. Saat itu Edzard tengah berjalan tergesa menuju ke rumah sakit namun tanpa di duga ada seorang nenek tua datang menghampirinya dan memberikan benda itu kepadanya. Nenek itu bilang jika Edzard bisa menaklukkan siapa saja dengan menggunakan permata hitam tersebut.
Tak lama terhembus angin yang cukup kencang, membuat Edzard membuka kedua matanya. Sontak tatapan pria itu berubah, bola matanya berwarna hitam pekat dengan urat hitam menjalar di bagian lehernya. Dia tertawa mengerikan sembari menatap nyalang sosok hitam di hadapannya.
"Hancurkan keluarga Lukas, dan jangan biarkan gadis asing itu pergi." geram sosok hitam yang tak tak jelas bentuknya itu. Edzard mengangguk patuh dan kemudian berdiri, menundukkan kepalanya memberi hormat lalu kembali pergi meninggalkan tempat aneh tersebut. Edzard masuk ke dalam mobilnya sontak tubuhnya tersentak dan ia seperti pria ling-lung kebingungan. "Aku ada di mana? Kenapa aku ada di sini?" batinnya. Ia menunduk melihat permata hitam yang ada di tangan kanannya, lantas senyuman jahat tergambar di bilah bibir pria tersebut. Dia sangat senang mendapat benda aneh itu, karena bisa menaklukkan Felicia sesuai keinginannya untuk mencapai tahta tertinggi yaitu menjadi pemimpin kekayaan keluarga Lukas.
Siang itu Edward kembali menemui Felicia, dia berharap Callista sudah menggantikan tubuh wanita tersebut. Dan sesuai dugaan Edward, dia baru saya datang dan sudah disambut dengan senyuman lebar istri cantiknya.
"Sayang!" Callista merentangkan kedua tangannya dan Edward langsung berjalan mendekat lalu memeluk lembut tubuh istri tercintanya. Dia sangat merindukan Callista, kenapa wanita itu sangat lama pergi dari tubuh Felicia?
"Aku sangat merindukanmu, kenapa kau membuatku khawatir?" Edward tanpa sadar menitikkan air matanya. Callista mengerjapkan matanya pelan, merasakan basah di area tubuhnya. Dia mendorong lembut tubuh sang suami agar sedikit menjauh, dia ingin melihat apakah pria itu menangis?
"Jangan, biarkan seperti ini. Aku tidak ingin kau melihatnya." Isak Edward.
Callista tersenyum dan menepuk punggung sang suami. "Sayang, aku adalah istrimu. Berbagilah kesedihan denganku, jangan menyiksa dirimu sendiri."
Edward melepaskan pelukan sang istri menunduk malu karena kedua matanya sembab penuh dengan air mata. Callista mengangkat dagu sang suami lalu tersenyum. Mengusap lembut air mata berharga suami nya dengan jemari lentiknya. Lalu mengecup lembut kedua mata basah sang suami, menyalurkan rasa cintanya pada pria tersebut.
"Aku mencintaimu. Aku takut kehilanganmu, aku belum siap." Edward semakin terisak, Callista hanya tidak muncul beberapa hari dan dirinya sudah sangat tersiksa. Bagaimana jika Callista benar-benar pergi untuk selamanya? Edward tak sanggup membayangkan semua itu.
"Aku tahu." Hanya dua kata yang terucap dari bibir Callista. Karena memang dirinya tak bisa menjanjikan apapun untuk pria nya ini. Callista hanya menjalankan tugasnya.
"Sayang, apa kau sudah makan?" Tanya Edward, tak ingin berlanjut dengan momen menyedihkan ini. Dia segera mengusap kasar air matanya dan menampilkan senyuman terbaiknya. Edward tidak ingin Callista ikut bersedih.
"Belum ..." Callista cemberut, dan itu terlihat sangat lucu di mata Edward.
"Baiklah, aku sudah membelikan makan kesukaanmu." Edward meraih kantong plastik berisikan ayam goreng yang baru saja dia beli lalu membukanya dan memberikan makanan tersebut untuk Callista.
Callista berbinar dan langsung memakan lahap ayam goreng kesukaannya tersebut. Namun baru tiga suap saja Callista menghentikan acara makannya dan membekap mulutnya erat, dia tak tahan untuk tidak memuntahkan isi perutnya. Karena tidak mungkin pergi ke kamar mandi dalam waktu cepat, Callista meraih kantung plastik bungkus kotak makanan tadi dan langsung memuntahkan isi perutnya.
Edward terkejut dan begitu panik. Ia berpikir jika penjual ayam goreng tersebut memasukkan racun ke dalam makanan istrinya.
Dengan cepat Edward memanggil dokter, lalu dirinya segera menghubungi anak buahnya untuk menangkap penjual ayam goreng itu.
Selepas pemeriksaan Edward kembali masuk ke ruang rawat Calista. Namun ada yang aneh dengan wanita itu, dia nampak terlihat bahagia. Dan hal itu membuat Edward tertanya-tanya.
"Baby, apa yang terjadi?" Edward mendekatkan dirinya ke arah sang istri. Callista tersenyum lebar sembari menoleh ke arah sang dokter yang masih berdiri di sampingnya.
Edward menoleh meminta penjelasan pada dokter tersebut. "Apa yang terjadi pada istriku?" tanyanya.
"Selamat Tuan, sebentar lagi Anda akan menjadi seorang ayah."
Edward membuka mulutnya lebar. "A-apa itu benar?" Tanyanya tak percaya, dia takut jika salah pendengaran.
Dokter tersebut mengangguk dan memberitahukan pada Edward, apa saja yang harus Edward lakukan untuk menjaga kesehatan sang istri dan juga calon anaknya setelah itu dia pergi meninggalkan sepasang suami-istri tersebut untuk melanjutkan acara bahagia mereka.
"Astaga! Aku harus menghubungi anak buahku dulu, Baby." Edward menyadari kesalahannya. Jangan sampai restoran ayam goreng itu tutup karena ulahnya yang terlalu khawatir pada sang istri berhujung menyalahkan semua orang.
"Ada apa? Apa yang terjadi?" Tanya Callista bingung.
Edward tak menjawab dia langsung menghubungi anak buahnya dan segera memberitahukan pada nya untuk membebaskan penjual ayam tersebut dan memberikan ganti rugi yang setimpal.
Setelah selesai dengan urusannya, Edward kembali mendekat ke arah sang istri.
"Ada apa? Kenapa kau kelihatan panik?" Tanya Callista.
"Tadi aku ..--" Edward menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Dia malu untuk menjelaskan semuanya.
Callista membolakan matanya lebar saat Edward mengatakan jika dirinya telah melakukan hal yang sangat tidak masuk akal.
PLAKK!!
"Dasar! Sampai kapan kau akan berpikiran buruk pada orang lain, hah?!" Callista dengan entengnya memukul kepala sang suami. Membuat Edward melongo dibuatnya. Ini kali pertama ada seseorang yang berani menyentuh kepalanya. Untung saja yang melakukan itu adalah orang yang paling ia cintai, jika bukan mungkin Edward sudah memotong tangan sosok tersebut.
"Apa yang salah?! Aku melakukan semua ini untukmu. Karena aku tidak akan membiarkan siapapun berbuat jahat kepadamu." Omel Edward.
Callista tersenyum malu, biar bagaimanapun suaminya ini tidak sepenuhnya salah. Dia hanya sangat khawatir padanya. "Maafkan aku, tapi lain kali jangan lakukan ini lagi." Callista memeluk tubuh sang suami.
Edward tersenyum hangat, dia sangat suka dengan sikap manja Callista. Dadanya terasa menghangat, ditambah sebentar lagi dirinya akan memiliki penerus.
"Terima kasih, Baby." Ucap Edward tulus.
Callista mengangguk namun setelahnya dia mengingat sesuatu. "Sayang."
"Eum?" Edward menunduk menatap wajah sang istri yang kini mendongak menatap wajahnya.
"Ada satu yang aku khawatirkan. Felicia, apa dia akan menerima semuanya?" tanya Callista, tak apa jika Felicia membenci dirinya namun untuk anak yang ada di dalam kandungannya, dia tidak akan mungkin membiarkan wanita itu menyakitinya. Mengingat Felicia sangat membenci Edward, tak mungkin dia menerima anak yang ada di dalam kandungannya ini.
Edward terdiam, tatapan mata datarnya kembali muncul. "Aku akan menjagamu dan juga anak kita, Baby." mantap Edward.
Callista hanya mengangguk paham. Dan kembali mengeratkan pelukannya di tubuh sang suami.
Di sisi lain Edzard tengah mengamuk di dalam ruang pribadinya. Dia marah besar karena mendengar kabar mengenai kehamilan Felicia. Dia geram pada wanita tersebut, bagaimana bisa Felicia mengandung anak kakaknya? Tidak, ini tidak boleh dibiarkan. Jika anak itu dibiarkan lahir, maka kemungkinan Edzard untuk menguasai kekayaan Lukas akan semakin berat.
"Aku harus melakukan sesuatu." Edzard menyunggingkan senyum jahatnya, dan mengambil benda keramat yang dimilikinya.
Di saat Edward tidak menemani Callista, di saat itu pula Edzard menyempatkan diri untuk menemui wanita tersebut.
Callista tengah sibuk bermain ponselnya, tiba-tiba saja ada seseorang membuka pintu ruangannya. Tanpa melihat, Callista menduga jika sosok tersebut adalah suaminya dengan santai Callista berkata. "Kau sudah datang?"
Edzard tersenyum karena merasa kedatangannya disambut dengan lembut oleh sang pujaan. Dengan percaya diri Edzard berjalan cepat dan memeluk tubuh sang kekasih.
"Kau merindukanku? Sudah ku duga."
Callista membelalak lebar saat tahu jika sosok yang memeluknya bukanlah suaminya. "Lepaskan." Callista mendorong kasar tubuh Edzard hingga membuatnya pria itu mundur beberapa langkah. "Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Callista, dia berusaha menetralkan emosi. Karena ingin tahu apa maksud kedatangan pria di dekatnya ini. "Maaf, aku hanya terkejut." Lanjut Callista.
Edzard mengangguk sembari menggigit bibir bawahnya, menahan amarah. Tanpa sepengetahuan Callista, Edzard mengambil batu permata hitam yang ada di dalam sakunya dan mengelusnya beberapa kali lalu mulai mendekati Callista.
"Felicia, kau mendengar perintahku?" bisik Edzard lirih di samping telinga Callista.
Callista mengerutkan keningnya, merasa jika Edzard benar-benar gila. Namun Callista hanya diam, tanpa menyahut ucapan pria di sampingnya ini. Dia ingin mendengar kelanjutan ucapan pria tersebut.
"Bunuh anak yang ada di dalam kandungan mu!" Perintah Edzard.
Tentunya Callista sangat kaget dengan ucapan Edzard. Dia meremat erat seprey yang ada di bawahnya. Ingin sekali dia memukul wajah pria di sebelahnya ini. Callista berusaha menahan emosi karena melawan pun akan percuma, tubuhnya sangatlah lemah. Dia hanya berharap jika Edward cepat datang menolongnya.
"Apa kau mendengar perintahku, manis?" Edzard mengelus pipi Callista dengan punggung telapak tangannya.
"Apa yang kau lakukan dengan istriku?" Suara rendah seorang pria mengagetkan atensi Edzard. Dia segera berdiri dan menatap syok ke arah sosok pria yang tak lain adalah kakaknya.
Hah! Callista membuang napasnya lega saat melihat sang suami datang. Dalam hati dia berucap syukur karena Tuhan mendengar suaranya.
"Maafkan aku." Hanya itu yang bisa Edzard katakan.
"Pergilah! Sebelum aku berubah pikiran." Datar Edward, berjalan menghampiri sang istri, mengusap wajah berkeringat wanita kesayangannya itu.
Edzard mremat genggaman tangannya lalu pergi meninggalkan tempat tersebut. Sedikit merasa aneh dengan reaksi Felicia yang tak mau menurut ucapannya. Felicia tidak menjawab namun dari wajah wanita itu dia bisa melihat jika Felicia menolak perintahnya.
Edward menarik lembut dagu sang istri yang sedikit bergetar. "Katakan padaku, apa yang Edzard lakukan di sini?"
Callista mencebikkan bibirnya siap menangis, dengan sigap Edward menarik tubuhnya dan memeluknya erat. Berusaha membuat sang istri tenang, dia tahu jika Callista sedikit terguncang entah apa yang adiknya itu lakukan.
"Aku takut, lindungi aku." isak lirih Callista.
"Takut kenapa, hm?"
"Edzard, dia memintaku untuk membunuh anak kita."
Edward mengeraskan rahangnya, tak apa jika Edzard membenci dirinya namun jika mengancam kehidupan anak dan istrinya, Edward tak bisa berdiam diri. Dia harus membuat perhitungan dengan adiknya. Ini sudah sangat keterlaluan, menyangkut antara hidup dan mati istrinya. Beruntung yang menempati tubuh istrinya adalah Callista, jika saat itu Felicia mungkin wanita itu akan menuruti kemauan pria sialan itu.
"Aku akan membuat perhitungan dengannya." Geram Edward.
"Jangan, aku takut dia akan semakin berani berbuat nekad saat aku tidak menempati tubuh Felicia."
Edward mengatubkan bibirnya rapat, menahan emosi yang begitu membuncah di dalam hatinya. Dia tidak boleh gegabah dalam hal ini, karena menyangkut kehidupqn calon anak dan istrinya. Dia harus bermain cantik di sini, Edward harus mencari kelemahan Edzard jika ingin menghancurkan pria tersebut.
.
.
Edzard membuka matanya lebar saat tengah malam. Dirinya baru saja terlelap dan tiba-tiba aura hitam datang menguasai tubuhnya. Dia mendudukkan tubuhnya dengan bola mata berubah hitam kembali.
"Argghh!!" Teriak Edzard, dia menatap nyalang cermin di hadapannya yang perlahan mengeluarkan asap hitam pekat.
"Kau sudah menemukan wanita itu."
"Sudah, Tuan. Dia sangat kuat."
"Bunuh dia!" suara sosok hitam itu terdengar menggelegar. Dia mengibaskan tangan nya sontak membuat tubuh Edzard terpental membentur dinding di belakangnya. Lalu tak sadarkan diri. Dalam sekejap semua berubah seperti semula, berbeda dengan tubuh Edzard yang masih tergeletak mengenaskan di sana.
Pagi menjelang, Edzard terbangun dari mimpinya. Dia merasakan ada yang aneh dengan keadaan tubuhnya yang terasa sangat remuk. Kenapa dia bisa tertidur di lantai dan akh--
Edzard tak dapat menggerakkan tubuhnya, rasanya ada yang salah dengan dirinya semalam. Terpaksa Edzard menghubungi dokter pribadinya saat itu juga.
Tak lama Elois masuk ke dalam kamar sang suami, mereka memang tidur terpisah. Wanita itu begitu syok saat melihat tubuh Edzard tergeletak tak berdaya di lantai dengan cepat ia membantu suaminya bangun.
"Pelan! Sialan!" Teriak Edzard.
"Ma-maafkan aku, sebenarnya apa yang terjadi?" tanya Elois dengan ketakutan.
"Jangan banyak bicara! Aku sendiri juga tidak tahu apa yang terjadi!" marah Edzard, entahlah dia sangat membenci wanita yang menyandang sebagai istrinya ini.