15. Sosok misterius.

1054 Words
Elois hanya bisa menahan air matanya demi pria yang dia cintai. Meski Edzard selalu menolak kehadirannya namun Elois tetap bersabar menghadapi suaminya tersebut. "Tunggu sebentar, aku akan menghubungi dokter." ujar Elois, menghapus air matanya kasar. "Ck, b******k! Apa yang terjadi padaku?" geram Edzard, merasakan tubuhnya begitu remuk tak berbentuk. Dia mencoba mengingat apa yang terjadi semalam, dan sayangnya dia tidak mengingat apapun. Edward mendatangi kediaman sang adik, dia ingin membuat perhitungan dengan pria itu. BRAKK!! "Kakak? Ada apa?" Elois yang saat itu tengah disibukkan dengan pekerjaan dapur tiba-tiba saja terkejut dengan kedatangan Edward yang terbilang tidak sopan. Tak biasanya pria itu bersikap demikian, kecuali jika dia tengah emosi. "Dimana Edzard?!" Bentaknya, membuat Elois melonjak kaget. "Di-dia sedang sakit." ucap Elois terbata-bata. Tanpa mendengar penjelasan Elois, Edward mengambil langkah lebar menuju ke kamar Edzard. Elois mengikuti langkah pria tersebut bermaksud mencegah pria itu agar tidak mengganggunya suaminya namun semuanya terlambat. Edward sudah terlebih dahulu masuk ke dalam kamar Edzard. Edzard mengangkat kepalanya, merasakan pening yang luar biasa. Dia kesulitan menggerakkan tubuhnya. "Ada apa kau datang kemari?" tanya Edzard. Edward sedikit bingung dengan keadaan Edzard yang terlihat begitu lemah. Ada apa dengan pria itu? Sepertinya ada yang tidak beres di sini. Batin Edward, dia ingin menghajar Edzard namun melihat keadaan sang adik yang seperti ini membuat Edward mengurungkan niatnya. "Apa yang terjadi padamu?" Tanya Edward dengan nada datarnya. "Aku juga tidak tahu." jujur Edzard. Edward memukul udar kosong dan pergi meninggalkan tempat tersebut, berada di sini hanya akan menambah tingkat kemarahannya semakin membuncah. Edward memutuskan untuk kembali mengunjungi sang istri, hari ini Edward meminta dokter untuk mengijinkan Callista rawat jalan. Dan merawat istrinya itu di rumah, Edward sudah mempersiapkan semua perawatan ala rumah sakit di kediamannya. Callista merasa terharu mendapat perlakuan bak seorang ratu dari suaminya. Dia bahagia memiliki pria seperti Edward, jika boleh meminta, Callista tidak ingin berganti jiwa dengan Felicia. "Sekarang pria itu tidak akan bisa menggangu mu lagi." bisik Edward sembari memberikan kecupan kecil di pipi sang istri. "Tetap saja aku khawatir. Bagaimana jika Felicia menuruti keinginan Edzard?" "Aku akan memastikan jika hal itu tidak akan terjadi, Sayang. Jangan memikirkan hal itu lagi, ok. Yang perlu kau lakukan sekarang hanyalah menjaga kesehatan dan calon anak kita di sini." Edward mengelus perut datar sang istri. Callista tersenyum manis dan mengangguk patuh. Edward teringat sesuatu, sedari tadi dia ingin menanyakan hal yang berkecamuk di dalam otaknya pada Callista. "Baby, tadi aku baru saja ke tempat tinggal Edzard. Aku ingin memberikan pelajaran padanya namun ada yang aneh. Sekarang dia sakit, seperti habis dihajar seseorang." Callista mendengarkan ucapan sang suami baik-baik. Dia memikirkan alur di dalam n****+ yang samar-samar masih dia ingat. Apa yang terjadi pada Edzard? Callista hampir lupa jalan cerita di dalam buku itu? Semuanya nyaris berbeda sejak dirinya hadir di sini. Andai saja Callista bisa bertemu dengan kakek misterius itu lagi, mungkin dia bisa bertanya padanya. "Baby, apa kau tahu sesuatu?" Tanya Edward. Callista tersentak dari lamunannya dan menoleh ke arah sang suami. "Aku tidak mengingat apapun, namun satu hal yang aku tahu. Berhati-hatilah dengan Edzard, sepertinya ada yang aneh di sini. Aku merasa ada aura hitam yang mendekati keluarga mu." tutur Callista dengan raut wajah gelisahnya. Edward mengangguk dan memeluk tubuh sang istri, bohong jika dirinya tak takut akan keanehan beberapa hari ini. Rasanya Edward tidak ingin meninggalkan Callista sendirian. Malam menjelang, Edzard kembali membuka kedua matanya seperti malam sebelumnya, kedua iris pria itu berubah menjadi hitam kelam. Dia mendudukkan tubuhnya cepat seiring dengan datangnya hembusan angin kencang. Elois yang menemani Edzard di sana terbangun, sontak ia membelalakkan matanya lebar-lebar saat melihat perubahan kedua bola mata sang suami. "Si-siapa kau?" Tanya Elois terbata, dia ingin berlari namun tubuhnya terasa kaku. Seakan kedua kakinya terpaku pada lantai di bawahnya. Dia tidak bisa bergerak, hanya bibir dan matanya saja yang masih berfungsi. Edzard bergerak cepat bagaikan kilat, dalam hitungan detik wajah Edzard sudah ada di depan wajah Elois. Membuat wanita itu bergetar dan memejamkan matanya erat. Siapapun tolong, jangan sampai dia mati ditangan sosok yang merasuki tubuh suaminya. Edzard meraih pipi merah Elois, mengelusnya dengan ujung jarinya sembari terkekeh mengerikan. "Kau cantik, tapi aku tidak menginginkan wanita seperti mu." "Tolong, jangan sakiti aku." Mohon Elois dengan suara bergetar nya. "Turuti perintahku." Bisikan Edzard bagaikan mantra hipnotis di pendengaran Elois, seketika tatapan mata wanita itu berubah kosong. Hanya menatap datar sang suami di hadapannya. "Bunuh Felicia." Elois hanya mengangguk patuh tanpa bersuara. Otaknya hanya dipenuhi dengan suara perintah dari sosok di hadapannya. Perlahan Elois membalik badan dan pergi meninggalkan tempat tersebut. Tengah malam dia berjalan menuju ke ruang makan Felicia. Dia melihat ke sekeliling, banyak pengawal berjaga di luar pintu. Elois meniup udara seperti meniup sebuah lilin. Seketika hembusan angin lembut menyapa para pelayan di sana. Membuat mereka di landa ngantuk berat. Dalam hitungan detik semua terlelap. Elois kembali melanjutkan langkahnya dengan tatapan datar, menuju ke ruang dimana para perawat Felicia berada. Di sana semua sudah tidur,. Elois segera menuju ke arah nakas di mana obat-obatan untuk Felicia disiapkan untuk besok. Elois mengambil sebuah bungkusan dari dalam kantung bajunya, menggenggamnya pelan dan dalam sekejap mata benda itu berubah menjadi obat yang sangat mirip dengan obat yang ada di dalam mangkuk kecil di hadapannya. Elois langsung mengganti obat tersebut lalu pergi dari sana. Di tengah perjalanan tubuh Elois terhempas dan jatuh begitu saja. Seperti ada sosok lain yang keluar dari dalam tubuhnya. Elois mengerjapkan matanya beberapa kali melihat ke sekeliling. "Kenapa aku ada di sini?" batinnya, seingat Elois tadi dia ada di dalam kamar sang suami. Minus dengan apa yang terjadi, Elois sama sekali tidak dapat mengingatnya. Selepas kepergian Elois, salah satu pelayan bangun. Dia melihat apa yang dilakukan Elois di sana namun dia pura-pura tidur. Dan sekarang perwat itu memeriksa obat yang sudah dia siapkan untuk sang nona. "Tidak ada yang berubah, apa yang nona Elois lakukan di sini?" batin perawat itu, menghedikan bahunya acuh. Lalu kembali melanjutkan tidurnya. Keesokan paginya, Callista terbangun dari tidurnya. Dia tersenyum melihat sang suami masih terlelap padahal jam dinding sudah menunjukkan pukul delapan pagi. "Sampai kapan kau akan mengagumi wajah tampan suamimu ini, hm?" ucap Edward masih dalam keadaan memejamkan mata. Callista mengedarkan pandangannya, dia sangat malu ketahuan oleh sang suami. "Dasar, jangan percaya diri berlebihan." kekeh Callista. "Aku memang tampan, tidak ada bantahan." "Iya, iya. Suamiku memang yang paling tampan." senyum Callista, memberikan kecupan lembut di bibir sang suami.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD