08. Hampir saja meregang nyawa.

1810 Words
Hari ini Edward tengah menemui rekan bisnisnya. Hingga meluangkan waktu untuk eloisa datang ke tempat Felicia. Felicia yang tengah menikmati hari bermalas-malasan nya di dekat danau bersama Lily sontak terkejut dengan kedatangan kakak tirinya. Felicia, lebih tepatnya Callista yang sekarang ada di tubuh gadis tersebut. Menoleh malas ke arah wanita cantik yang kini mendekat ke arahnya. "Siapa dia? Aku sedikit lupa." tanya Callista pada pelayanan pribadinya. "Nona Elois," bisik Lily. Callista hanya mengangguk sembari bersedekap d**a sombong. Menatap angkuh wanita yang kini mendekat ke arahnya dia sudah siap jika wanita itu akan berbuat macam-macam kepadanya. "Ck, kemarin orang tuamu sekarang kau sendiri yang datang. Ada apa lagi, hah?!" ketus Callista. "Oh, menikah dengan Tuan Edward beberapa hari saja sudah membuatmu berani melawan Kakak mu sendiri." cibir Elois. "Ck, Kakak macam apa tidak punya akhlak begitu." gumam Callista. "Jangan ganggu suamiku." To the poin Elois. Callista merolling bola matanya, emosi nya sudah mencapai ubun-ubun. Kenapa dari kemarin semua pembahasan hanya perkara Edzard? Pria itu tidak tampan seperti Edward, astaga! Apa mata semua orang buram di sini? Hingga tidak bisa membedakan mana yang tampan dan mana yang jelek? "Gue nggak suka ama suami elu, njing!" Keluar juga kata-kata laknat dunia nyata Callista. Mereka yang ada di sana diam dan saling bertatapan, mendengar ucapan aneh yang terlontar dari mulut Callista. "Nona, kamu bicara bahasa mana?" bisik Lily. Callista mengerjapkan matanya beberapa kali. Oh, dia lupa jika tidak ada bahasa modern semacam itu di sini. Callista tersenyum aneh dan kembali berucap. "Maksud ku, aku tidak pernah menyukai suamimu, Kakak. Jadi, jangan membahas perkara itu lagi, aku malas mendengarnya." Elois tak percaya dengan ucapan Callista, dengan gerakan cepat dia mendorong tubuh Callista hingga wanita itu terjerembab ke dalam danau di belakangnya. "Akhh--!!" Callista yang memang tidak siap dengan dorongan Elois, akhirnya terjatuh masuk ke dalam danau dan naasnya Callista tidak bisa berenang. Elois terkejut dan bingung harus melakukan apa, dia tidak ada niatan untuk mencelakakan Felicia. "Jangan bilang pada siapapun." pintanya pada Lily. Namun Lily tidak menggubris dia berlari untuk menghubungi Edward, jangan sampai Felicia meregang nyawa di dalam danau itu. Callista membuka kedua matanya di dalam air. Dia menatap sosok wanita lain di hadapannya. Sosok wanita yang sangat mirip dengan dirinya. "Kau siapa?" "Aku Felicia, aku pemilik tubuh yang kau tempati." "Maafkan aku. Tapi aku tidak tahu kenapa aku bisa ada di dalam tubuhmu." "Aku minta kepadamu, jangan gunakan tubuhku untuk mendekati Edward. Jangan pernah mencintai pria itu." "Maaf, aku tidak bisa. Aku mencintai Edward." "Bagaimana bisa begitu? Aku mencintai Edzard." "Jika begitu, salah satu diantara kita harus lenyap." Callista berseringai. Hingga semakin lama tubuhnya terasa mati rasa dan tak dapat melihat apapun. Edward yang baru saja datang segera menjeburkan dirinya ke dalam danau, mencari keberadaan sang istri. Dia tidak tahu kenapa jantungnya berdegup kencang saat mendapat kabar jika Felicia mengalami musibah. "Felicia, jangan tinggalkan aku. Aku mohon." doa dalam hati Edward. Hingga sepasang matanya menangkap sosok wanita yang tengah terapung di dasar danau. Dengan sigap Edward menarik lengan wanita itu membawanya ke luar dari dalam danau tersebut. Edward sengaja tidak meminta pengawal untuk mengawasi istrinya karena wanita itu sendiri yang meminta. Namun jika sudah begini Edward tak bisa lagi menuruti kemauan istrinya tersebut. Edward berlari sekuat tenaga menuju ke kediaman Edward, dia panik saat tahu jika Felicia mengalami kecelakaan. Lily sudah bersiap menghubungi dokter kepercayaan keluarga Lukas. Callista segera mendapatkan penanganan itensif di sana. Edward selesai mengganti baju dan berdiri di samping ranjang sang istri. Menatap nanar wajah pucat wanita tersebut, dia teringat pertama kali bertemu dengan wanita ini. Wanita yang pernah mencoba melenyapkan dirinya beberapa tahun silam. Edzard datang dan langsung menyingkirkan tubuh Edward. Dia bersimpuh di samping ranjang sang kekasih. Tangisan pilu tak dapat pria itu sembunyikan. "Felicia, bangun lah .. apa yang terjadi padamu? Jangan tinggalkan aku." Edzard lupa jika ada sang kakak yang sedari tadi menatap sengit ke arahnya. Dia tidak peduli, yang ia inginkan hanya Felicia kembali sadar. Callista membuka kedua matanya dan melirik ke arah samping di mana dua pria tengah berdiri di sana. "Edward." Satu kata yang mampu membuat Edzard bungkam. Dia melirik ke arah sang kakak. Kenapa Felicia lebih memilih memanggil Edward ketimbang dirinya? Edward menarik sudut bibirnya, ketara sekali jika dia tengah mengejek adiknya. Edzard perlahan berdiri dan mundur dari samping Callista. Edward duduk di samping sang istri, Callista dengan susah payah memeluk tubuh sang suami. "Aku takut." lirihnya. Edzard merepalkan genggaman tangannya, hatinya sakit melihat sang kekasih berpelukan dengan pria lain di depan matanya. Namun dia tidak bisa melakukan apapun, karena dirinya tak punya hak di sini. "Apa yang terjadi? Katakan padaku." pinta Edward sembari mengelus punggung sang istri. "Elois datang dan mendorong ku." adu Callista.. Edzard melebarkan tatapan matanya. Kedua bola matanya memerah pertanda tengah menahan amarah. Oh, jadi wanita itu yang menyebabkan kekasihnya celaka? Tanpa menunggu lama Edzard pergi dengan mengambil langkah lebar. Hanya satu tujuannya saat ini, memberikan pelajaran pada Elois. Walau Elois adalah istrinya, dia lebih memilih Felicia. Edzard menemui Elois yang kini terlihat gelisah berjalan mondar-mandir di taman belakang kediamannya. Wanita itu tersentak kaget saat melihat kedatangan suaminya. Dia takut, sangat takut jika pria itu tahu mengenai apa yang dia lakukan pada Felicia. "Edz--" PLAKK!! belum selesai Elois berucap, Edzard sudah menampar pipi kanannya begitu keras. Membuat sudut bibir wanita itu berdarah. Elois hanya diam menahan amarah, tanpa berani membantah ataupun berteriak kepada Edzard. Dia sangat takut jika pria itu mencampakkan dirinya, biarlah dia menderita asal Edzard tidak meninggalkan dirinya. "Sudah ku bilang berapa kali padamu! Jangan pernah menyentuh Felicia! Apa kau tuli, hah?!" marah Edzard. Dia benar-benar murka jika menyangkut kesayangannya. "Maafkan aku." hanya kata itu yang bisa Elois katakan. Membela diri pun justru menambah kemarahan Edzard, pria itu tidak mengenal salah dan benar. Di matanya Elois selalu buruk. "Jika kau berani melakukan hal itu lagi. Aku tidak akan segan untuk melenyapkan dirimu!" Edzard meraih kasar dagu Elois, tak peduli jika wanita itu merintih kesakitan. "Kau dengar kata-kata ku, hah?!" Bentak Edzard, melempar dagu Elois dengan kasar. Hingga membuat tubuh wanita itu tersungkur. "Hik ... aku hanya mempertahankan cintaku. Aku tidak suka jika kau berdekatan dengan Felicia. Kau suamiku, apa aku salah jika aku mempertahankan suami ku sendiri?" cukup sudah Elois menahan diri selama ini.. "Ingat Elois! Aku menikah dengan mu hanya karena terpaksa, jika bukan karena bisnis aku tidak akan mungkin mau menikah denganmu. Aku mencintai Felicia! Kau mengerti!" Elois meremat dadanya yang terasa begitu sakit. Ucapan Edzard bagaikan ribuan tombak yang sengaja dia tancapkan di seluruh tubuh Elois. Elois tahu jika Edzard mencintai adik tirinya, namun sekarang semuanya berbeda. Edzard sudah menjadi suaminya. Apa pria itu tidak bisa melupakan Felicia? Dan memberikan sedikit cinta kepadanya? Rasanya sangat sakit harus mencintai dalam sepihak. "Dia sudah menjadi istri kakakmu! Sadar Edzard!" "Aku tidak peduli! Dan sampai kapanpun aku akan tetap mencintai Felicia!" pungkas Edzard, lalu pergi meninggalkan istrinya. Tak peduli dengan tangisan pilu wanita yang mencintai dirinya sepenuh hatinya itu. Edward meminta Lily untuk mengambilkan makanan. Lalu dia menyuapkan makanan tersebut untuk Felicia. Yang sekarang masih dalam posisi Callista. "Edward." panggilnya lemah, Callista masih syok dengan apa yang baru saja dialaminya. "Hm?" Edward hanya bergumam dan melirik tipis sosok wanita di sampingnya. "Aku ingin jujur padamu." Edward menatap fokus ke arah wajah sang istri yang nampak memancarkan keseriusan. "Tentang apa?" "Jika aku bicara sebenernya, apa kau akan percaya padaku? Aku tidak yakin." ragu Callista. "Katakan padaku. Aku akan berusaha mempercayai mu." Ucap Edward, meski terdapat keraguan di dalam hatinya. Callista terdiam berusaha merangkai kata agar dapat dimengerti sang suami. Namun di sisi lain dia sangat tidak yakin jika Edward akan percaya dengan apa yang diucapkannya. Mengingat hal itu sangat mustahil. "Apa kau percaya jika aku bukan Felicia?" tanya Callista mula-mula. Edward sudah ingin menahan tawanya, dia menganggap Felicia sudah tidak waras. Dan sekarang dia ingin memercayai wanita tidak waras ini? Astaga, bisa-bisa Edward ikut tidak waras juga. "Sebaiknya kau makan dan kembali beristirahat." putus Edward. Kembali menyuapi sang istri. Sudah Callista duga jika sang suami tidak akan mempercayai ucapannya. Hah, jika boleh memilih ... Callista ingin kembali pulang ke dunia nyata. Di dunia imajinasi sangat lah kejam, baru saja dia merasakan berjuang antara hidup dan mati. Edward menelisik wajah sedih Felicia. Dia merasa apa yang diucapkan wanita itu benar adanya. Apa dia harus menyelidiki nya sendiri? Batik Edward. Edward memanggil anak buahnya yang sengaja dia suruh untuk memata-matai kegiatan Felicia akhir-akhir ini. "Apa yg kau ketahui?" tanya Edward, sembari duduk dengan angkuhnya di atas kursi kebesarannya. Sang bawahan memberikan beberapa catatan dan rekaman mengenai apa yang dilakukan Felicia. Yah, Edward hanya penasaran dengan apa yang Felicia lakukan pada permata yang beberapa hari yang lalu dia berikan. Apa Felicia memberikan benda itu pada Edzard? Namun hal yang terjadi justru membuat Edward tercengang. Felicia malah memendam benda itu di dalam tanah, untuk apa? "Apa dia memang gila sungguhan?" gumam Edward sembari memijat pelipisnya. Semakin hari Felicia sangat sulit dimengerti. Apa yang sebenarnya wanita itu inginkan? Apa dia benar-benar mencintai Edzard? Atau mencintai dirinya? Edward merasa dipermainkan di sini. Callista merasa aneh dengan dirinya, kenapa sosok Felicia tidak muncul lagi ketika dirinya terlelap? Apa yang terjadi? Ini sudah genap tiga hari dan dirinya masih setia menempati tubuh wanita itu. Tanpa sadar Edzard tengah berdiri sedari tadi si belakangnya. Menatap pergerakan Felicia yang terlihat kebingungan. Edzard tersenyum lalu memeluk tubuh Felicia dari belakang. Callista tersenyum, menatap lingkaran tangan di area perutnya. Ah, siapa lagi pelaku pemberani ini jika bukan Edward? Batinnya percaya diri. Dia tersenyum dan malah menyenderkan kepalanya di d**a bidang pria tersebut. Tanpa menoleh ke arah pria di belakangnya. Edzard tersenyum puas, oh .. ternyata Felicia masih mencintainya. "Ada apa dengan mu, hm? Apa yang sedang dipikirkan kekasih cantikku ini?" DEG! Suara itu? Seketika senyuman Callista memudar. Edward yang baru saja pulang dari kantor bermaksud ingin memberikan kejutan pada sang istri namun justru dirinya yang diberi kejutan oleh wanita itu. Di kejauhan Edward diam mematung, menatap dia manusia yang kini tengah bermesraan. Tanpa ingin berlama-lama, Edward membuang bingkisan yang baru saja dia beli untuk Felicia. Lalu pergi begitu saja dari sana. Callista melepas paksa rangkulan Edzard, dan mendorong kasar tubuh pria tersebut. "Apa yang kau lakukan, hah?! Berani sekali kau memelukku! Aku sudah mempunyai suami!" marah Callista, yang mana membuat Edzard bingung. "Sayang, apa yang terjadi? Kau marah pada ku? Aku kekasihmu. Jangan bilang jika kau sudah mencintai kakakku dan mengkhianati cinta kita." Emosi Edzard. "Pergi dari hadapan ku! Aku tidak ingin terkena masalah hanya karena dirimu!" Edzard meraup wajahnya kasar dan pergi meninggalkan Felicia sesuai dengan apa yang wanita itu inginkan. Callista kembali menuju kamarnya, dia terkejut saat mendapati sepatu sang suami sudah ada di rak biasanya. Callista tersenyum dan segera menemui pria idamannya. "Kau sudah pulang, Tuan?" riang Callista, hendak memeluk tubuh Edward namun dengan cepat pria itu berpaling memilih merebahkan tubuhnya di atas kasur dan memejamkan matanya. "Tuan, apa kau sangat lelah? Apa aku boleh memijit tubuh--" "Diam! Jangan banyak bicara seakan kau mengenal siapa diriku!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD