07. Edward mulai mencurigai Felicia.

1677 Words
"Felicia!" Panggil sosok wanita yang tak lain adalah Elena. Edward menatap nyalang sosok wanita yang dengan seenaknya sendiri masuk tanpa seizin nya itu. Elena mematung di depan pintu. Dia pikir Felicia hanya sendirian dan ternyata ada Edward di sana. Ah, bagaimana ini? Apa yang harus Elena ucapkan untuk memutar alasan. "Apa keluarga Hilary sudah lupa dengan tata kerama, hm?" sindir Edward dengan nada datarnya. "Ti-tidak begitu, Tuan. Tapi- ini rumah anak ku juga, kan? Jadi apa salahnya jika aku--" "Ini rumahku, bukan rumah anakmu. Siapa yang kau anggap anak? Bukankah kau sudah menjual putrimu yang gila ini padaku? Kau menukarkan anakmu sendiri dengan sebagian saham perusahaan ku jika kau lupa." ingat Edward. "Baiklah-baiklah ... aku mengakui jika Felicia bukan anakku. Aku ke sini hanya ingin memberi perhitungan pada istri gila mu itu!" Edward menyunggingkan senyum evilnya. "Berani kau berucap tidak sopan padaku? Apa kau sudah siap kehilangan tempat tempat tinggal?" "Tuan, bukan begitu. Maafkan istriku." mohon Charles, menunduudi depan Edward berharap belas kasihan dari pria tersebut. "Katakan apa mau kalian?!" tekan Edward. Felicia yang merasa terusik terbangun dari tidurnya dan menatap aneh para orang yang ada di kamarnya. "Apa yang terjadi?" tanyanya. "Akhirnya dia bangun juga." decih Elena. Terlihat sekali jika wanita itu begitu benci terhadap Felicia. Felicia, atau mungkin Callista bangun dari tempat tidurnya dengan tidak elit. Edward menautkan kedua alisnya tipis, sudah dapat dia tebak jika diri Felicia sudah berubah. Dia hanya diam, ingin tahu apa yang akan wanita itu lakukan pada kedua orang tua jahat di hadapannya. "Kau--ah, kau ibu tiri ku bukan?" Callista mengingat-ingat sosok wanita di hadapannya. "Bocah gila! Kau bahkan melupakan ibumu sendiri!" Geram Elena, hendak menjambak rambut Callista namun dengan cepat di tepis wanita itu. "Apa yang akan kau lakukan pada rambut indahku?" "Kau berani melawanku? Beraninya kau!" Elena siap menampar wajah Callista. Callista reflek menampar wajah Elena terlebih dahulu. Membuat semua orang syok dibuatnya. Terutama Charles dan Edward. Sedari dulu Felicia terkenal dengan sifat lemah lembut nya. Namun sekarang apa? "Ah, maafkan aku. Aku suka tiba-tiba reflek membalas lawanku." Kikik Callista. Sejujurnya dia sengaja melakukan hal itu karena tidak ingin tertindas. "Felicia!" bentak Charles. Callista hanya menatap malas sosok pria yang beridirydi dekatnya. Terlihat pria itu tengah merepalkan kedua tangannya menahan amarah. "Apa? Kau ingin menampar ku juga?" Callista menoleh ke arah Edward. "Suamiku? Apa kau tidak ingin membelaku?" tanyanya dengan wajah yang dibuat menyedihkan. Edward hanya menarik sudut bibirnya, enggan menanggapi ucapan Callista. "Ck, suami macam apa kau ini, menyebalkan sekali." malas Callista, dia mendekat ke arah kedua orang tuanya sembari bersedekap d**a. "Kenapa kalian datang ke sini, hah?!" ketus Callista. "Kau jangan pura-pura bodoh, Felicia." "Aku? Pura-pura bodoh? Ayolah ... jangan banyak basa-basi, cepat katakan padaku!" Callista semakin berani, mengingat jika mereka hanya tokoh fiksi. Callista mengingat jika kedua orang tua Felicia sangat jahat dan mereka selalu menyiksa Felicia dengan tidak manusiawi gara-gara Felicia bertemu dengan Edzard. Tunggu! Apa Felicia baru saja menemui Edzard? Otak Callista bertanya-tanya. "Kau berani bermain di belakang kakakmu sendiri! Kau sudah menikah, Felicia! Apa kau sengaja ingin menghianati suamimu dan berselingkuh dengan suami kakakmu?" Elena sengaja berakting menangis sembari melirik ke arah Edward, berharap jika pria itu marah kepada Felicia. Felicia menggaruk kepalanya bingung, dia sama sekali tidak mengerti dengan apa yang dikatakan wanita di depannya ini. Andai saja dirinya bisa menggantikan jiwa Felicia seterusnya, Callista tidak akan memberikan celah pada Felicia untuk menemui Edzard. "Aku akan mengurus keluargaku, kalian bisa pergi dari sini. Kalian sudah mengganggu kenyamanan ku." putus Edward, dia hanya tidak ingin mendengar drama membosankan yang dilontarkannya ibu mertuanya ini. Kedua orang tua itu pergi dengan menahan emosi, harga diri mereka berasa hancur karena di usir secara terang-terangan oleh menantunya sendiri. Selepas kepergian kedua orang tau Felicia. Edward mendekati Callista sedang yang didekati hanya memasang wajah bodohnya. "Apa? Jangan terlalu dekat. Itu tidak baik untuk jantungku." Callista menangkup kedua pipinya yang terasa panas. "Katakan padaku! Apa kau baru saja menemui Edzard?" tanya Edward, meski dirinya sudah tahu semua yang dilakukan Felicia. Dia hanya ingin kejujuran wanita ini. Jika Felicia mengelak maka Edward akan menganggap jika Felicia sudah berkomplot dengan Edzard untuk mengelabuhi dirinya. "Aku tidak menemui Edzard." jujur Callista karena memang dirinya tidak menemui pria tersebut, namun Felicia yang menemuinya. Edward mengangguk yakin, yah ... yakin dalam hal jika Felicia sengaja mengelabuhi dirinya. "Baiklah, kau bisa tidur." putus Edward merasa sakit hati. Andai saja Felicia tidak ada hubungan dengan Edzard mungkin Edward akan membuka hatinya untuk wanita tersebut. Callista menatap bingung raut wajah Edward. Ketara sekali jika pria itu tengah menahan sakit hati, entah karena apa. "Tuan, aku ingin bicara dengan mu. Apa kau sangat sibuk?" Sejujurnya Callista ingin sekali mengobrol banyak dengan pria idamannya ini. Dia ingin mengenal Edward lebih jauh, dia ingin tahu apa yang disukai pria ini karena di dalam n****+ tidak ada penjelasan semua itu. "Jangan membuat ku semakin emosi." Datar Edward. Callista semakin tidak mengerti, kenapa Edward harus emosi? Dia hanya ingin bicara saja tidak lebih. Apa Edward begitu membenci Felicia? Lalu kenapa Edward berani menyentuh Felicia jika dia tidak menyukai wanita tersebut? Batin Callista. "Edward, aku--" "Apa kau tidak mengerti ucapan ku, hah?! Aku tidak ingin membuang tenagaku hanya bicara dengan dirimu!" kesal Edward. Callista terkejut dia sakit mendengar bentakan pria di hadapannya ini. "Kenapa? Apa kau begitu jijik dengan ku? Aku hanya ingin mengenalmu, sebelum aku pergi." lirih Callista di ujung kalimat nya. Edward memicingkan matanya dia tidak salah dengar bukan? Felicia akan pergi? Oh, tentu saja dia akan pergi bersama Edzard, gumam Edward. "Apa ini yang kau inginkan? Sekarang kau bisa mengambilnya dan kau bisa pergi sesuka hatimu." Edward memberikan permata berharga yang dia miliki. Tentunya benda itu palsu. Dia hanya ingin tahu apa yang akan dilakukan Felicia, apa dia akan memberikan benda ini pada Edzard? Namun di luar dugaan, Felicia yang ini seakan tak berminat dengan benda yang ada di tangan Edward. "Apa ini?" tanya Callista dengan wajah polosnya. "Jangan pura-pura bodoh, ini kan yang kau incar dariku?" Callista mengambil benda tersebut dari tangan Edward menatap dengan seksama hingga pupil nya membelalak lebar. "Apa aku bisa memilikinya? Aku akan membawa pulang benda ini dan menjualnya lalu ku belikan n****+, atau mungkin pabrik penerbitnya juga bisa aku beli!" seru Callista. Edward tak mengerti dengan apa yang dikatakan Felicia. Felicia akan menjual benda ini? Ayolah, ini diluar pemikiran Edward. "Kau tidak ingin memberikan benda ini pada kekasihmu?" Callista terdiam menatap Edward. "Kekasih? Aku sudah memiliki suami tampan seperti dirimu, kaya raya, dan apa yang aku inginkan dengan mudah kau kabulkan. Lalu untuk apa aku harus mempunyai kekasih? Jangan konyol." "Kau masih ingin berbohong padaku? Bahkan semua orang tahu jika kau berhubungan dengan adikku." "Aku? Adikmu? Hei, bukankah dia sudah menikah dengan kakakku? Lalu untuk apa aku menjadi orang ketiga? Lucu sekali." Callista tertawa namun tatapan matamu fokus pada berlian yang dipegangnya. Edward menggelengkan kepalanya tak bisa berpikir, dia seakan tak mengenali istrinya sendiri. "Panggil dokter, dan periksa bagaimana keadaan Felicia." Lily yang menjaga Felicia segera mengangguk. Setelah kepergian Edward, Lily mendekat ke arah Callista. "Nona, apa kau tidak ingin memberikan benda ini pada tuan Edzard?" tanyanya antusias, karena Felicia pernah bercerita dengannya jika dia menikahi Edward hanya untuk mendapatkan permata ini lalu akan memberikannya pada Edzard. Dan mereka menikah setelahnya. "Ck, pertanyaan mu sama saja. Kenaooa aku harus memberikan benda mahal ini pada orang lain? Jika aku sendiri bisa memilikinya dan membawanya pulang." Lily menggaruk kepalanya, kenapa nonanya ini selalu mengatakan ingin pulang. Bukankah ini tempat tinggal Felicia? Ah, sebaiknya dia segera memanggil dokter sesuai dengan perintah tuannya. Callista bingung menyimpan benda itu di mana, dia tidak mungkin menyimpan di dalam kamar ini. Jika Felicia tahu maka wanita itu akan memberikan benda ini pada Edzard. Oh, tidak. Callista tidak ingin itu terjadi. Dia bergegas keluar dari dalam kamarnya, mencari benda untuk menggali tanah di belakang ruang kamarnya. Lalu memendam benda tersebut, dia akan mengambil nya jika pulang ke dunia asalnya nanti. Hitung-hitung setelah pergi dia akan menjadi orang kaya dan membahagiakan kedua orang tuanya. Tidak usah repot-repot bekerja ataupun sekolah. Dia bisa membeli n****+ sebanyak yang dia mau. Callista kembali ke ruang kamarnya dan di sana sudah ada dokter yang siap memberisa wanita tersebut. Beberapa menit setelah dokter memeriksa keadaan Felicia, dokter tersebut menyatakan jika Felicia baik-baik saja. Keadaan mentalnya juga baik bahkan bisa dikatakan sehat luar dalam. Mendengar pernyataan itu sontak membuat Lily dan Edward kebingungan. Apa benar jika Felicia tengah berakting di depan Edward? Edward harus ekstra hati-hati pada wanita ini. "Hei, ada apa dengan wajah pucat kalian? Aku baik-baik saja, tidak akan mati." Tawa Callista, berpikir jika kedua orang itu tengah khawatir dengan keadaannya. "Aku mau tidur, hah! Sepertinya dokter itu baru saja memberikan aku obat tidur." Callista menata bantalnya lalu merebahkan tubuhnya dan berselancar di dunia mimpi. Malam pun tiba, Lily membangun Felicia. Perlahan Felicia membuka kedua matanya dan bingung ketika melihat suasana berubah menjadi malam. "Apa terjadi sesuatu padaku?" tanya Felicia, seingatnya dia berada di ruang bawah tanah dan ketahuan Edward jika dirinya tengah bertemu dengan Edzard. Mengingat hal itu membuat bulu kuduk Felicia meremang. Bagaimana reaksi Edward? Apa pria itu marah padanya? Batin Felicia gundah. "Nona, Tuan Edward sudah menunggu Nona di ruang makan." ujar Lily. "Tidak, aku takut bertemu dengannya dia pasti akan sangat marah padaku." lirih Felicia. "Apa yang kau takutkan?" Tubuh Felicia menegang saat mendengar suara pria yang sangat ia takuti. Dia tidak berani menatap pria tersebut. "Maafkan aku, aku tidak bermaksud melakukan hal itu di belakangmu." Edward menarik sudut bibirnya, mendekatkan wajahnya dengan wajah Felicia. Mengangkat dagu wanita tersebut agar menatap tepat ke arah kedua matanya. "Beberapa jam yang lalu kau baru saja bilang jika kau tidak menemui Edzard, lalu sekarang kau mengatakan kata maaf. Apa yang sebenarnya kau sembunyikan dariku, hm? Jangan membuatku bingung Felicia, aku bisa melakukan apapun padamu. Kau hanya wanita tak berguna yang dijual keluargamu padaku." Air mata Felicia mengalir begitu saja tanpa di suruh. Lagi-lagi dia harus merasakan sakit yang teramat dalam hanya karena ucapan yang terlontar dari bibir Edward. Felicia benar-benar merasa tidak berguna di sini. "Kenapa kau tidak melenyapkan ku saja, Tuan? Kau bahkan tahu apa tujuanku menikah denganmu. Aku sudah berkhianat, aku mencintai adikmu."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD